Ini bukan sebuah novel, cerpen, prosa, ataupun senandika.
Saat aku sendiri,patah, resah, cemas, sedih, takut, dan sepi yang bergumul dalam dua ruang. Yakni kepala dan hati. Aku menulis naskah ini.
...
Bagaimana diriku? Aku pun tak bisa menggambarkan bagaimana diriku sebenarnya. Karena didalam diriku ada diriku yang lain yang mungkin berlainan dengan diriku yang sebelumnya. Aku adalah seorang putra pertama dari tiga bersaudara. Kami semua berbeda, dari fisik, mental, dan pembawaan. Pembawaan ku? Hmm, aku sendiri tengah menebak-nebak. Bisa dibilang aku seorang extrovert. Tapi sepi dan sendiri lah membuatku merasa ditemani dan dihargai. Bagaimana tidak, aku tak suka bercerita dengan orang lain mengenai perasaan hati ku. Mungkin aku terlalu sering memendam dan tak peduli dengan diriku sendiri. Bisa dibilang aku tak peka dengan perasaan orang lain. Mungkin itu karena aku juga terlalu sering memendam banyak keluh, rasa, senang, sedih sendirian. Jujur, aku sedikit lelah dengan diriku. Tak pandai bicara degan orang lain, lawan jenis, apalagi pacar sendiri, haha.
Apa yang bisa dilakukan orang sepertiku yang tak bisa menyampaikan apa yang dirasakan, selain membenci diriku sendiri. Beberapa kali aku selalu bingung terhadap apa yang terjadi dengan diriku sendiri.
Aku sering berpikir, mengapa aku tak seperti orang lain yang mudah bergaul dengan lawan jenis, bercerita, bersenda gurau, dan menikmati kopi berdua. Mungkin lingkungan tempat ku tidur yang membuat aku nyaman dengan diam memendam rasa serta emosi-emosi. Sedikit bercerita. Di dalam keluarga pendapatku jarang diakui. Selalu dipatahkan atau bahkan sekadar dihormati pun rasanya nihil. Banyak kalimat-kalimat yang membuat dada ku sakit. Entah dari bagian apa. Maka dari itu banyak pikiran, emosi, rasa yang bertumpuk dalam diriku. Dan entah dari kapan, perlahan emosi itu aku curahkan dengan cara menyindir jika ada salah seorang anggota keluargaku yang salah. Baik ayah, ibu, dan adikku.
Tapi aku sempat berpikir. Dimana semua orang itu ingin bicara, ingin bercerita, ingin pula didengar dan diperhatikan. Hanya saja wadah mereka tak ada. Wadah yang sanggup menadah keluh kesah itu belum ada. Ada namun bolong-bolong. Atau sudah tak layak pakai.
Aku pernah mendengar keluhan seorang kawan ku. "Bung mengapa ia tak pernah bercerita kalau ia begini-begitu?" "Bung, kenapa pacarku tak pernah cemburu dengan ku?" "Bung, kenapa pacarku gemar sekali memendam masalahnya sendirian?" Bagiku, dalam sudut pandangku kita ini wadah untuk orang lain. Tapi tak semua nya cocok. Walau dalam urusan hati sudah cocok. Tetap saja tutup wadah yang kotak untuk wadah yang kotak. Segitiga untuk segitiga. Lingkaran untuk lingkaran. Semoga saja kau mengerti penjabaranku. Lagipula dalam urusan begini. Aku paham bila seorang kekasih khawatir dengan pacarnya. Aku paham betul. Kita merasa bahwa kita berhak untuk terus-terusan menjadi wadah baginya, menjadi bahu yang kokoh untuk disandarkan, menjadi telinga yang tahan sepuluh jam lamanya di aplikasi telepon. Tapi kau lupa bahwa ia juga punya sajadah untuk bersujud. Ada kaki yang suci untuk ia cium. Ada punggung yang halal baginya untuk menangis dalam pelukan.
Dari sini aku makin paham bahwa diam adalah solusi yang cukup baik bila belum menemukan wadah yang tepat untuk kita tuang segala cemas, takut, gelisah, dan marah. Walau akan perih sih! Tenang saja duhai kaum pemendam perasaan, kita sedang mencari wadah yang cocok untuk kita. Sini duduk dulu, siapa tahu kita cocok!
YOU ARE READING
Aku Berbeda?
RandomIni bukan sebuah novel, cerpen, prosa, ataupun senandika. Saat aku sendiri,patah, resah, cemas, sedih, takut, dan sepi yang bergumul dalam dua ruang. Yakni kepala dan hati. Aku menulis naskah ini.