Ocehan panjang lebar mengenai pisah ranjang antara aku dan Amir malam itu, ternyata berlanjut selama beberapa hari aku menginap dirumah kak Mira. Aku seharusnya tahu bahwa kak Mira tidak akan melepas ku begitu saja sebelum aku mengatakan padanya bahwa aku akan berbagi kamar dengan Amir. Tapi aku tidak mungkin mengatakan pada kak Mira, aku akan melakukan keinginannya.
Aku sama sekali belum berpikir untuk mengambil keputusan itu. Aku belum siap sama sekali jika harus berbagi kamar dengan Amir. Aku tidak mau memaksakan diri untuk melakukan hal yang belum siap kulakukan sama sekali. Berada dalam satu kamar yang sama dengan seorang lelaki, apalagi Amir sebagai suami sah ku yang berarti dia bisa melakukan apa saja pada ku.
Sejak awal ketika memutuskan menikah dengan Amir, aku sudah merencanakan semuanya. Membuat keputusan untuk tidak berbagi ranjang dengannya untuk waktu yang tidak aku ketahui. Aku tidak pernah mengatakan hal ini pada Amir. Tapi sepertinya dia tahu apa yang aku inginkan. Dari apa yang terjadi selama ini dia tidak pernah protes akan hal itu. Ketidak adaan Papa dirumah memudahkan aku untuk menjalankan rencana ku. Jika Papa ada dirumah pasti misi ku ini tidak akan berjalan mulus.
Masih banyak yang harus kuketaui mengenai Amir sebelum aku memutuskan untuk berbagi segalanya dengan dirinya. Ada banyak dugaan dalam diriku yang kucoba susun satu persatu. Pertama, mengapa Amir ingin menikahiku? dulu aku sempat mengira bahwa Amir adalah lelaki dengan kemesuman diatas rata-rata manusia normal saat tahu dia telah memiliki istri dan tidak cukup dengan satu wanita, dia malah mengajak ku menikah. Bukan salahku jika hal itu yang masuk dalam pikiranku mengenai dirinnya.
Tetapi pada kenyataannya setalah aku hidup bersamanya, Amir bukan lelaki seperti yang kupikirkan sebelumnya. Apa yang kupikirkan mengenainya sebelum pernikahan kami jauh dari apa yang kulihat sekarang. Selama pernikahan kami Amir sama sekali tidak pernah melakukan hal-hal negatif yang kupikirkan sebelumnya. Bahkan disaat rumah hanya ada kami berdua, dia tidak pernah melakukan hal-hal mesum pada ku.
Kedua, Aku juga sempat menduga Amir adalah tokoh antagonis yang ingin mengambil alih Hotel Papa dengan menikahi ku, itu juga tidak benar, karna pada kenyataanya, Amir malahan mengelola dengan baik hotel bersama mas Fery semenjak Papa sakit. Dia bahkan lebih mementingkan hotel kami dari pada pekerjaanya sendiri, itu yang kudengar dari kak Mira.
Kedua praduga itu tidak terbukti benar dan aku masih belum tahu alasannya menikahiku. Jika alasannya adalah cinta seperti apa yang dikatakan kak Mira, aku masih belum mau meduga hal itu benar. Karna itu sama sekali tidak masuk akal bagiku. Tidak mungkin bisa mencitai dua orang sekaligus kan?
Aku pasti akan tahu suatu saat nanti alasannya menikahi ku. Dengan begitu aku akan mudah mengambil keputusan.
Selama beberapa hari tanpa Amir, aku berusaha menjalani hari seperti biasa. Aku menghilangkan bayang-bayang Amir yang terlanjur melekat dalam keseharian ku selama beberapa bulan pernikahan kami. Tapi semakin aku mencoba untuk tidak mengingat dirinya, semakin dirinya terbayang dalam pikiran ku.
Untuk seseorang yang tidak memiliki Amir seutuhnya, aku tidak bisa menuntut apapun darinya meski ingin kulakukan. Aku seharusnya mengutarakan kekesalanku padanya karna tidak menghubungi ku selama berhari-hari dia berada di Jepang.
Beberapa koper tergeletak di lantai rumah kak Mira saat aku memasuki rumah. Keberadaan sosok lelaki yang selama beberapa hari ini terus mengusik pikiran ku terlihat didepan mata. Sosok Amir terlihat lebih berantakan dari terakhir aku melihatnya. Bulu-bulu halus yang biasanya tidak terlihat kini mulai tumbuh dengan lebat di wajahnya. Sosoknya Membuat aku terpaku menatapnya yang berubah menjadi lebih dewasa dari biasanya.
Mungkin karena merasa ada yang memperhatikan dirinya, Amir memalingkan wajahnya padaku. Kini mata kami terpaut melihat satu sama lain. Aku tidak bisa mengelak dari tatapannya. Tatapan yang dalam itu terus melihat kearah ku. Sampai-sampai aku tidak sadar sudah berapa lama aku berdiri disini.
"Al kenapa? Kok berdiri disana?" Kulirik kak Mira yang berjalan dari arah dapur sambil membawa minuman. Papa dan mas Fery yang tidak tau keberadaanku pun akhirnya menyadari keberadaanku dibelakang mereka. Saat aku memasuki rumah tadi mereka bertiga sedang mengobrol dan satu-satunya orang yang langsung menyadari keberadaanku adalah Amir.
Aku berjalan menghampiri mereka yang berada diruang tengah. Tubuh kuhempaskan disamping Amir, perasaan canggung karena kejadian tadi membuatku tidak tahu harus melakukan apa, atau bertanya apapun padanya.
Rengkuhan dipundak dan ciuman dikepala tidak terbayangkan sebelumnya akan kudapati dari Amir saat aku duduk disisinya. Setengah mati kucoba untuk bersikap biasa saja.
"Cepat banget pulangnya, padahal tadi aku mau jemput." Ucap Amir yang lagi-lagi menatap kedua mataku saat aku mengarahkan pandanganku padanya.
"Tadi kerjaanku enggak banyak, jadi bisa langsung pulang." Jawabku sedikit canggung dibawah tatapan matanya. Dia tersenyum dan kembali mencium kepala ku. Usapan tangannya dirambut ku pun tidak berhenti walaupun dia berbicara dengan mas Fery dan Papa mengenai perjalanan mereka.
Perasaan bahagia yang belum pernah kurasakan sebelumnya saat berada didekatnya membuatku menerka-nerka, apa yang sebenarnya sedang terjadi padaku, kenapa aku merasa sangat nyaman dengan apa yang dilakukan Amir padaku. Padahal sebelumnya aku merasa kesal karna dia tidak menghubungi ku.
"Malam ini kita menginap disini atau pulang kerumah?" tanyanya membuatku terpana dengan pertanyaannya.