"Jangan! Kumohon Jax! Jangan bunuh suamiku!!"
"Persetan! Kau pun harus mati! Tapi sebelum itu, tunjukan padaku! Di mana dia meletakkannya?!"
"Aku tidak tahu Jax! Aku tidak tahu!"
"Brengsek!"
DOR!!
"Argh!!"
RIIIINGG!!!!
"MAMA!!" mata bulat dengan obsidian indah itu membelalak, nafasnya tak karuan dengan keringat bercucuran membasahi rambut di kening dan lehernya. Kedua tangannya meremas selimut yang menutupi tubuh mungil yang mengenakan setelan piyama merah muda itu. Ia baru saja bermimpi, mimpi buruk yang sejak lama menghantui.
Gadis bersurai legam sepanjang punggu itu, mengatur nafasnya, kemudian mengusak kasar wajahnya. "Shit! Mimpi itu lagi!" tangannya yang mengepal meninju geram ke bantal di sampingnya.
Ponselnya yang berdering sejak tadi, baru saja mencuri perhatiannya. Tangannya terulur, meraih benda pipih yang terletak di atas nakas sebelah kiri ranjang.
Nama sang sahabat, tertera di sana, "Si dungu ini." gumamnya sambil menyingkap selimut, lalu berdiri di hadapan jendela besar apartementnya - setelah membuka gorden sewarna soga yang menghias di sana.
Gadis berkulit seputih susu itu berdeham, menetralkan suaranya dan membuat selembut mungkin, kemudian menggeser tombol terima.
"Haloo Paula, Airish manis di sini." sapanya seceria mungkin. Namanya Airish—Airish Laurent. Gadis yatim piatu berusia dua puluh tiga tahun yang tinggal seorang diri di sebuah apartement mewah, buah dari kerja kerasnya.
"Aku sudah tahu kau Airish sahabatku yang super imut dan manis. Apa kau sudah bangun? Aku punya kabar gembira." Sang sahabat—Paula, memekik senang di seberang sana.
"Kalau Airish belum bangun, bagaimana Airish bisa menjawab panggilan Paula. bodoh!" Ia menyambung makiannya di dalam hati.
"Ah iya kau benar."
"Jadi, apa kabar gembiranya Paula?"
"Kita diterima di Jonquil Cafe, pagi ini kita mulai bekerja. Kita tidak pengangguran lagi sekarang." Paula nampak sangat bahagia, jelas saja, ia yang hidup serba kekurangan dan harus membiayai ayahnya yang sakit parah, serta dua adiknya yang masih sekolah, sangat bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan. Terlebih, di sebuah kafe yang mematok gaji lumayan besar dibandingkan dengan kafe yang lainnya.
Airish memutar matanya malas, punggung sempitnya ia sandarkan di kaca menghadap ke arah ranjang. "Wah benarkah?! Bagus kalau begitu, lebih baik kita bersiap sekarang, Paula."
"Iya Airish, kau bersiap lah dulu, aku akan menyusul ke apartementmu, bagaimana?"
"Siap laksanakan Paula! Airish mandi dulu. Airish tunggu yaa.."
"Hu'um, aku tutup ya, bye Airish."
"Bye Paula."
Airish berdecih, kemudian melemparkan ponselnya ke ranjang.
"Melelahkan sekali.." keluhnya sambil meregangkan otot-otot tubuhnya setelah menggelung rambut panjangnya.
"Tapi ini baru dimulai. Jadi, ayo siapkan amunisimu Airish." gumamnya, lalu berjalan menuju ke kamar mandi dengan seringai menghiasi wajah bulat cantiknya.
🔥🔥🔥
Airish dan Paula sudah sampai ke Jonquil Cafe, tempat pekerjaan baru mereka, sebagai seorang pelayan. Mereka berangkat dengan sepeda motor tua milik ayah Paula.
Sekarang ini, mereka berada di ruangan manajer dengan dua pelayan baru yang lainnya.
"Jadi, pekerjaan kalian di sini sebagai pelayan. Tamu adalah raja, sebisa mungkin hormati mereka. Berikan senyum terbaik kalian saat berhadapan dengan tamu. Kafe buka dari jam tujuh pagi, sampai pukul dua belas malam. Sift berganti delapan jam sekali. Sift pagi bekerja dimulai dari jam tujuh sampai jam tiga sore, sementara sift sore dimulai dari jam tiga sampai kafe tutup. Sampai sini apakah ada yang ingin ditanyakan?" Brian, selaku manajer kafe, menjelaskan aturan pekerjaan kepada empat pelayan baru yang berdiri di hadapannya.
Ke-empatnya berkoor-ria mengatakan 'tidak', dan breefing pun diakhiri.
"Airish dan Paula, kalian bisa mulai bekerja sekarang, di depan sudah ada pelayan senior yang akan mengajari kalian. Sedangkan Nadia dan Eisti, kalian boleh pulang dan kembali pukul tiga sore nanti. Mengerti?!"
"Mengerti pak!" seru keempatnya.
Nadia dan Eisti sudah keluar dari ruangan manajer, sedangkan Airish dan Paula ditahan oleh Brian yang masih ingin menyampaikan sesuatu.
"Hari ini pemilik Jonquil Cafe akan datang berkunjung, jadi kalian ikuti intruksi Gisela—pelayan senior yang akan mengajari kalian dengan benar. Perbanyak senyum. Jangan takut, pemilik kafe orang yang baik dan ramah." Brian mengatakannya dengan mata yang tak lepas dari si rambut pirang sebahu—Paula, yang juga membalas menatapnya.
Dan Airish menyadari itu. 'Cih! Ada yang jatuh hati rupanya!' monolog batinnya.
"A-apa kami sudah boleh keluar pak?" cicit Airish dengan kepala tertunduk belagak takut.
"Ya, boleh. Selamat bekerja." Brian memberikan senyuman terbaiknya pada Paula, dan menganggap bahwa Airish tak berada di sana.
Airish dan Paula keluar ruangan pria dengan rambut sewarna perak itu, dengan Paula yang menggenggam dan meremas kuat telapak tangan Airish.
"Airish, apa kau menyadarinya?"
"Menyadari apa Paula?"
"Pak Brian, sepertinya dia menyukaiku. Kau lihat tidak? Dari awal kita masuk ke ruangannya, dia terus-terusan menatapku."
"Airish tidak tahu Paula."
"Ish, kau ini kenapa polos sekali sih. Ak—"
"Hey kalian, Paula dan Airish, kemari!" panggil seorang gadis cantik berambut panjang sewarna madu, berkemeja baby blue dengan apron dan topi bewarna hitam. Mau tak mau, obrolan Paula dan Airish terputus sampai di sini. Sedikit banyak, Airish yang sudah jengah pun merasa lega.
Keduanya berjalan menghampiri gadis ber-nametag Gisela Ruth yang berdiri di depan meja bar.
"Iya kak." cicit Paula.
"Kalian pakai ini, setelah itu langsung temui aku lagi di sini." Gisela menyodorkan papper bag berisi kemeja baby blue, topi dan apron, kepada Airish dan Paula.
"Baik kak—emm..." Airish memiringkan kepalanya dengan imut seolah tengah bertanya.
"Ah ya Tuhan! Manis sekali." Gisela mengusak surai Airish dengan gemas, membuat sang empunya sedikit geram namun ia tahan.
"Panggil aku Gisela. Tidak perlu embel-embel kakak. Kita seumuran sepertinya."
Paula dan Airish mengangguk, kemudian berlalu menuju letak loker dan ruangan ganti khusus pekerja. Setelah selesai, mereka kembali lagi—menghampiri Gisela dan bekerja mengikuti intruksi yang diajarkan Gisela.
Pagi ini kafe lumayan ramai, jelas saja, hari ini hari sabtu—hari libur dan banyak orang-orang yang malas membuat sarapan di rumah dan memilih untuk pergi ke kafe.
Airish tengah mengantarkan sepiring American breakfast, serta segelas teh madu ke satu meja yang berada di luar ruangan-ketika sebuah mobil mewah memasuki area parkir VIP kafe.
Airish berdiri di dekat pintu masuk kafe dan memperhatikan setelah ia meletakkan pesanan pelanggan. Seringainya muncul di wajah manisnya, ketika si penumpang mobil, turun dari kursi samping pengemudi. Wajah tampannya membuat perhatian para wanita yang berlalu lalang di trotoar jalan depan kafe tertuju padanya.
Ia melangkah penuh pesona menuju pintu masuk, dengan seorang asisten setia berjalan di belakangnya dan membawa sebuah tab di tangannya.
Airish yang masih berdiri di sana berdeham, berusaha menahan tawanya yang hampir pecah. 'Kelinci semakin dekat, segera siapkan wortel dan ayo kita suguhkan.' batinnya kemudian berlalu menuju bar kafe untuk mengantar pesanan pelanggan yang lain.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Airish
Mystery / ThrillerKetenangan keluarga Rainhard terganggu, ketika satu persatu anggota keluarganya mati secara mengenaskan. Dendam masa lalu, menjadi pemicu terjadinya pembunuhan berantai tersebut. Airish Laurent, gadis berwajah bulat yang imut dan manis. Sengaja bert...