Hampa

11 1 0
                                    

Written by : ValeriaChristinaa

Tidak ada rasa, tidak bergairah, dan kosong. Itulah yang saat ini aku rasakan setelah ayah dan ibu meninggal kecelakaan. Sama sekali tidak ada keinginan untuk melakukan sesuatu. Sekarang aku hanya tinggal berdua dengan Bibi, asisten rumah tangga. Aku marah pada Tuhan, mengapa Ia mengizinkan semua ini terjadi padaku. Terlalu sulit bagiku untuk melewati ini semua sendirian. Bahkan aku tidak tahu, bisa atau tidak. Dulu ada ayah yang selalu memberikan motivasi dan ibu yang selalu menjadi tempat aku bercerita tentang apapun.

Namaku Rainey. Seorang gadis yang akan beranjak dewasa. Lebih tepatnya besok karena hari dimana aku bertambah umur yang ke delapan belas tahun. Sungguh tak terbayang dalam benakku jika besok aku merayakan ulang tahun tanpa ayah dan ibu. Andai saja pada saat itu aku ikut. Mungkin aku sudah bertemu dengan mereka di surga.

"Non, ini susunya. Jangan lupa diminum, ya. Mumpung masih hangat," kata Bibi dengan logat jawanya.

"Oke, Bi. Terima kasih," ucapku sembari tersenyum.

"Sudah larut malam begini kok belum tidur, Non?" tanya Bibi penasaran.

"Ah, biasa. Gak bisa tidur, Bi. Padahal ngantuk," jawabku dengan mata sayu.

"Oh, gitu. Ya udah, saya ke belakang dulu. Jangan lupa diminum susunya." Bibi kembali mengingatkanku lalu pergi ke belakang.
    
                                        ***
Seperti biasa jam beker selalu berbunyi pada pukul 06.00 pagi. Sebelum turun dari tempat tidur, aku melakukan peregangan agar sirkulasi darah menuju otot dan otak lancar sehingga tubuh menjadi lebih berenergi. Setelah itu berdiri di depan cermin menatap diriku dengan rambut yang acak-acakan, mata yang sembab, dan hidung yang merah akibat menangis di sepanjang malam.

Aku bermonolog. "Selamat ulang tahun yang ke delapan belas tanpa ayah dan ibu. Harapan aku gak banyak. Aku cuma berharap bisa kuat dan bertahan untuk menjalani kehidupan yang keras ini sendirian. Setidaknya untuk hari ini."

Tak lama kemudian aku bersiap-siap ingin berangkat ke kampus untuk pertama kalinya. Seusai siap-siap, aku pun sarapan. Seperti biasa Bibi selalu menyiapkan roti tawar dan segelas susu hangat di atas meja makan. Lagi-lagi teringat ayah dan ibu yang selalu bergurau. Membuat pagi hariku semakin berwarna. Tidak seperti sekarang, gelap. Bagaikan ruangan kosong tanpa cahaya.

"Bi, aku berangkat. Kalau ada orang yang mencurigakan datang, jangan dibukain pintu," ucapku.

"Oke baik, Non. Hati-hati, ya." Bibi melambaikan tangan.

"Iya, Bi."

Di perjalanan menuju kampus. Aku tidak sengaja melihat seorang ibu menggendong anaknya sambil membawa barang dagangan, yaitu kerupuk. Aku kepinggir. Menurunkan standar motor lalu menghampirinya. Aku menatap sendu melihat ibu yang tengah berjuang untuk menghidupi anak yang saat ini bersamanya. Aku berdoa agar kelak ia bisa menyayangi ibunya dengan tulus. Sama seperti yang ibunya lakukan sekarang. Rela kepanasan dan kehujanan demi mencari rezeki.

"Permisi, Bu. Ini satu bungkus harganya berapa?" tanyaku.

"Lima belas ribu aja," kata ibunya ramah.

Aku mengeluarkan selembar uang kertas senilai seratus ribu rupiah. "Oh, saya beli dua. Ini kembaliannya untuk ibu aja."

"Tapi, Neng. Ini kebanyakan."

"Ah, gak apa-apa. Untuk beli susu anak ibu," ucapku.

"Terima kasih banyak, Neng. Semoga rezekinya lancar dan sehat selalu," kata ibunya dengan senyum bahagia.

Dari sini aku paham. Ketika kita sedang membuat orang lain bahagia, di situlah sebenarnya kita akan lebih merasa bahagia. Meskipun kesedihan yang kita rasakan masih melekat dalam diri. Mungkin tidak semua orang bisa melakukan hal itu. Mengukir senyuman ketika suasana hati sedang tidak mendukung.

                                          ***
Sampai di kampus, aku langsung mencari kelas Arsitektur. Alasan aku mengambil Program Studi Arsitektur adalah untuk mewujudkan impian ayah. Dulu, ia sangat menginginkan aku menjadi Arsitektur. Katanya, di sana aku akan menemukan jati diri karena apa yang aku lakukan harus mempunyai tujuan yang jelas, apa yang ingin aku capai, dan apa hal-hal yang aku nikmati dari sebuah rumah. Untuk rumah yang sesuai harapan, aku harus sudah dapat menjawab pertanyaan seperti berapa kamar yang aku inginkan, berapa meter persegi besaran rumah dan gaya seperti apa yang aku  inginkan untuk sebuah rumah.

"Selamat pagi semua. Perkenalan nama saya Mitro. Apakah sudah siap mengikuti kelas pertama dengan mata kuliah Perancangan Arsitektur?" tanya Dosenku.

Kami semua serentak menjawab, "Siap, Pak."

Melakukan hal ini tidak mudah. Aku harus melawan rasa tidak ingin melakukan apa-apa menjadi seolah-olah ingin melakukannya. Sekarang aku fokus mendengarkan Dosen menjelaskan sembari mencatat supaya nanti mudah mempelajarinya.

"Perancangan arsitektur adalah penggabungan berbagai unsur ruang untuk menampung suatu proses kegiatan sehingga menghasilkan suatu keseluruhan yang lebih kaya dan bermakna. Proses perancangan arsitektur dimulai dari mengetahui jenis bangunan yang akan dirancang, pemakainya dan bagaimana keinginan pemakainya, kegiatannya, ruang-ruang yang dibutuhkan, bagaimana tapak di mana bangunan tersebut akan dibangun, bagaimana jenis konstruksi dan bahan yang akan digunakan, dilanjutkan dengan melakukan analisa mengenai sifat dan syarat setiap kebutuhan lalu dikelompokkan, dihubungkan, digabungan sehingga menghasilkan suatu rancangan arsitektur. Dari yang sudah saya jelaskan, apakah ada yang ingin ditanya?" ucap Pak Mitro.

"Tidak ada, Pak. Sudah cukup jelas dan mudah dimengerti," kata teman sebelahku.

"Baik, kalau gitu saya akan memberikan tugas pertama untuk kalian dan besok pagi sudah harus ada di meja saya. Terima kasih. Selamat pagi semua," kata Pak Mitro lalu keluar kelas.

"Hei, boleh kenalan?" ucap seseorang dari depanku.

"Boleh. Aku Rainey."

"Gue Riko. Habis kelas, lo mau ikut kita nongkrong gak?"

"Maaf gak bisa. Ada urusan penting. Aku pulang duluan, ya." 

Sebenarnya aku menolak ajakan mereka karena aku ingin pergi ke makam ayah dan ibu. Aku mau bercerita sedikit tentang hari ini. Ayah dan ibu pasti senang. Tak membutuhkan waktu yang lama, aku pun tiba di kuburan sambil membawa bunga.

"Halo, ayah dan ibu. Gimana kabar kalian di surga sana? Pasti sangat bahagia, bukan? Aku sangat rindu. Rindu pelukan hangat kalian. Rindu masakan ibu, rindu candaan ayah yang selalu menghiburku ketika sedih. Oh, iya. Hari ini adalah pertama kalinya aku kuliah. Doain aku, ya dari sana supaya aku bisa mewujudkan apa yang kalian inginkan. Aku sayang ayah dan ibu." Tanpa sadar air mata mengalir deras membasahi pipiku. 

Aku menaruh bunga di atas batu nisan ayah dan ibu. Sebelum aku benar-benar meninggalkan tempat ini, tak lupa aku berdoa untuk mereka lalu pulang ke rumah. Kebetulan cuacanya sedang mendung, sebentar lagi hujan akan turun. Aku bisa menangis dan berteriak sekencang-kencangnya tanpa orang lain tahu.

                                   

Antalogi OrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang