°°
°
°
°
°
Semilir angin menerpa wajahku yang kini mengadah menatap langit mendung berwarna kelabu. Suhu yang kini menurun tetap menghujani punggungku yang kini tegap. Setelah entah berapa lama menunduk menatap gundukan tanah di depan retina.
Perasaan itu hinggap tanpa permisi, membuat sistem kerja otakku menjadi tak beraturan. Menimbulkan efek yang luar biasa pada jantung, pada hati yang terasa terbakar dan tertusuk duri kehidupan."Kenapa denganmu?"
Aku muak.
Lelah tiap kali aku menggelengkan kepala pada setiap orang yang bertanya.
"Aku tidak tahu"
Alih-alih menjawab baik-baik saja, atau kalimat menenangkan lainnya, aku memilih untuk jujur dengan perasaan yang selalu membebani yang entah sejak kapan mulai hinggap.
Aku tak tahu, dan sungguh tak mengerti dengan diriku sendiri. Aku tak pernah membenci lagi sejak sekian lama, tak pernah juga merasa suka pada hal-hal yang ada di kehidupan.
Aku meringis, menanyakan kewarasanku sendiri pada ragaku tanpa jawaban. Apakah semua rasaku telah hilang? Lenyap ditelan malam sejak lama?
Aku menggeleng, rambut lurusku bergerak kesana kemari mengikuti hembusan angin yang membuat air mataku kering. Menyisakan jejak di pipi.
Aku masih memiliki hati, aku masih sama seperti manusia lainnya yang berdiri dan berpijak di bumi. Aku menangis saat sedih, aku juga tertawa saat aku bahagia.
Jadi, apakah perasaanku telah hilang seperti manusia tanpa hati?
Tidak, tentu saja tidak.
"Aku tidak tahu"
Hanya itu yang bisa ku keluarkan dari bibirku yang kelu. Dari sekian banyak hal yang terpikirkan, hanya 3 kalimat itu yang keluar atas perintah otak ku. Aku bodoh, benar-benar bodoh.
Aku tak mengerti diriku. Ku pikir selama ini semua sudah berada di tempatnya.
Semua ku biarkan berlalu karena aku salah satu penganut garis keras kalimat "waktu akan menyembuhkan segalanya", seperti kebanyakan manusia lainnya.
Bohong!
Satu November yang ke tujuh belas telah terlewati. Ku pikir kalimat itu benar-benar seperti mantra ajaib selama perjalanan hidup.
Tapi nyatanya, aku hanya telah terbiasa dengan semua luka yang semakin hari semakin melebar dan menganga.
Jika mantra itu benar, kenapa luka tak berwujud ini tak pernah sembuh?
Sungai di pipi yang mengering kini banjir hingga menetesi leher dan gaun putihku. Tidak, aku tidak menangis. Ini bukan air mata, setidaknya itu yang kupercayai.
Rintik hujan itu menghujam bumi pada hari pertama di Bulan Novemer. Membasahi tanah yang kering dan juga ilalang di sekitarku. Kelopak bunga yang berada di atas gundukan tanah di depanku mulai jatuh berguguran dari tangkainya. Terhujami rintik hujan yang semakin banyak dan menusuk.
Tapi aku masih di sini.
Berdiri tegak seorang diri di sore hari.
Tapi aku juga lelah.
Aku berjongkok, mengamit kamomil putih yang masih utuh. Melindunginya dari hujaman hujan di dekapanku.
"Kau ingin bahagia?"
Dia datang di belakangku, entah sejak kapan ada di sana. Melindungiku dari hujaman hujan dengan sesuatu yang mirip seperti jubah hitam yang tak lagi membasahi gaunku.
"Kau sungguh ingin bahagia kan?"
Dia bertanya kembali, memastikan apakah aku mendengar suaranya yang terdengar berat di pendengaranku.
"Kau telah melakukannya dengan baik"
Aku mengangguk, menolak bertatap muka atau pun bersuara.
Gemuruh angin terdengar liar hingga membuat rintik hujan yang jatuh lurus menjadi garis diagonal ke arah barat. Seirama dengan kemana arah angin itu berhembus.
Dia memelukku erat dari arah punggungku. Melingkarkan kedua tangannya di leherku. Membebankan tubuhnya di puncak kepalaku. Perasaan dingin di sore itu menghangat meski hujan kembali menghujami tubuhku.
Aku masih diam, masih tak mau bersuara.
"Kau berhak bahagia"
Dia berbisik lirih di telingaku. Aku mengangguk, dan meletakkan kembali kamomil putih ke atas gundukan tanah di depanku.
Semuanya nampak singkat. Benang merah di tubuhku kini terurai berterbangan seolah tidak terkena efek hujan. Menyambungkan sisi satunya ke arah belakangku. Sedetik kemudian asap putih yang kuyakini kabut turun menyelimuti sekitar.
Apakah udara sore sedingin itu? Aku tak tau, aku tak bisa merasakannya di inderaku sekarang.
Aku mengusap mataku, memastikan benang merah yang menari itu nyata dan menjalar belakang. Ke jari kelilingking dia yang ada di belakangku.
Dia memelukku semakin erat, berbisik lirih di telingaku yang ku balas dengan senyuman pertama di satu Novemberku.
"Ayo"
Bersama dengan ajakannya, Aku pergi dengan bahagia. Meninggalkan bunga kamomil putih itu dengan segala maknanya.
Benar, aku tenang sekarang.
END
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Satu November | ✔ONESHOOT | Nomin
FanfictionDi bawah hujan kala itu, aku tenang bersamamu nomin