Prolog

23 3 2
                                    

Yeah, di situ sayang.. Ugh faster!" Lenguhan seorang wanita dewasa berusia sekitar tiga puluh tahunan itu, menggema di salah satu kamar di mansion megah kediaman keluarga Rainhard. Sebuah kamar mewah dengan warna perak dan hitam yang menjadi dominan.

"Ahh, aku akan.. Sampai.."

"Bersama say— ARGHH!!"

Gerakan pinggul maju mundur yang menggebu itu, seketika berhenti saat sebuah kawat besi mencekik si pria dewasa yang tengah menunggangi.

"S-siapa k-khargh kau?!"

Sontak kedua insan tanpa sehelai benang itu menoleh ke belakang dengan panik—dengan si pria yang impulsif menahan kawat itu walau tetap menekan kuat lehernya.

sang wanita segera menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya, sedangkan sang pria tidak bisa berkutik karna cekikan kawat itu semakin mencengkram.

"Lepaskan suamiku!! Siapa kau?!" teriak si wanita sembari bergerak mundur ketakutan hingga terpantuk sandaran ranjang. Tubuhnya bergetar dengan kekhawatiran teramat sangat ia rasakan.
Rasa takut yang mencekam mulai menyerang keduanya.

Seringai itu tercetak, namun kedua orang di depannya sama sekali tak bisa melihat—terhalang sebuah topeng hitam dengan corak keemasan yang terpasang di wajah si pencekik.

"Ada kata-kata terakhir sebelum ajalmu menjemput, Andrew Rainhard?" tanyanya dengan suara teramat tenang. Suara itu, seperti suara yang pernah mereka dengar, tapi siapa?

"B-breng— argh!!" kawat besi semakin mencekik saat pria telanjang itu hendak memakinya.

"Lepaskan! Apa maumu!! Siapa kau?!" Teriak si wanita lagi, beranjak dari ranjang dengan tangan menyambar lampu duduk di atas nakas dan bergerak seolah mengancam pada sosok yang kini menatapnya penuh.

"Hahaha!! Aku? Aku malaikat maut keluarga penghuni kerak neraka, keluarga Rainhard!" dan dengan itu, cekikan menguat hingga leher pria bernama Andrew itu tergores dan berdarah.

"Aaa!! JANGAN!!" pekik si wanita dengan tangan menutup mulutnya—ketika mata sipitnya melihat sang suami mulai mengejang dengan geraman mengiringi, lidah menjulur, dan mata yang melotot.

Tanpa aba-aba lagi, tangan lain yang tidak menahan selimut yang menutupi tubuh telanjangnya—melemparkan lampu duduk ke sosok bertopeng, namun gagal. Sosok itu sudah menghindar dan melempar kuat tubuh Andrew yang masih menggelepar itu ke lantai.

Mata bulat yang berkilat tajam dari balik topeng itu kini menatapnya telak, rasa takut kini menghantui wanita itu. Keringatnya bercucuran, tubuhnya bergetar dengan sendirinya. Ia bergerak mundur, sejauh yang ia bisa, namun tembok abu-abu itu menghalangi langkahnya.

"Kali ini, giliranmu Vivieanne Rainhard." sosok itu meraih lampu hias yang dilempar Vivieanne tadi, berlari dengan cepat dan memukul kuat kepala si wanita yang menjerit dengan lampu tersebut, hingga lampu itu pecah menjadi berkeping-keping.

"Argh!" darah segar mengucur dari kepalanya, membasahi rambut ikal panjangnya yang cantik.

"Apa maumu sebenarnya?!" teriaknya sambil terus memegangi kepalanya yang bocor dan terus mengucurkan cairan kental nan amis.

"Mauku?" Tangan sosok itu terulur, mengusap darah yang mengalir di rambut si wanita. "Mauku, adalah kematian seluruh keluarga sialan Rainhard." dan detik berikutnya, sosok bertopeng itu meraih sebuah belati dari balik saku jaketnya dan langsung menghunuskan belati itu ke leher jenjang Vivieanne, telak di urat nadinya.

"Akh!" teriakan terakhir itu menjemput ajalnya, tubuhnya menggelinjang, selimut yang menutupi tubuhnya langsung merosot ke bawah ketika kedua tangannya melemas tiba-tiba.

Tubuh telanjangnya ambruk, membuat senyum puas tercetak jelas dari wajah sosok bertopeng itu.

Ia berjongkok, membuka topengnya—kemudian kembali menujamkan belatinya ke perut si wanita berulang kali dengan tetap memasang wajah tersenyumnya, seolah tidak puas dengan kematian Vivieanne.

"Dua iblis, sedang menumpang bus menuju kerak neraka terdalam. Tinggal lima iblis tersisa."

Ia berdiri, setelah membersihkan belatinya dengan selimut yang tergeletak di lantai.
Melepas sarung tangannya lalu berjalan menuju kamar mandi yang ada di kamar tersebut, membuang sarung tangan karet tipis itu ke toilet, menekan tombol flush, kemudian tersenyum pongah.












Bersambung...

Dendam Airish Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang