Gadis itu bernama Hujan. Dengan wajah yang selalu sendu, bibir yang tipis, dengan kantung mata yang sudah sangat besar dan menghitam, hidung mancung pun tak memperbaiki wajahnya yang selalu sendu. Ia tinggal hanya berdua dengan ayahnya di pinggiran sebuah kota besar. Ayahnya terkena stroke ringan tiga tahun yang lalu dan sudah tak produktif lagi, cukup membuat Hujan menjalani kuliah sambil bekerja. Ia beranggapan bahwa Tuhan tak adil kepadanya.
"Sudah hidup susah, makin disusahin pula. Apakah Tuhan tak melihat keadaanku yang sudah susah?" sambil berjalan menuju halte bus.
Sebelum sampai di halte, tiba – tiba hujan datang dengan cukup deras dan ia lupa mambawa payung.
"Sial sekali aku hari ini. Ada meeting dengan client dengan baju terkena hujan sialan ini. Mana mungkin aku bisa kesana dengan baju basah kuyup seperti ini." Berbicara sampai hampir menangis.
Ya, namanya memang hujan. Tapi ia sangat membenci hujan. Sangat benci. Ia beranggapan bahwa hujan adalah kenangan paling buruk karena ibunya meninggal pada saat hujan.
"Mau tak mau aku harus pulang dulu ganti baju" dengan nada kesal.
"Kenapa kamu pulang lagi, nak? Kau lupa sesuatu?" berjalan kearah Hujan.
"Aku kehujanan yah, dan sekarang lagi ada meeting di kantor. Dan sial sekali aku lupa membawa payung"
"Kalau begitu cepatlah ganti baju. Jangan sampai terlambat. Atau mau ayah antar pakai motor?" sambil ingin mengambil kunci motor di belakang pintu.
"Sudahlah ayah, ayah istirahat aja di rumah. Nanti kalau ayah kenapa – kenapa di jalan gimana?" sambil bertatap dan memegang bahu Ayah.
"Baiklah nak, kamu hati – hati ya di jalan. Jangan lupa membawa payung"
"Siap boss!!" sambil hormat dan tersenyum ke ayahnya.
Hujan sudah tiba di kantor 5 menit sebelum meeting dimulai. Di ruang meeting yang sangat besar, beberapa kursi juga sudah mulai terisi oleh tim ku dan tim client. Disini terasa dingin sekali. Bagaimana tidak, di luar hujan, dan ruangan ini memiliki 2 ac yang ternyata keduanya dihidupkan.
"Duuh, dingin banget sih. Nyesel tadi ga bawa jaket" Langsung mempersiapkan diri untuk presentasi.
"Sial laptopku basah!! Bagaimana aku bisa presentasi" sambil melihat – lihat lagi isi tas nya.
"Sial surat untuk perjanjian kerjasama juga basah! Kenapa harus di saat yang penting kaya gini sih?! Awas ya kau hujan sial. Ah namaku juga hujan. Aku sangat benci semua ini"
Bos masuk ruangan tanda rapat akan dimulai.
"Ayo Hujan, silakan presentasikan konsep perusahaan kita" tanggannya diulurkan tanda mempersilakan.
"Maaf pak, laptopku basah kena hujan dan surat perjanjian yang harus ditandatangani ke dua belah pihak juga basah terkena air hujan" sambil nunduk aku menahan tangis.
Padahal tadi suassana ruangan sangat dingin. Tapi entah kenapa tiba – tiba ruangan menjadi sangat panas yang membuat kemejaku basah terkena keringat. Pak Deny yang berbadan besar, muka sangar dan kulit hitam pun langsung melototi Hujan. Ia tak berani lama menatap bos nya yang terlihat sangat menyeramkan itu. Ya, pada saat itu juga ia dipecat. Sudah tiga kali ia melakukan kesalahan yang sama. Ia sangat kesal dengan dirinya sendiri dan juga kepada hujan.
Ia pulang kerumah dengan wajah yang seperti kubangan air di jalan raya. Sangat kusam. Ia membawa uang pesangon yang tak banyak. Ia bingung harus berbuat apa dan harus bagaimana.
"Bagaimana untuk biaya obat ayah? Untuk makan? Untuk bayar listrik? Belum lagi biaya kuliahku yang menunggak. Gara – gara hujan aku dipecat. Sialan kau!" sambil menghentakkan kaki di air yang menggenang.