6, 9, 12

30 13 8
                                    

Rasanya marah saat tak tahu apa-apa, tetapi dengan seenak hati dituduh telah melakukan tindak kriminal.

"Bukan aku!"

Penyidik khusus yang tengah mendalami kasus ini berdecak. Dia melirik ke arah kaca besar yang menampilkan profil rekan-rekannya sedang menunggu jawaban dari tersangka. Dia lantas angkat tangan tanda menyerah.

"Aku akan serahkan kasus ini pada Detektif Roger. Kuharap kau dapat mempermudah proses ini. Kalau kau mau bekerjasama dengan kami, akan kupastikan bahwa hukumanku tak akan bertambah berkali-kali lipat."

Penyidik khusus keluar dari ruangan, digantikan oleh detektif handal bernama Roger.

Ruangan berbentuk kotak dengan dibalut dinding berwarna abu-abu gelap itu terasa pengap kendati hawanya biasa-biasa saja. Ada kaca besar yang terletak di belakang Roger. Di sebelah kaca besar itu terdapat pintu yang hanya dapat diakses oleh orang seperti Roger dan penyidik khusus tadi, sebab ketika hendak keluar atau masuk pintu tersebut membutuhkan biodata yang dapat diambil dari sidik jari.

Roger membuka laptop pribadi. Di sana sudah tertera banyak sekali bukti-bukti serta beberapa artikel khusus. Ia siap untuk mencatat apa yang akan jadi penerang bagi jalannya untuk mengungkap kebenaran.

"Mari kita mulai dari hal-hal kecil dahulu," ujar Roger dengan mata elang menatap penuh pada tersangka. Ia menyunggingkan senyum satu sudut, lalu melanjutkan, "Ceritakan secara rinci apa yang kaulihat sebelum ditangkap oleh rekanku. Jangan takut, kalau ceritamu masuk akal, maka akan kusudahi interograsi ini dengan cepat. Jadi, mohon kerjasamanya, ya?"

Tersangka yang sempat terisak itu tiba-tiba tersenyum remeh. Sebelumnya ia tak punya nyali yang cukup untuk mengangkat wajah dan membalas tatapan Roger, tetapi entah kenapa sekarang ia punya keberanian untuk memandangi dua mata Roger yang berkilat-kilat.

Ia kemudian membalas, "Baiklah, kalau kau memang mau mendengar ceritaku." Salah satu alisnya terangkat seakan tengah menantang Roger. "Namun sebelum itu, atur otakmu agar dapat menentukan pelakunya dengan benar."

***

"Jika suatu ketika telingamu mendengar suara enam kali denting lonceng dibunyikan pada malam hari, maka bersiaplah. Karena kamu akan mati."

Trixiee menyandarkan bahu pada kursi. Menekan tombol berwarna merah untuk mematikan televisi selepas dengar pesan terakhir yang akhir-akhir ini sering digembar-gemborkan oleh masyarakat sekitar.

"Jangan ke mana-mana. Ayah takut akan terjadi sesuatu padamu."

Alex menuangkan susu pada gelas kaca milik Trixiee. Tak lupa menyerahkan sebuah piring berisi dua potong roti yang lagi-lagi gagal dibuatnya. Namun kali ini tidak sepenuhnya gagal karena Trixiee tiba-tiba bilang, "Enak. Aku lebih suka yang ini."

Alex lantas mengusap puncak kepala sang putri. Dia mengambil posisi kosong di samping Trixiee.

"Trixiee, dengarkan Ayah."

Trixiee akan selalu tahu gelagat sang ayah yang berlebihan. Terlalu khawatir dan cemas, cenderung menyepelekan kemampuannya dalam menjaga diri karena lagi-lagi Ayah akan berkata, "Kau ini Putri kecil Ayah, akan selalu begitu. Jadi tolong berhenti untuk menyelidiki kasus ini."

"Ayah, aku tidak pernah melarang Ayah untuk melakukan sesuatu seperti memanggang roti atau membuat adonan sekalipun. Walau Ayah pria, aku tidak melarang ayah melakukan itu semua." Trixiee bangkit dari sofa, lalu meraih jaket kulit berwarna cokelat gelap yang tersampir di salah satu lengan sofa.

"Trixiee! Jangan hindari pembicaraan ini lagi!"

Trixiee adalah Trixiee. Tidak ada yang dapat mengaturnya dengan baik, walaupun itu ayahnya sendiri.

Kelipatan TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang