Prolog

19 3 4
                                    

1998

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


1998

Di ambang kematiannya, mata itu masih menyala. Menyulut amarah yang begitu besar. Binarnya tak lagi ada. Darah dari tangan yang berpindah ke dahi menetes mengenai kelopak mata. Aku yang tidak tau menau mengenai masalah besar di hadapanku hanya tergugu. Tatkala kakakku yang habis dihajar habis-habisan itu kini menangis dengan tatapan sesal begitu dalam.

Tangis tersendat Ibu tak berhenti sejak kami mendapat telepon hingga sampai di rumah sakit ini. Bapak menunduk dalam kepada lelaki paruh baya di hadapannya, lelaki yang juga menghajar kak Rana hingga berdarah.

Mataku justru menatap laki-laki berseragam sekolah menengah pertama yang sama bingungnya denganku. Di samping laki-laki itu ada seorang perempuan yang digenggam erat tangannya. Seragam sekolah dasar sang perempuan terlihat bersih, kontras dengan sepatunya yang lusuh.

Aku yang hanya gadis kecil berusia delapan tahun cukup diam berdiri menonton kekacauan yang tercipta. Sembari berkelana bersitatap dengan manik legam si laki-laki berseragam.

Pada saat itu, aku tidak sadar bahwa takdir kami dimulai tiga belas tahun yang akan datang. Bahwa takdir kami adalah karma dari apa yang kak Rana perbuat.

Menit berikutnya, tangis kak Rana terdengar keras. Bapak berlutut dalam hitungan detik di depan pria paruh baya yang kini meneteskan air mata. Ibu semakin tersendat tangisnya.

Aku sadar ketika itu ada dendam begitu dalam untuk terakhir kalinya di manik perempuan yang kini tak lagi bernyawa.

•••

2012

Karma itu dibuka dengan genderang yang ditabuh kak Rana dan kekasihnya. Kemudian kini, ditutup dengan penyesalan-penyesalan yang dirasakan aku dan pria itu.

Dia di depanku, tengah menyandarkan tubuh pada kursi yang seolah dapat menahan serta beban hidupnya. Matanya memejam sejak sepuluh menit lalu. Aku tau dia baru saja selesai dengan urusannya lalu langsung menemuiku begitu saja.

Kami berdua tak mengatakan sepatah kata pun. Pelayan-pelayan di kedai kopinya juga tak berani melirik barang sedetik ke arah kami. Mereka pamit tanpa kata dan keluar dari kedai ketika jam kerja sudah habis.

Mochaccino di cangkirku juga hampir habis. Espresso di cangkirnya masih utuh tak tersentuh dari tadi. Selama dia menutup mata, selama itu pula aku menatap raut lelah yang tergurat dari kerutan di dahi lebar miliknya. Kami benar-benar akan berpisah. Atau tepatnya... terpisah.

"Aku nggak tau harus memulai perpisahan kita dengan cara apa." Suaranya mengudara bertepatan dengan matanya yang membuka.

Kami beradu tatap. Menyelam pada manik mata masing-masing. Aku melihat masih ada diriku di sana.

Kutundukkan kepala memandang flatshoes cokelatku. Memulai perpisahan? Jadi sebenarnya, kami baru saja memulainya atau sudah akan mengakhirinya?

"Kayaknya, kita biasa aja deh pisahnya. Eum, maksudku... yah seperti pasangan putus pada umumnya."

Dia tertawa. Dan aku sangat menyukai tawanya. Tawa yang membuatku merasa bahwa kami baik-baik saja. Tawanya masih ringan seperti biasa. Itu membuatku semakin tertampar. Literally, kami nggak baik.

"Pasangan putus pada umumnya itu bertengkar lalu mereka akan jadi musuh, Kilau," katanya.

Tanganku menggapai cangkir, menandaskan kopi moka yang rasanya masih sama walaupun sudah dingin.

"Lalu, baiknya kita putus gimana?" Tanyaku skeptis.

Kali ini, kami berdua yang tertawa.

Lagi dan lagi, seolah tak ada badai yang sedang menerjang diriku dan dia saat ini.

[]

A.N.

Hola! Terlalu lama...

Cerita ini kubuat untuk menguraikan dua kalimat yang sering terngiang di otak.
1. Kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah.
2. Apa yang kamu tanam, itulah yang akan kamu tuai.

Kalau kamu suka dengan tulisan ini, jangan lupa vote!

Update hari Minggu pada jam yang tak tentu. Akan ditamatkan pada akhir Juli atau awal Agustus.

Yuk budayakan membaca selama di rumah aja.

Follow me on instagram: sevrara

•22 Juni 2020•

Jarak: Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang