Ross

5 0 0
                                    

Cerahnya langit biru siang itu tak menggambarkan suasana bumi yang dinaunginya. Sinar terik matahari hanya menjadi penghias saja bagi sekelompok orang di suatu tempat yang dipenuhi beberapa batu bertulis. Batu bertulis yang ada di tempat itu tak sekedar suatu prasasti, tapi juga suatu penanda akan bersemayamnya jasad seorang manusia yang sudah menghadap Sang Pemilik Jiwa. 

            Hari itu, sekelompok orang baru saja menyelesaikan suatu ritual pemakaman. Ritual itu juga bukan ritual biasa, tapi ritual yang didalamnya terkandung keinginan akan diterimanya do’a-do’a terhadap Rabb. Suatu ritual suci yang diiringi niat tulus para pendo’a.

            Di antara pendo’a dalam kelompok itu, seorang wanita paruh baya berkerudung hitam hanya terdiam. Tak terdengar isak atau sedu sedan seperti pendo’a lainnya lakukan. Matanya sayu dan ia hanya berdiri agak jauh dari pemakaman. Sungguh, orang-orang tak begitu menyadari diamnya. Pemandangan yang sangat aneh itu seolah tak digubris siapapun di dalam kelompok itu. Seorang pria terisak seperti anak kecil yang permennya diambil paksa. Pria berwajah tirus itu memegangi batu bertuliskan nama anaknya. Beberapa orang yang didekatnya hanya melakukan seperti yang biasa orang banyak lakukan: menenangkannya.

            “Ross...” panggil lelaki itu. Kulit legamnya tertetesi air. Kali ini bukan tetesan peluh karena kerja kasarnya, tapi tetesan air mata yang sangat jarang ia keluarkan.

***

            PRAANG!! Suara barang pecah belah terjatuh. Sepasang tangan mungil gemetar sementara kedua kakinya bergetar. Tubuh gadis berusia sekitar 5 tahun itu mengeluarkan tetes air dingin. Ya, ia berkeringat dingin, takut melihat piring yang ia pegang pecah saat ia mengelap piring itu.

            “ROOSS!!” panggil seseorang dengan suara sangat tinggi. Nada kemarahan sudah dapat ditangkap ruang dengar gadis kecil bernama Ross itu. Meski masih gemetar, kaget, bercampur takut, Ross bergegas menghampiri arah suara. Suara perempuan yang telah melahirkannya. Suara perempuan yang selalu dihormatinya karena menurut pelajaran yang ia dapati dari guru ngajinya, surga ada di telapak kaki ibu.

            “Kamu pecahin lagi, ya, piring kita!? Ross, udah berapa kali ibu bilang kalau piring itu mahal!!” hardik sang perempuan yang dipanggil ibu. Sejenak kemudian tangannya sudah mendarat di pipi kiri si kecil Ross. Tak hanya itu, dengan menahan sakit karena darah keluar dari mulutnya, Ross masih harus menerima pukulan gagang sapu dari sang ibu. Punggungnya yang masih kecil itu berusaha kuat menahan sakit, seperti biasa terjadi di rumah petak yang mereka diami. Ross tak lagi mengeluarkan erang kesakitan dan ucapan ampun yang mengiringi tangisnya.

            Puas memukuli gadis kecil Ross, sang perempuan terduduk lemah di lantai semen. Ross segera mendekati sang ibu, perlahan. Tak dihiraunya darah asin di mulutnya dan sakit menggigit di punggung. Dihampirinya perempuan yang sedang menangis itu.

            “Ross... maafin ibu. Ibu keras lagi. Tapi, Ross...” ucap sang ibu terbata. Ross berjongkok di depan sang ibu. Ditatapnya mata yang mulai diisi bening air mata.

            “Bu, makan,ya,” sahut Ross.  Tak terlihat wajah sedih maupun kesakitan yang didapati sang ibu kala matanya menangkap wajah anaknya, berbayang. Keduanya bergegas menuju dapur—sebuah ruang berukuran 3x2,5 meter yang masih tersambung dengan ruang petak tempat Ross dipukul—untuk makan. Saat sang ibu melihat pecahan piring, segera ia bantu Ross membereskan pecahan yang berserak, yang belum sempat Ross bereskan.

            Di tengah ritual makan itu, sang ibu tak hentinya menasehati Ross agar menjadi anak yang menghargai kerja keras orangtua. Ross hanya mengangguk sambil sesekali menjawab,”iya, Bu.”

RossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang