Katanya manusia bukan evolusi dari kera. Tapi dari yang kulihat, semakin kesini, manusia itu semakin menunduk. Hampir tak ada bedanya dengan kera.
Mungkin perbedaannya hanya terletak di pakaian. Manusia memakai pakaian, sedangkan kera telanjang.
Lihat saja sekarang pacarku, ia lebih memilih berselancar di media sosial ketimbang membicarakan dosen kami yang memakai sarung atau dinding kampus kami yang digambari grafiti biskuit khong huan.
"Bi? Kamu dengerin aku ga?" Tanyaku kelewat kesal. Ia mengalihkan perhatiannya dari benda itu walau tak sepenuhnya.
"Ya, kenapa yang?" Aku menggertakkan gigiku. "Tadi denger ga aku bahas apa?" Tanyaku walau sudah tahu jawaban yang akan keluar.
"Maaf yang, tadi aku harus jawab chat temen dulu, emang kamu ngomong apa?"
Seratus untukku. Dia tak tahu aku bicara apa dan artinya ia memang hanya melimpahkan perhatiannya pada ponsel itu.
Aku merasa ponsel itu seperti orang ketiga dihubungan kami.
"Tadi aku tuh lagi ngomong soal abis ini mau kemana, tapi kamu asyik banget sama hape kamu, kamu tuh pacaran sama aku apa sama ponsel kamu?"
"Iya, iya maaf ya." Ia mengacak rambutku gemas, tindakan sederhana yang membuatku tak jadi marah. Dasar aku lemah.
Tapi tak urung rasa kesal itu masih ada, mungkin karena dia selalu seperti ini setiap kami berkencan hingga aku curiga dia bermain dengan yang lain dibelakangku.
"Emang habis ini mau kemana?" Ia mencoba fokus kepadaku.
"Mau nyoba naik perahu di tempat wisata yang baru buka itu loh," ajakku sedikit merajuk.
"Yang ada miniatur Menara Eiffel itu?" Aku mengangguk. "Disana kamu juga bisa nambah stok foto kamu, kameranya dibawa kan?"
Ia terlihat berpikir sebentar sebelum akhirnya mengangguk.
Dan akhirnya disini kami berakhir. Di atas danau. Mengapung. Ia terlihat masih sibuk dengan ponselnya dan beberapa kali tersenyum, entah pada siapa, karena senyum itu ditunjukkan bukan untukku, melainkan ponsel yang berada di genggamannya.
Aku mencoba mengajaknya berbicara, tapi ia selalu menjawab tunggu sebentar dan beralasan ia sedang melihat sesuatu di media sosial.
Tampaknya sesuatu itu lebih mengesankan daripada aku yang sudah bersolek di depan cermin dari jam tiga pagi hanya untuk hari ini.
Jadi aku mengambil benda itu dan melemparnya ke danau.
Terjadi keheningan selama sepersekian detik sebelum akhirnya ia menoleh ke arahku dengan wajah marah.
"Apa yang kamu lakukan?!"
"Membuang ponsel itu," jawabku tenang.
"Tapi kenapa? Aku sudah menemanimu jalan jalan seharian ini bukan? Apa lagi yang kurang?" Ia terlihat emosi.
"Iya kamu memang nemenin aku jalan, tapi kamu terus fokus dengan ponsel itu, kau bahkan tak melirik aku! Kamu itu hidup dimana? Di dunia nyata apa di dunia media sosialmu?" Aku ikut emosi.
Pada akhirnya kami turun dari perahu lebih cepat. Kami putus. Dia yang bilang. Aku tak keberatan dan berjanji akan mengganti ponselnya.
Toh dia memang pacaran denganku karena aku ini orang yang lumayan populer, sedangkan dia tidak. Bukan karena didasari rasa suka. Tapi bukannya sedih, aku malah merasa lega.
Jadi aku pun mencurahkan isi hati pada sahabatku setelah aku pulang dari kelas hari ini. Di sebelah air mancur.
"Kamu dengerin aku gak sih, Des?" Tanyaku melihatnya tak tertarik mendengar ceritaku dari awal.
"Hmm, terus?" Ia bergumam. Aku kesal. Kulirik ponsel itu.
Astaga. Tanganku gatal ingin melempar benda itu ke air mancur.
____
514 kata
21:30 | 14/06/2020
Minggurevisi minor
18: 45 | 20/12/2021
Senin
KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Kamu Hidup Dimana?
Short Story[CERPEN SATU BAB] Aku membuang benda itu ke danau. Ia marah. Lalu aku bertanya "kamu hidup dimana?" ©Copyright 2020