Hasta La Vista

10 1 11
                                    

Aku termangu di depan jendela. Earphone putih terpasang di kedua telingaku. Hari ini gerimis turun membasahi jalanan kota. Beberapa tetes hujan pun mulai membasahi angkutan kota yang ku naiki. Aku paling menyukai saat-saat seperti ini. Hujan gerimis yang membasahi jendela angkutan kota, earphone putih dan lagu kesayangan yang mengalun lembut di telinga, serta pikiran-pikiran bodoh yang terlintas di benakku.

Aku tak sengaja melihat anak berseragam SD berlarian di trotoar. Terlihat jelas di mataku seorang anak laki-laki berwajah jahil sedang dikejar oleh seorang anak perempuan yang seumuran dengannya. Aku tertawa dalam hati. Sebersit memori muncul di otakku. Aku pernah mengalami hal yang sama. Berlari kencang mengejar seseorang jahil yang selalu menggangguku semasa SD. Dan ketika aku berhasil mengejarnya, tendangan dan pukulan selalu mendarat di tubuh ramping laki-laki itu. Laki-laki itu, tiba-tiba aku mengingatnya. Ia dan memori bodohku tentang cinta pertama. Hmm, aku tersenyum tipis. Haruskah memori bodoh yang sangat ingin aku lupakan itu kembali lagi. Memoriku tentang dia, cinta pertamaku.

***

Bel istirahat telah berbunyi. Teman-teman mulai beranjak keluar dari kelas. Tapi tidak denganku. Aku hanya duduk di bangku dan mengerjakan PR pelajaran berikutnya yang lupa ku kerjakan. Sambil menulis, aku berlahan tersenyum. Sebait lagu ku nyanyikan pelan. Lagu ini merupakan soundtrack dari sebuah film musikal yang ku tonton kemarin. Hmm, film yang bagus. Kilasan-kilasan film muncul di benakku. Adegan ketika kedua tokoh utama bertemu, saling benci, hingga mencintai satu sama lain. Tiba-tiba sebuah suara asing terdengar di telingaku. Suara itu menyanyikan lagu yang sama dengan lagu yang ku nyanyikan. Sontak aku menolehkan kepalaku. Kulihat seorang laki-laki yang balas menatapku dengan senyuman nakal. Siapa dia? Apa ia juga melihat film itu? Pertanyan-pertanyaan muncul di kepalaku. Namun, aku hanya diam dan segera memalingkan kepalaku.

Entah mengapa sejak itu, aku selalu memperhatikan laki-laki itu. setiap obrolannya seolah menyindir aku dan kesukaanku. Dia mendengar lagu dan mengenal artis-artis kesukaanku. Padahal aku seorang Kpopers dan merupakan hal yang langka baginya, yang notabene seorang lelaki, menyukai Kpop. Dia adalah orang yang aneh. Orang dengan guyonan garing yang anehnya selalu membuatku tertawa. Dia juga tidak tampan. Bahkan banyak teman laki-laki di sekolahku yang lebih tampan darinya.

Sejak hari itu, kami semakin dekat. Ia sering memanggilku Demi, aktris pemain film musikal itu. Aku pun mau tak mau membalas dengan memanggilnya Joe, lawan main Demi di film itu. Harus kuakui, dia sangat menyebalkan. Semua hal yang aku lakukan selalu jadi bahan ejekan untukku. Selain Demi, ia juga sering memanggilku jenderal dari grup drumband. Waktu itu, aku tergabung dalam sebuah grup drumband. Aku kebetulan memegang pianika. Dan di antara pemain pianika lainnya, akulah murid tertua. Jadilah dia memanggilku jederal karena aku muris tertua. Aku adalah jenis perempuan yang tak bisa membalas ejekan. Sebagai balasan atas ejekan yang kuterima, aku selalu menguber-ubernya sepanjang lapangan sekolah dan memberinya pukulan serta tendangan yang membabi buta.

Kami naik kelas. Dan entah mengapa kami kembali sekelas. Kami berlahan menjadi semakin dewasa dan menjauh. Tanpa kusadari, perasaan-perasaan kecil mulai muncul di hatiku. Debaran aneh dan kupu-kupu yang menggelitiki perutku tiap aku melihatnya. Padahal kami tidak lagi dekat. Kami sekarang hanya sekadar teman sekelas dengan kontak-kontak kecil antar teman sekelas. Tak ada lagi ejekan, guyonan, kejar-kejaran sepanjang sekolah yang melelahkan, bahkan panggilan-panggilan aneh yang diambil dari tokoh utama sebuah film musikal.

Ada sebuah penyesalan besar waktu itu yang masih kusesali hingga sekarang. Aku sangat menyukai dunia tulis menulis. Pernah aku tanpa berpikir panjang membuat cerita tentangnya. Hal terbodoh yang pernah kulakukan. Awalnya tak ada orang yang tahu. Hingga seorang teman perempuan tak sengaja membaca cerita itu dan membeberkannya ke semua orang. aku merasa malu karena cerita yang kutulis dangat aneh. Tapi aku lebih merasa malu memikirkan apa yang laki-laki itu pikirkan tentangku. Seorang stalker kah? Seorang gadis kecil aneh yang terobsesi dengannya? Sampai sekarang ingin aku meminta maaf karena telah membuatnya berpikiran aneh.

Hasta La VistaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang