Terdengar suara ayam berkokok, saat diri keluar dari kamar mandi setelah ambil wudu untuk melaksanakan salat subuh. Aku berjalan menuju kamar abah dan ummi karena tadi tak ikut salat tahajud bersama.
Sesampainya di depan kamar abah dan ummi pintu sudah terbuka, lalu terdengar suara perempuan mengobrol di dalam.
“Umar sementara bisa menemani kamu belajar di masjid, Nak Qasya,” ucap Ummi dengan yakin.
“Ah, nggak usah, Mi. Pasti ia akan menolak, lagian aku non-muslim.” Suaranya terdengar seperti orang putus asa.
“Nak, sebelumnya Ummi mau bertanya satu hal yang amat penting,” Suara Ummi terdengar serius memecahkan keheningan.
“Apa itu, Mi?” Ummi menghela nafas. “Apa kamu mencintai, Umar?”
Deg! A-apa maksudnya Ummi bertanya seperti itu? Mana mungkin Qasya mencintaiku secepat itu?
“Ya, Ummi. Qasya, mencintainya, sejak pertama kali bertemu di Turki. Ketika Qasya mendatangi Universitas di mana Umar belajar, murid di sana mengatakan bahwa, dia sudah tidak ke sana lagi dan mereka bilang Umar akan pulang esoknya.”
“Jadi, hari itu aku memutuskan untuk ke rumah umar, lalu, ya, Qasya berada di sini,” lanjutnya menjelaskan secara detail bagaimana ia bisa berada di sini juga, terjawablah pertanyaan yang kusimpan sejak kemarin.
“Bagaimana dan sejak kapan kamu mencintai Umar, Nak?” Qasya terdiam beberapa detik. “Aku pernah bermimpi dan di dalam mimpi itu aku bertemu lelaki dan ia miriipp sekali dengan Umar, Mi,” jawabnya.
“Baiklah, apa kamu ingin dimiliki Umar, Nak?” Tetiba raut wajahnya menunjukkan kebahagian.
“Ya, Ummi, tentu saja!”
“Maka kamu harus pindah agama, tapi, jangan jika di dalam hatimu belum yakin pada Islam. Kita juga tidak tahu apakah Umar mencintaimu juga atau tidak. Qasya, kamu harus menyiapkan diri untuk segala kemungkinan yang akan terjadi, nanti.”
Aku memilih ke masjid lebih awal pagi ini, entah kenapa ketika mendengar bahwa Qasya mencintaiku dada ini berdetak lebih kencang. Mungkinkah aku mencintainya juga? Tunggu, ia bilang pernah bertemu saat di Turki. Benarkah itu? Oh! Aku ingat, jadi perempuan yang kutemui di tangga kampus itu, Qasya? Subhanallah.
Kenapa jalan ini begitu sepi? Tidak biasanya. Apa sudah berada di masjid? Baiklah, aku memutuskan untuk mempercepat langkah. Di masjid juga sepi, pukul berapa sekarang?
Astagfirullah! Baru pukul setengah empat ternyata. Pantas saja jalanan sepi masjid juga sepi.
Bagaimana bisa aku seperti ini? Astagfrullah. Tapi, ketika mata ini melihat gadis berambut cokelat itu hati seakan berbisik bahwa, gadis itu akan jadi milikku.
Benarkah diri ini mencintainya? Atau hanya nafsu belaka? Ah, aku istikharah sajalah, mumpung sepi juga.
Selesai salat istikharah, kaki ini kubawa berjalan menuju rak Al-Qur’an yang tak jauh dari tempatku salat tadi. Suara lembaran kertas terdengar jelas ketika kubuka satu-persatu lembarannya.
Lalu, lantunan ayat surah Yusuf terdengar dari lisanku. Aku tersentak kaget saat ada sebuah tangan menepuk bahu. Tanpa melihat siapa orang itu, aku segera membaca ayat qursi, lalu tiga surah terakhir dalam Al-Qur’an yang biasanya dibaca untuk mengusir jin.
Tak lama kemudian, setelah bibir ini melantunkan surah terakhir tangannya sudah diangkat dari bahuku secara perlahan. “Kau kira aku jin apa?” teriak seseorang dari belakang secara tiba-tiba.
“Hah! Astagfirullah!” refleks tubuhku memutar balik ke belakang dan terlihatlah seorang perempuan berdiri tegak sambil menunjukkan ekspresi kesalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alhabu Fi Alsala (Cinta Dalam Doa) PROSES TERBIT
JugendliteraturPernahkah kalian merasakan bagaimana rasanya mencintai? Tapi, di sisi lain ada seorang sahabat kalian yang juga mencintai orang yang kalian cintai. Bagaimanakah rasanya? Di satu sisi jika kalian memilih untuk tetap mencintai gadis yang sama, maka ka...