1: Mengejar Matahari

1.8K 196 35
                                    

"Disini ada satu kisah. Cerita tentang anak manusia."


Yogyakarta, 2020

Jimin

Percik air hujan di bawah kaki, tidak lagi Jimin indahkan. Masih ada yang lebih penting. Seseorang menunggunya di tempat yang lebih kering. Mungkin sekarang sedang santai-santai sambil minum kopi panas atau sekadar membaca koran.

Pintu kaca yang menggantungkan tag buka/tutup, ditarik Jimin pelan-pelan. Seolah ia bisa membuat bayi bangun dari tidur kalau membuka pintunya kasar. Suasana café vintage dengan warna cokelat kayu membawa aroma lain di indra penciuman. Wangi yang selama ini memabukkan Jimin. Dinding dilapisi kayu tipis bersulur halus seluruhnya kecuali langit-langit. Warna ruangan sengaja pakai lampu kuning khas jaman dulu. Membuat atmosfer jadi syahdu dan menenangkan.

Laki-laki dalam pikiran Jimin masih membawa kesan pertama anak orang kaya. Baju dengan warna simple; rose beige, putih tulang, dan sepatu cokelat tanah. Potongan rambutnya hampir bisa dikatakan gondrong. Panjang poninya hampir menutup mata dan sampai ke garis hidung. Dibelah samping dan disibakkan satu sisinya ke belakang telinga karena sedang membaca setiap halaman koran dengan seksama. Tipis-tipis kerut di kening membuat Jimin yakin kalau pemuda itu sedang serius.

Ia berjalan mendekat ke sosok itu. "Sudah lama, toh, Gguk? Sorry, ya, telat," sapa Jimin sambil duduk di salah satu kursi di seberang.

Jeongguk menarik lengan kirinya supaya bisa melihat jam tangan hitam di pergelangan kirinya. "Sepuluh menitan, lah."

"Sudah pesan?"

"Belum. Sengaja biar sama-sama."

Jimin manggut-manggut. Dibandingkan dengannya yang cuma pakai sweater kombor dengan celana hitam panjang, Jeongguk jauh berbeda. Bahkan paras wajahnya saja seakan berteriak uang. "Aku kira, kamu tidak bakal tertarik dengan cerita-cerita konyol begini."

"Konyol dari mana? Seru, tauk."

"Ya, tapi tidak usah spam chat waktu aku mandi juga, sih."

"Siapa juga yang menduga kalau kamu ada di kamar mandi, jam segini?" Jeongguk melipat kembali koran pagi di pangkuan. Setelah kembali ke meja, ia beranjak dari duduk. "Ayo pesan dulu. Biar enak ngobrolnya."

Jimin mendekat ke meja kasir. "Teh manis satu. Roti bakar pakai selai blueberry satu juga, deh. Kalau makan kebanyakan, diet ku bakal sia-sia."

"Malah lebih manis kalau kamu gemuk sedikit."

"Tidak. Terimakasih."

Sebelum kembali ke bangku, Jeongguk menuliskan kopi susu, kentang goreng, dan mie pangsit di kertas yang sama. Supaya ordernya bisa sampai di waktu yang sama.

"Aku bingung harus mulai dari mana," aku Jimin. Jemarinya menggaruk pipi yang sebenarnya tidak gatal-gatal amat. "Awalnya itu aku ketindihan. Bagaimana coba ceritanya? Aku saja tidak begitu ingat."

"Walaupun kamu tidak bisa bicara di mimpi, tapi, kan, bisa lihat sekitaran." Jeongguk bersandar ke punggung kursi. "Santai saja. Aku tidak bakal menyanggah karena itu pengalaman kamu. Kamu yang tahu detailnya."

"Bukan karena itu juga, sih."

"Soal apa lagi? Dia yang mukanya mirip dengan aku?"

Jimin memukul-mukul meja, gemas. Menahan tertawa sekaligus kontak mata dengan lawan bicara. "Kalau aku boleh jujur, bukan mirip lagi. Tapi, ya, kamu itu!"

"Aku merinding."

"Sama." Jimin menegapkan badan lagi. "Ketindihan rasanya tidak enak sama sekali."

"Memang."

"Apa posisi tidurku salah, ya?" Tanya Jimin pada diri sendiri.

Manik mata Jeongguk yang kelam memantulkan cahaya sekitaran yang kuning remang. Seakan hendak memberi sanggahan berupa tatapan. Menyala redup seperti kobaran api di tengah gelapnya malam. Bahkan café yang dipilih anak orang kaya ini juga seperti membangunkan memori yang hilang dalam ingatan Jimin.

"Jeongguk."

"Apa?"

"Sepertinya aku tahu harus mulai dari mana."

Jeongguk memandang ke arah lain. Siluet di balik tubuh Jimin berubah jadi pemuda dengan apron abu-abu dan membawa satu nampan berisi pesanan. Lembaran kertas nota diletakkan terakhir di atas meja. Setelah mengucap terimakasih, pemuda itu pasti kembali lagi ke dapur.

"Dari mana?" Jeongguk menyetuh kopi susu nya pelan-pelan meski masih mengepulkan asap. "Apa dari yang tante mu sakit itu?"

"Almarhumah memang sakit, waktu itu. Tapi aku tidak tahu ada hubungannya dengan dia atau tidak."

"Kamu panggil siapa setan ini?"

Jimin mengingat-ingat. "Dia banaspati. Karena selalu ada di dalam kamar, aku tidak pernah memanggil dia pakai nama, sama sekali."

"Kalau kamu dulu tanya, dia bukannya menjawab tapi malah bakal menghilang."

"Setuju. Tapi aku biasanya panggil dia itu 'Ban'. Kedengaran konyol, tapi memang begitu." Jimin memotong roti bakar di atas piringnya. "Tujuan dia ke rumah saja, aku tidak tahu."

"Bukannya kamu bilang, karena banyak anggota keluargamu yang meninggal, waktu dia ada di dalam kamar?"

"Aku tidak yakin kalau ada kaitannya, sih." Potongan roti bakar, Jimin kunyah pelan-pelan. "Karena keadaannya, waktu dia bertemu dengan aku itu, banyak luka-luka."

"Lah? Bisa disentuh?"

"Bisa."

"Edan," umpat Jeongguk. "Sekarang aku merinding benaran, ini."

"Tidak usah dibawa beban pikiran. Dengarkan saja aku cerita."


...

AbinawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang