Langit
Orang bilang, hal yang menyenangkan di dunia ini banyak sekali...
Tetapi, di mata seorang Tania itu tidak ada. Tidak sampai dia menyadari banyak hal di kehidupan yang sebenarnya banyak diinginkan oleh orang lain. Luka-lukanya pun sebenarnya juga adalah halusinasi dari dirinya sendiri yang takut akan proses menjadi dewasa, takut kehilangan masa tumbuh dari ego-egonya. Dia adalah kita yang terlalu takut menjadi dewasa, takut menyadari bahwa sebenarnya kita adalah makhluk yang egois. Ini adalah kisah Tania yang penuh dengan hal-hal yang melankolis namun manis, bersama langit yang tak mungkin selamanya biru, padahal mendung pun juga masih bisa terlihat cantik..
Melankolis
Pukul lima subuh, Tania sudah terbangun dari tidur, Ia lalu mencari jam yang sengaja distel alarm tadi malam untuk membangunkan Ia sesubuh ini. Matanya yang sembab dan tangannya yang kedinginan membuatnya tersadar kalau dia benar-benar masih hidup di pagi ini, dengan rasa pusing yang luar biasa, Ia lalu berdiri berusaha meraih handuk yang sengaja dikaitkan di belakang pintu kamarnya, menguap sesekali dan mengucek matanya sambil menghela napas panjang.
"Gua masih hidup, yah?" katanya pelan.
Sebelum mandi, Tania teringat akan sesuatu, Ia harus sholat subuh sebelum fajar. Dengan langkah lunglai Ia meraih wastafel kamarnya lalu menyikat gigi dan cuci muka, kemudian wudhu untuk sholat subuh hari ini. Bukan keinginannya terlihat seperti orang yang putus asa. Hari-hari yang seharusnya Ia jalani dengan biasa saja menjadi hari-hari yang berat untuk dia yang biasa ini. Apalagi setelah kejadian yang membuatnya menangis semalaman. Seandainya saja ayah dan ibunya tidak bertengkar kemarin, mungkin Ia bisa lebih bersemangat dalam menjalani hidup untuk hari ini. Bagaimana tidak 2 tahun belakangan ini, kepalanya hampir pecah setiap malam mendengar orang tuanya bertengkar. Belum lagi karena adik-adiknya yang masih kecil, sesekali Ia khawatir dengan tumbuh kembang adiknya yang seharusnya diwarnai dengan kasih sayang, malah diterpa badai keluarga yang entah kapan berkesudahan ini, Ia tidak tega melihat adik-adik kembarnya merasakan beban yang sama dengannya.
Dia Tania kalista, Remaja putri dengan dunia yang penuh badai yang terlalu cepat untuk dilaluinya. Padahal, hatinya sudah terlalu sering diterpa kesakitan. Tapi, mesti kuat-kuat karena orang-orang di bumi benci dengan orang yang lemah. Tidakkah menjadi lemah itu manusiawi? Kita kan memang, makhluk lemah. Kenapa, sesama makhluk lemah malah tidak bisa saling mengerti, malah dituntut berlomba-lomba terlihat 'superior' padahal semuanya sia-sia dan tidak abadi.
Tok..tokk tokk..
Suara ketokan pintu dari luar kamarnya terdengar. Mungkin itu, adalah ibunya yang 2 tahun belakangan ini selalu dihiasi dengan mata sembab, yang membuat hati Tania teriris sakit ketika melihat ibunya yang terlihat seperti itu. Tania tak bisa berkutik, semuanya terasa menyebalkan dan menyakitkan bersamaan, Ia tak bisa lari dari rumah, tapi tak bisa juga terus-terusan merasa tertekan begini. Dengan langkah terpaksa Ia berjalan menuju pintu kamarnya dan membuka pintu itu, seperti biasa.
"Makan, nak di meja sudah ada makanan dan uangnya mama udah taruh di sana sekalian, jangan lupa minum vitamin terus setelah pulang sekolah kamu jemput adikmu sekalian dari tempat penitipan yah, mama mesti buru-buru soalnya mama ada meeting jam delapan, gara-gara papamu sekarang kepala mama pusing, kenapa sih dia engga mau ngertiin, sekarang lihat nih mata mama udah kayak orang tua banget ajah"
Kata ibunya panjang lebar dan dijawab oleh anggukan Tania yang memaklumi ibunya satu-satunya tersebut.Setelah semua perlengkapan siap, Tania lalu menuju lantai dasar rumahnya, sambil mengucek sekali lagi matanya, memasukkan roti bakar buatan ibunya ke tempat bekal, meraup uang jajannya hari ini di atas meja. Ia kemudian lekas untuk keluar rumahnya dan mengunci pintu, menuju parkiran rumahnya dan membawa mobil tua peninggalan kakeknya, seandainya saja kakeknya masih hidup, mungkin hidupnya tak akan semenyedihkan ini, mungkin saja ketika keadaan rumahnya sedang kacau, Ia akan dengan senang hati untuk kabur dari rumahnya dan kabur menuju rumah kakeknya. Seandainya sesederhana itu. Tapi, tak mungkin, Ia harus kembali kekenyataan bahwa hdiupnya harus berjalan terus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit
Teen Fictionbiru ataupun abu.. Tak ada yang begitu penting bagi Tania, sampai Ia mengerti makna segala lukanya.. Keindahan yang tak pernah Ia sadari sebelumnya.. Bahwa, semuanya akan baik-baik saja jika Ia bisa lebih percaya..