1. Kecuali Reanata Bramantara

7 1 0
                                    

"Dia bisu?"

"Hah! Masa sih? Kok bisa masuk sini?"

"Sejak kapan sekolah ini nerima manusia rendahan?"

"Eh liat tuh! Katanya dia bisu."

"Udahlah bisu, dekil lagi."

Gadis yang menjadi pusat perhatian pagi ini, berjalan menunduk dalam. Harusnya dia sudah biasa seperti ini. Tapi itu benar-benar menyakitkan untuk terlalu dianggap sepele.
Dia terus berjalan perlahan sambil berusaha fokus mendengarkan suara musik keras dari earphonenya dan mengabaikan suara-suara hujatan manusia-manusia tak berperasaan itu. Namun sialnya bisikan—oh tidak. Sudah jelas kalimat yang sengaja dikuatkan semua pelontarnya itu bukan bisikan, benar-benar masih bisa dia dengar. Masuk lewat sela-sela lekukan telinganya.

Dia mencari ruang kepala sekolah. Bodohnya dia tidak tahu dimana itu. Dan lagi, dia tidak punya seseorang untuk ditanyai. Melangkah asal dan cukup berdoa semoga dia bisa nyasar ketempat yang benar.

"HEH, BISU!"

Langkahnya terhenti. Dari ekor matanya dia melihat tiga orang gadis didepan sana yang dia yakini salah satunya adalah yang meneriakinya. Dia melepas sebelah earphonenya–bergelantungan, membiarkan yang sebelah kanan terpasang di telinganya. Jantungnya berpacu cepat. Dia menghela napas pasrah menormalkan detak jantungnya dan semakin menunduk dalam, membayangkan betapa mengerikannya manusia-manusia yang pernah dia temui.
Ya, semua. Tanpa terkecuali.

"Selain bisu, lo juga tuli ternyata," desis gadis yang meneriakinya bisu tadi.

Dalam tundukannya, dia mendengar jelas suara ketukan sepatu melangkah mendekatinya. Semua orang sepertinya sedang menontonnya. Dia tidak tahu persis itu.

Langkah itu semakin mendekat dan berhenti tepat didepannya.
Dia mengernyit heran. Tadi yang meneriakinya adalah suara perempuan, bukan? Tapi mengapa yang ia temukan dari pandangan tertunduknya adalah sepasang kaki anak laki-laki? Oh tidak! Ini lebih berbahaya.

Semua orang yakin, sebentar lagi si bisu akan keluar dari sekolah ini dalam hitungan beberapa hari kedepan. Karena anak laki-laki yang mendekat itu adalah orang yang sangat tak berperasaan selama ini di mata semua siswa. Mata laki-laki yang posisinya kini tepat didepan gadis ini menyorot tajam. Semua orang siap menunggu tontonan menarik ini, bahkan sebagian sudah menyiapkan kamera–siap merekam aksi yang menurut mereka akan sangat menarik.

Gadis itu kaku, jantungnya berdebar keras, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya, kaca matanya berembun, dia menunggu pasrah adegan miris apa yang selanjutnya akan menimpanya lagi. Dia merasa sosok didepannya sedang menatapnya tajam.
Berikutnya tanpa diduga,

'Grepp!'
Para penonton pria melotot, sebagian mengernyit heran. Dan semua penonton wanita menjerit histeris. Laki-laki itu meraih tangan si bisu.

"Lo kalau kaya gini, merdekanya kapan bgst!" Anak itu mendesis tertahan menahan emosi.

Berikutnya, anak laki-laki itu kini menarik si bisu pergi dari kerumunan penonton. Keluar dari panggung. Sekali lagi penonton wanita menjerit. Tidak terima dan tidak mengerti dengan jalan pikiran anak laki-laki itu barusan.

Sementara gadis bisu yang ditarik itu mengheran dalam ketakutannya. Siapa laki-laki yang berbaik hati menariknya dari pusat perhatian ini? Setahunya semua manusia kejam, tak berperasaan, dan selalu menganggapnya sampah!

Mereka berhenti di halaman belakang sekolah. Sebentar laki-laki itu melirik ke dada kiri gadis itu, membaca badge name miliknya.

'KIRANA ATHALA'

"Liat gue!" Suara itu terdengar seperti perintah.

Si bisu masih diam dalam ketakutannya.

"Liat gue, Na!" Kali ini laki-laki itu memerintah dengan menyebutnya 'Na' ragu-ragu.

Akhirnya gadis bisu yang diketahui bernama Kirana itu mengangkat perlahan kepalanya takut-takut. Sebelum menatap wajah anak laki-laki itu dia sempat melirik badge name di dada kiri anak itu.

'REANATA BRAMANTARA'

"Kalau lo jalannya nunduk gitu, orang-orang akan suka bully lo. Ngerti?" Ucap Reanata dengan nada tegas setelah Kirana sepenuhnya menatap netra coklat tajam miliknya.

Kirana mengerjapkan matanya berkali-kali lalu mengangguk lucu. Reanata terkekeh singkat.

"Lo setau gue ngga minus deh matanya." Nada itu terdengar seperti gerutuan lalu berakhir decakan dengan melakukan gerakan tak diduga Kirana. Anak laki-laki itu melepas kaca matanya.

"Kalau emang minus, makenya pas belajar aja," ujar Reanata seraya merapikan anak rambut Kirana yang ikut kedepan selagi ia melepaskan kaca mata gadis itu tadi.

"Nih! Simpen." Kirana masih mengerjap-ngerjapkan matanya lagi. Kaku. Dan masih tak mengerti. Tapi tatapannya urung untuk lepas dari netra coklat anak laki-laki itu. Dia masih shock.

'Ck!' Reanata berdecak, dia mengambil tangan Kirana, meletakkan kaca mata itu digenggaman Kirana.

Kemudian Kirana melihat anak laki-laki itu bergerak membuka ranselnya, mengambil benda yang ia ragu nama benda itu. Yang jelas sejenis jam tangan dengan beberapa tombol di beberapa pojok layarnya. Persis seperti jam.

Kirana terkejut lagi saat dia melihat anak laki-laki itu lagi-lagi bergerak mengambil tangannya memasangkan benda yang tak dia ketahui persis namanya.

"Kalau jalan jangan nunduk, tapi kalau ada yang nyakitin lo, gue minta banget lo teken tombol ini." Reanata menunjuk tombol yang berada paling pojok sebelah kiri layar setelah berhasil memasangkan sempurna di tangan putih Kirana.

Kirana masih tak mengerti. Terlalu banyak kejutan. Dia masih berusaha mencerna sebagian kalimat sejak awal dia mendengar Reanata berbicara dari kerumunan tadi.

Reanata mendengus pelan.

"Gue ke kelas dulu, ya. Jangan lupa pencet itu kalau lo lagi bahaya." Akhirnya Reanata berucap lagi sambil mengusak pelan surai legam milik Kirana. Berikutnya anak laki-laki itu melangkah meninggalkannya yang mematung memahami satu persatu hal mengejutkan yang bertubi-tubi datang padanya dalam hitungan menit.

Sepertinya dia akan mengoreksi kalimat prinsipnya bahwa
"Semua manusia itu kejam dan tak berperasaan."
Menjadi, "Semua manusia kejam dan tak berperasaan, kecuali Reanata Bramantar."
Perlahan dia tersenyum haru menatap punggung anak laki-laki yang kelamaan menghilang ditelan tikungan.

Ah iya. Dia melupakan sesuatu. Dia dalam bahaya. Ditekannya tombol yang telah diberi tahu olah Reanata tadi padanya meski dengan ragu-ragu. Namun tak cukup waktu lima menit, dia melihat anak laki-laki itu kembali berjalan cepat mendekatinya.

"Ada apa?" Reanata terkekeh.

Kirana bingung. Sepersekian detik buru-buru merogoh saku seragamnya dan membuka ponselnya mengetik sesuatu pada catatan ponselnya.

"Ruang kepala sekolah, dimana?" Reanata membacanya maklum.

"Ayo gue anter." Reanata berjalan terlebih dahulu lalu Kirana mengekor di belakang.

_____

TO BE CONTINUE
Suka nggak cerita Mumu yang ini?🤧

Gesture Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang