4. Matamu

52 2 0
                                    

Bagaimana Aku Mencintaimu
4. Matamu
.
.
.
.
.

Aku tak tahu bagaimana Naruto bisa terluka parah saat itu. Bagimana ia kehilangan banyak darah yang membuatku panik setengah mati. Suara khas musim panas bagai menyajikan kenangan manis pahit yang telah dilewati kami berdua.

Tak bisa dipungkiri bahwa hubungan kami sudah menghantam dinding yang amat tinggi. Kenyataan membenturkan imajinasi imajinasi dan buaian masa depan yang kami gambarkan bersama. Menyuruh untuk sadar bahwa tak ada yang bisa menciptakan masa depan yang bisa diprediksi dan diharapkan. Semua rangkaian puzzle yang hampir selesai seketika mulai tak karuan dan berjatuhan.
Benang merah yang menyatukan kami hanya ada sepanjang ini.

Jalan buntu.

Jika kami terus berjalan mencoba meruntuhkan atau memanjat tembok yang membuat ini menjadi jalan buntu akankan berakhir manis? Atau hanya ada keputus asaan tanpa ujung nantinya? Kami tak tahu. Aku pun Naruto tak tahu jalan mana yang harus kami tempuh? Mundur kembali? Atau terus melangkah?

Apakah kami harus meminta pertolongan pihak ke 3? Mengulurkan tangan kami memohon untuk menjanjikan hal indah dibalik sana?

Kami masih tak tahu.

"Hinata. Mari akhiri ini."

Aku terperanjat mendengar ucapan yang dengan mudah keluar dari belah bibirnya.

"Tak ada yang bisa kita lakukan untuk mengakhiri selain jalan ini. Harusnya kau juga berpikir begitu kan?"

"Tapi." Sanggahku ragu.

"Ada apa Hinata? Kau ragu?" Naruto tersenyum miring.

"Aku? Tidak. Tapi.." gugupku memandang netra biru itu menggelap.

"Kau tak perlu ragu bukan? Bukankah saat itu kau tanpa ragu menghancurkan wajah ini Hinata?"
Diam, aku terdiap tak bisa menyangkal kebenaran yang baru saja kudengar.

"Akupun tak ragu Hinata. Aku tak ragu untuk meninggalkanmu dan obsesi mu yang mencekikku sampai sulit bernafas ini."

Ah, perasaan apa ini? Aku harusnya bisa merelakan Naruto bukan?karena syarat aku mencintainya sudah tak ada lagi? Aku tak punya lagi alasan untuk terus hidup bersamanya bukan?harusnya aku menjawabnya dengab mudah bukan? Menjawab untuk mengakhiri hubungan ini demgan mudah.

"Apalagi Hinata? Kau pikir aku tak tahu obsesimu terhadapku? Kau menyukai wajahku bukan? Senyumku dan jemariku? Lalu mataku huh? Lalu setelah kau ketakutan setengah mati akan kehilangan hal itu kau lebih memilih melenyapkannya bukan? Kau menghancurkan wajahku, senyumku. Aku yakin itu membuatmu merasa bahagia setengah mati bukan?"

Naruto mendekatkan wajahnya mengintimidasi. Aku tak bisa menyangkalnya. Setengah mati kutahan rasa takut yang mendominasi seluruh sistem di tubuhku.

"Tapi aku benar mencintaimu Naruto." Balasku.

"Kupikir kau akan berkata hal yang lebihbagus untuk membalas semua ucapanku. Ternyata hanya omong kosong itu lagi. Hah? Obsesi yang mengatas namakan cinta Hinata? Itu yang kau sebut cinta? Bisakah kau berhenti menghancurkanku lebih dari ini Hinata?" Naruto memalingkan wajahnya. Melihat kearah matahari di pertengahan musim panas dari balik jendela.

"Kau pasti penasaran bagaimana tangan dan jemari yang kau cintai ini hancur dan tak berfungsi lagi bukan? Tentu aku akan menceritakannya Hinata." Mata kami kembali bertemu. Senyum miring itu kembali tersaji kali ini 10 kali lipat lebih mengerikan.

"Aku menghancurkannya sendiri Hime, untukmu kupersembahkan hal ini Hime."
Bagaikan terkena serangan jantung semua kebenaran yang kudengar dari mulut Naruto membuatku kehilangan cara berpikir yang benar. Kutatap Naruto nyalang dan penuh amarah.

"Hmm? Kau marah? Aku tahu itu Hime,kau akan marah dan pada orang yang merebut apa yang kau cintai bukan? Kau tahu kan apa yang harus kau lakukan untuk menyalurkan amarahmu saat ini?"
Naruto berbisi di telingaku membisikkan kata kata yang seharusnya tak boleh terujar. Hal itu seperti menyulut seluruh ruangan di relung hatiku yang dipenuhi minyak menghancurkannya hingga hangus terbakar tak tersisa.

"Naruto kau sadar apa yang barusan kau katakan bukan?"
Sinisku menatap Naruto yang masih tersenyum penuh keambiguitasan itu.

"Tentu Hime, otakku masih berfungsi dengan baik. Selanjutnya aku akan menghancurkan hal terakhir yang kau cintai dariku Hinata. Setelah itu aku bisa pergi bukan? Kau hanya harus merelakanku seperti angin lalu saja. Bukankah itu hal yang mudah untukmu?"

Kalap semua pikiran dan hatiku menggelap terselubungi amarah yang memmuncak. Tak ada lagi pikiran jernih tak ada lagi logika yang menyadarkanku.

Semua yang ingin kulakukan adalah balas dendam dan amarah. Amarahku mendorongku untuk menghancurkan Naruto saat itu juga. Tangan ku bergerak tanpa sadar menyambar pisau yang ada di atas meja itu dan berjalan kearah naruto yang membelakangiku .

Napasku memberat memburu ingin segera mengakhiri semua amarah ini. Bagikan memecahkan balon dengan duri. Begitu mudahnya kedua tanganku menghunuskan pisau itu tepat di jantungnya.

Tak ada belas kasihan, tak ada ketakutan yang kurasakan hanyalah amarah dan kelegaan pasca menikam Naruto dengan kedua tanganku sendiri saat itu.

Naruto yang menjadi sasaranku saat itu berbalik untuk melihatku sebelum benar benar tergeletak dilantai dan menutup kedua mata sebiru samuderanya yang aku cintai itu.

Seketika pikiranku enggan saat memikirkan Naruto merenggut dan membawa mati hal terakhir yang aku cintai itu. Dengan segera kupaksa membuka mata Naruto dari tubuh yang mulai mendingin iu untuk mengeluarkan bola mata itu dan memonopolinya untuk diriku sendiri. Setelah berhasil setengah mati merebutnya dari Naruto aku menghela napas lega dan segera berdiri mencari toples untuk mengamankan kedua bola mata Naruto yang aku cintai.

Sekarang aku tak akan kehilangan apa yang aku cintai lagi bukan? Siang itu ruangan dimana kami sering menghabiskan waktu bersama diisi oleh gelak tawa puasku juga bau anyir darah yang menyeruak. Tak ada lagi tawa dua insan yang saling mengisi hanya suara tawa Hinata seorang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bagaimana Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang