Prolog

12 1 1
                                    

"Ada apa?" tanyanya ketika ragaku sudah duduk di sofa, berhadapan dengannya. Dia terlihat, risih.

"Sa-saranghaeyo, Ustadz."

Aduh! Kenapa jadi gagap begini, sih?!

"Hah? Maksudnya apa, ya? Saya nggak ngerti, afwan." Katanya tanpa menatapku.

Huft!

Pinter banget, sih, Deiya ... udah tau dia Ustadz, malah pakai bahasa Korea lagi! Mana ngerti dia?! Batinku kesal.

"Eum ...,"

"Jika tidak bisa mengatakannya, tidak perlu dipaksa." Matanya masih menatap ke arah lain, tetapi kalimatnya itu bertujuan untukku. Karena tak ada orang di ruang tengah ini selain kami berdua.

"Saya mencintai, Pak Ustadz."

Tangannya terhenti untuk mengambil gelas di atas meja yang menjadi penghalang kami. Dia mengepalkan tangannya berdehem kemudian.

"Afwan."

Hanya itu?

Sungguh?

Really?

Cinca?

Ustadz itu langsung bangkit dari duduknya, selepas melihat Ayah dan Bunda turun dari lantai atas.

Tersenyum.

Itu yang dia lakukan saat Ayah dan Bunda sudah berdiri dihadapannya. Menyalami dan mencium telapak tangan Ayah kemudian.

Pikiranku masih bertanya-tanya. Maksudnya 'Afwan' itu apa? Aku paham artinya maaf, tetapi maaf untuk apa?

Apa ... dia menolakku?

Semoga saja, tidak.

Tetapi, bagaimana jika itu benar?

"Oh, God! Itu tidak boleh terjadi!" teriakku refleks sambil mengepalkan kedua tanganku erat dan berdiri tegak.

"Kamu kenapa, Sayang?"

Astaga!

Segera aku menunjukkan senyum terbaikku pada Bunda, dibarengi dengan cengiran khasku saat ingin meminta sesuatu dan sesuatu itu harus banget dimiliki.

"Euh, hehe, gapapa, kok, Bun."

"Benar? Lalu, kenapa kamu berteriak tadi, Nak? Tidak sopan, ada Ustadz Faras di depanmu, Nak." Kata Bunda menceramahiku, seperti biasa.

"Mianne, Bun."

"Bicara yang betul, Deiya dan katakan itu pada Ustadz Faras, bukan pada Bunda." Tegas Bunda. Kalau sudah begini aku hanya bisa menunduk dan mengikuti perintahnya.

"Ah, tidak apa-apa, Tante." Ustadz Faras bersuara dengan nada seperti tidak enak.

Bunda tak menjawab. Kutebak beliau masih menatapku dengan tajam dan menungguku mengucapkan apa yang seharusnya diucapkan.

"Ma-maaf, Ustadz Faras. Deiya tidak akan berteriak di depan Ustadz lagi." Jeda. Aku mengambil napas dan masih menunduk sembari memainkan kuku-kuku jariku.

"Jadi, tolong maaffin Deiya, ya? Jika tidak Bunda akan-"

"Deiya, cukup! Sekarang masuk ke kamar, ya?"

Astaga! Dipotong coba? Bun, Deiya cuma- akh! Sudahlah! Awalnya ngebentak akhirannya lembut dan tajam.

Huft! Bunda labil!

Bibirku mmengerucut kesal. Tanpa menjawab, kuhentakkan kaki karena kesal, lalu berjalan menaiki anak tangga satu persatu.

Ck, aku, 'kan masih mau minta penjelasan pada Ustadz Faras! Maaf tadi itu apa maksudnya?! Aku tidak mengerti sama sekali!

Astaga. Aku bisa-bisa stres ini. Sudah dibuat penasaran, eh malah jadi double dimarahin sama Bunda! Apes banget, sih!

Knop pintu berwarna cokelat keemasan itu kugenggam, kemudian menariknya ke bawah. Bingkai persegi panjang berwarna cokelat di depanku terbuka.

Aku pun mendorongnya perlahan, begitu juga ketika menutupnya. Ingin rasanya membanting pintu ini. Tetapi sayang, nanti Bunda menghukumku lagi.

Ah, sebal! Sebal! Sebal!

Bruk!

Badan mungil ini kubanting pada benda empuk berwarna hijau dengan gambar keroppi menghiasinya yang berada di bawahku. Kedua tanganku pun menghantamnya berulang kali dengan kuat.

"Oh! Nonton MV Kokobop aja! Biar hilang rasa kesalku pada Ustadz menyebalkan itu!"

Wajahku berubah menjadi sumringah mengingat boyband tampan dari Korea itu. Benda tipis dengan dua bagian terpisah, kubuka dan segera kucari video MV favorite-ku itu.

-

TBC

Next nggak? 🤔

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Saranghae, Ustadz!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang