Prolog

0 0 0
                                    

"...i wish that i was good enough..."

"Gue suka sama lo, puas?!"

Hari ini selalu hujan, membuat cowok bertampang dingin itu mau tak mau memilih menggunakan mobil ke sekolahnya dan meninggalkan motor kesayangannya dirumah. Ia menghela napas, menatap jalanan Jakarta yang selalu macet di waktu apapun.

Jam menunjukkan pukul enam sore, matahari sudah terbenam diantara gedung-gedung pencakar langit Jakarta. Mobil yang dikendarainya belum bergerak sejak tadi, ia terjebak macet yang parah. Ia mengacak rambutnya yang sudah acak-acakan. Matanya berkaca-kaca menahan tangis. Seragam yang ia kenakan sudah kusut.

Pikirannya melayang pada kejadian beberapa jam lalu disekolah, dimana semua masih terlihat baik-baik saja pikirnya.

"Ghin! Lo kenapasih jauhin gue?! Gue ada salah apa sama lo?!" Arkan menggenggam tangan Ghina yang hendak pergi meninggalkan obrolan mereka yang tidak menunjukkan titik akhir. Perempuan itu dengan cepat menghempaskan tangannya, melepas genggaman Arkan.

"Ghin kalo gue ada salah sama lo gue minta maaf. Tapi bisa lo kasih tau kesalahan gue?" Arkan mendekatkan tubuhnya dengan Ghina. Ia menggenggam tangan dingin Ghina dan menatap netra coklatnya dalam-dalam.

"Cukup, Arkan, gue nggak papa, lo nggak salah apapun," Jawab Ghina pelan. Netra coklatnya membalas netra hitam kelam milik Arkan.

"Terus kenapa lo selalu jauhin gue? Apa lo udah nggak mau sahabatan lagi sama gue?"

"Kita nggak ada yang salah, gue tetep kayak biasanya. Pembicaraan selesai," Putus Ghina, ia berbalik pergi, namun dengan cepat Arkan menarik tangannya dan mendekap perempuan itu erat.

"Apaansih lo, Kan?! Ini disekolah! Lepasin nggak?!" Ghina memukul dada cowok tampan itu, berusaha melepaskan diri. Namun Arkan malah merangkul cewek itu dengan tangannya, berusaha tidak melepaskan pelukan mereka sama sekali.

"Gue nggak akan lepas sampe lo ngasih tau alasan lo jauhin gue," Bisik Arkan.

Seperti dugannya, air mata Ghina akhirnya jatuh, membasahi seragam Arkan. Arkan melepas pelukannya, menatap Ghina yang masih berlinang air mata kemudian menghapusnya.

Ghina tetap diam, ia menunduk. Tidak ingin Arkan terus melihatnya yang menangis.

"Ghin, tatap gue," Ucap Arkan. Ghina perlahan mengangkat kepalanya, membiarkan netranya bertemu dengan netra kelam Arkan. Ghina menggeleng kuat-kuat tidak bisa menahan isak tangisnya.

"G-Gue nggak bisa, Arkan, jangan paksa gue buat tetep ada buat lo.."

Arkan tertegun, ia memilih diam, menatap sahabatnya yang terisak.

"Gue juga pengen bahagia, Arkan, gue nggak bisa terus kaya gini," Lanjut Ghina.

"Apa selama ini gue selalu nyakitin lo, Ghin?" Tanya Arkan pelan. Ghina hanya diam, tidak ingin menjawab pertanyaan Arkan. Sekolah sudah sepi, mereka sudah dipulangkan sejak tiga jam lalu karena guru mengadakan rapat.

"Jawab gue, Ghina Kaleela," Tegas Arkan.

"Lo nggak pernah bisa ngertiin gue, Kan."

Arkan mengacak rambutnya pelan, "Gue harus kayak gimana lagi sama lo, Ghin?! Gue udah nggak ngerti dari lo tiba-tiba jauhin gue tanpa alasan dan sekarang lo bilang gue nggak ngertiin lo sama sekali. Gue bingung gimana bikin lo bahagia Ghina!"

"Bahagia gue itu lo, Arkan!" Ghina meninggikan suaranya. "Gue cemburu nggak bisa jadi orang yang paling lo sayang, gue kecewa nggak bisa jadi orang yang selalu lo butuhin!" Ghina menangis. Matanya sudah merah dengan air mata.

"Gue sayang sama lo, puas?!"

Dan dunia Arkan seakan berhenti.

Ia memilih membuka handphone, mengecek beberapa notifikasi yang masuk. Line-nya sudah dibanjiri banyak pesan dan juga panggilan tak terjawab. Ia memutuskan membuka chat paling atas, chat yang ia sematkan, menjadi prioritasnya selama beberapa bulan belakangan.

My Rhea

|Kak..

|Kakak dimana?

Aku lagi dijalan, kenapa?|

|Kak..

|Kak Ghina overdosis, dia dirumah sakit sekarang.

Dan

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 20, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Hold Me While You WaitWhere stories live. Discover now