Make a Wish

9 1 1
                                    

Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun! Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun!

Seorang gadis malang kembali teringat akan memori yang menyedihkan-nya itu. Lagi-lagi dan lagi, Fredeya membuka album foto bersama saudari nya. Dan foto yang masih menjadi favorit nya adalah momen dimana dia dan sang kakak sedang membuka kado-kado.

Drrt, drrt...
Ponsel Fredeya kembali bergetar untuk kelima kalinya. Di layar terpampang nama kontak “Coach Vano” Yap! Coach ekskul basket nya.

Segera lah Fredeya menyimpan album kesayangan nya lalu membuka layar kunci ponsel nya.

Coach Vano
Dey, jangan lupa kita ada
sparing besok di Stadion.
20.46

Fredeya Zaqueen
Iya, Coach. Jangan lupa juga traktiran yang lo janjiin hehehe.
21.33

Coach Vano
Bawel lo.
Pasti lo abis nangis lagi makanya lo jawab lama, ya kan?
21.34

Fredeya Zaqueen
Udah ah, gue mau tidur. Bye
21.36

Coach Vano
Oke. Have a nice dream, Dey 👋
21.37

Fredeya mematikan ponsel nya total lalu membenamkan wajah nya di bantal.
Kenapa sih di saat kaya gini, cuma Coach Vano yang bisa ngertiin perasaan gue? Gue kangen rumah. Gue kangen curhat sama kakak. Kak... Lo yang tenang di sana, doa gue selalu menyertai lo...
Setelah puas menangis, dia pun tertidur dengan lelap.

Pagi ini, seperti pesan Vano, Fredeya harus sparing di stadion karena dua minggu lagi tim basket sekolah nya akan bertanding dengan SMA Nusa Bakti.
Tapi, tiba-tiba dia teringat tunggakan kost-an yang belum di lunasi selama tiga bulan.
Dan benar saja, ibu pemilik kost mengedor-ngedor pintu kamar Fredeya, “Fredeya! Buka cepat!” Dengan ragu-ragu, Fredeya membuka kenop pintu, “I-Iya... Ada apa bu...”

Ada apa, ada apa! Gausah pura-pura gatau kamu! Ini sudah bulan Oktober, dan kamu sudah menunggak uang kost dari bulan Juli!” bentak ibu kost
“Maaf bu... Sa-saya belum ada uang bu tapi semoga bulan depan saya sudah bisa bayar bu.” titah Fredeya. “Karena dua minggu lagi saya ada pertandingan basket. Saya harap tim saya bisa menang dan saya bisa melunasi uang bulanan kost saya bu. Ibu cukup doakan saja sudah lebih dari cukup untuk saya.” lanjutnya.
“Yasudah. Awas kalau saya tagih lalu kamu bilang tidak ada uang lagi, terpaksa saya usir kamu dari kost saya. Ingat, awal bulan harus sudah ada.” Ibu kost menutup pintu dan kembali ke kamar nya.

Akhirnya, Fredeya bisa bernapas lega. Sebenarnya, ada rasa bersalah juga di benak hati nya. Kurang baik apa ibu kost nya, sudah memberi keringanan biaya selama tiga bulan, dan kalau sedang akhir bulan biasanya beliau menaruh makanan-makanan pokok atau cemilan-cemilan lainnya secara cuma-cuma.

Tapi, apa gue masih bisa lanjutin ekskul basket ini? Tim gue udah kalah telak di pertandingan dua minggu lalu, dan otomatis semua anggota tim gue ga dapet jatah dong. Yaudah, deh, nanti gue konsultasi sama Coach Vano.

Fredeya segera menyambar waist bag nya dan keluar dari kamarnya.
Seperti biasa, ia berangkat ke tempat latihan nya menggunakan sepeda hadiah ayahnya sewaktu ia berulang tahun ke 10.

Dino Superior.
Sebuah mal yang cukup terkenal di daerah Fredeya tinggal.
Dan... tentu saja Fredeya lupa kalau latihan kali ini tidak di tempat biasanya. “Astaga! Duh, gue lupa lagi kalau latihan di Dino... Mana sepatu gue buluk... Di lihatin orang-orang ga ya?” Fredeya melihat kesana kemari. Tak ada satupun yang berpakaian sepertinya. Rambut hanya di pakaikan jedai, kaos oblong yang belum di cuci selama tiga hari, apalagi di setrika. Begitupun dengan celana dasar nya.  Sedangkan pakaian basket nya? Tentu saja ada pada Vano untuk di laundry kan, padahal bukan Fredeya yang sengaja menitipkan...

Akhirnya, Fredeya memutuskan untuk bersikap bodo amat terhadap sekitarnya yang sekarang ini melihat dengan sinis kepadanya.
“Ih, kucel banget si tu cewek. Ga niat nge mal kali ya?”
“Ga malu kali sama pacarnya, haha.”
“Gatau fashion banget, sih!” Dan Fredeya hanya bisa tertunduk malu.

“Kak?”
Fredeya mendongak, “Iya... Kenapa?” katanya sambil salah tingkah. “Kakak ini bukan nya yang pernah tanding basket di sekolahku ya?”
Mendengar itu, Fredeya memutar otak. Ia hanya pernah tanding basket di sebuah sekolah sekali, yaitu SMA Tunas Mekar. “Ah, iya. Kenapa kamu bisa ingat aku?”
“Gimana ga ingat, soalnya kakak satu-satunya perempuan disitu. Keren banget cara kakak ngerebut bola dari Kak Arga. Padahal dia itu kapten basket di sekolah.” jawab gadis berlesung pipi itu. Mendengarnya, senyum Fredeya merekah. Ternyata, ada juga yang mengakui skill bermain basket nya.
“Ah biasa aja..” sanggah nya. Gadis itu tertawa kecil, “Kakak pasti mau latihan basket kan?” “Oh iya, aku duluan ya, soalnya lima belas menit lagi latihan nya mulai nih. Permisi.”

Nafas Fredeya terengah-engah. Tepat pada saat itu, Vano datang menghampirinya, “Kok lo lama banget sih sampe nya? Yang lain udah pada nungguin lo tau.” Fredeya tersentak, “Ah, masa? Duh, gue jadi gaenak sama mereka. Yaudah, gue ganti baju dulu. Tungguin gue!”

Fredeya berlari secepat mungkin ke arah loker Vano. Tentu saja ada sempat terbesit rasa sungkan untuk masuk ke ruangan loker laki-laki. Tapi, apa boleh buat.
Segera ia buka kunci loker Vano dan harum parfum yang sangat Fredeya kenali menyeruak di indra penciuman nya. Ya, hadiah dari dirinya untuk Vano, walaupun hanya sebagai rasa terima kasih karena sudah mentraktir nya sebuah baju. Vano sudah di anggapnya sebagai kakak kandungnya, bagaimana tidak. Fredeya sudah dekat dengan Vano sejak awal ia bergabung di ekskul basket dan kebetulan mereka juga memiliki status sebagai ‘kakak kelas dan adik kelas’. Berangkat sekolah berdua, pulang pun begitu.
Tapi, setiap di tawari untuk pindah ke apartmen milik mama Vano, Fredeya menolak. Walaupun Vano bilang dia akan memfasilitasikan Fredeya seperti adiknya sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TypographTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang