1

10 2 1
                                    

Tiang listrik di pemukiman dekat gedung dipukul dua belas kali. Suasana hening, tak terdengar suara tawa ataupun bisik-bisik dari bangunan berlapiskan cat hijau muda itu. Keduabelas ruangannya telah gelap, hanya terdengar desir kipas angin dan tetesan air yang jatuh ke dalam bak mandi. Bergabung dengan jutaan tetes air lainnya, memenuhi bak berukuran sedang. Bak yang setiap hari akan penuh dan kosong lagi. Terus berulang menjadi sebuah siklus. Kipas angin di langit-langit ruangan berputar, menetralisir suasana gerah malam ini. Sesekali terdengar suara cicak yang memantau di sudut ruangan. Hampir seluruh pasang mata di dalam bangunan ini sudah tertutup, menyambut bunga tidur malam ini.

Hampir, karena masih ada sepasang mata yang masih terbuka. Menatap awang ke langit-langit ruangan, sementara pikirannya melayang. Keempat orang rekannya sudah tertidur dengan gaya masing-masing. Ada yang tetap tenang, ada pula yang sedikit-sedikit bergerak ke kanan dan kiri.

Adalah Hanin, pemilik sepasang mata yang masih terjaga itu. Rasanya masih seperti mimpi ia berada di sini. Asrama Al-Fatih, asrama yang diperuntukkan khusus bagi siswa-siswi Madrasah Aliyah Negeri Samarinda yang berdomisili jauh dari madrasah. Sudah lebih satu tahun ia berada di sini. Teman-teman seangkatannya pun sudah saling kenal. Terlebih dengan keempat rekan satu kamarnya; Isty, Indry, Disma, dan Okta.

"Jangan, yang itu aja.." tiba-tiba terdengar suara Okta. Hanin menoleh dengan waspada. Mata Okta masih terpejam. Tangannya menggaruk kepalanya. Hanin menahan tawa, tetapi juga agak takut. Sudah merupakan rahasia nasional jika setiap tempat ada 'penunggunya'. karena itu, ia masih memerhatikan Okta.

"Iya iya, yang biru aja.." kali ini Okta seperti menunjuk nunjuk sesuatu. Tak lama kemudian, ia terlelap kembali. Hanin menepuk tangan Okta pelan, sekedar memastikan. Merasakan ada sesuatu di tangannya, Okta menepisnya. Hanin tersenyum geli. Ia lalu kembali ke kasurnya, membaca doa dan bersiap untuk tidur.

"Iya, Ta, yang itu bagus," sahut Disma tiba-tiba, seakan-akan sedang mengobrol dengan Okta.

Kali ini Hanin langsung memejamkan matanya rapat-rapat.

---

05.00 WITA

Hanin membuka matanya yang masih setengah mengantuk. Azan subuh berkumandang. Mereka harus bersiap untuk menuju ke masjid.

"Nin, bangun.. Disma, Okta, Indry..." Isty menyebut nama mereka satu-persatu. Wajahnya sudah basah oleh air wudhu. "Hoy, Nin," Isty mengibaskan sajadah tepat di depan wajah Hanin.

Hanin meregangkan tubuhnya, sebelum akhirnya bangkit dan menuju kamar mandi di sudut ruangan, berbarengan dengan Indry. Hanin melompat agar lebih cepat. Tetapi tangan Indry sudah menghalangi pintu masuk.

"Siapa cepat, dia dapat." ujarnya meleletkan lidah. Hanin mendengus kesal. Sebenarnya ia keburu buang air kecil dari tadi.

"Eh, Ty, tungguin!" seru Hanin melihat Isty membuka pintu kamar. "Cepetin! Aku tunggu di bawah," balas Isty. Mendengar itu, Hanin lantas menggedor pintu kamar mandi yang setiap hari menjadi rebutan mereka berlima.

"Ndry!" serunya, mulai kesal. Indry keluar sembari meringis. "Sabar, mbak," ujarnya santai. Hanin buru-buru masuk.

"Disma, Okta? Nggak salat?" Indry menoleh sekilas pada mereka berdua. "Nggak, 'H'. Holiday," sahut Okta asal. Ia kembali memeluk gulingnya.

"Mandi duluan ya, Ta," pesan Hanin sembari menutup pintu dan pergi keluar. Okta menyenggol Disma.

"Dis, mandi duluan, nah," ujarnya. Disma yang notabene rajin bergegas mengambil handuk tanpa banyak tanya.

Selepas salat subuh, ketiga penghuni lain kamar ini kembali. Isty langsung mengambil antrean mandi, sementara Hanin dan Indry menyiapkan perlengkapan mereka.

MuditaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang