4. Syukur

685 149 51
                                    

"Syukur aku sembahkan kehadirat-Mu Tuhan."


Jimin & Jeongguk

2020

Denting sendok di atas meja keramik membuat Jimin harus melongok dari balik koran pagi di genggaman. Memastikan kalau Jeongguk sudah meninggalkan kamar dan masuk ke bagian dapur, menemui Jimin atau sekadar membuat teh pagi supaya kecap tidak pahit.

Gelombang radio pagi melantunkan lagu-lagu kebangsaan. Memulai pagi dengan semangat nasional, tidak buruk juga. Biasanya Jimin bakal kesal ketika saluran televisi malam sudah tidak menayangkan program apa-apa dan berganti dengan deretan lagu-lagu wajib. Membuatnya harus memutar otak untuk memilih saluran televisi lain supaya tidak bosan. Tapi di waktu seperti ini, sepertinya sangat pas. Pagi-pagi dan ditemani oleh secangkir kopi pahit yang masih mengepul di samping tubuhnya.

Derik benda logam yang dilempar Jeongguk ke wastafel, memberi tanda kalau Jeongguk sudah selesai mengaduk teh di gelas dan siap-siap menyeruput cairan di cangkir. Suaranya nyaring dan menggema di dapur kediaman Jeongguk yang terlampau luas. Meski masih beralas keramik dengan warna menyerupai adonan semen, Jimin nyatanya lebih nyaman disini ketimbang rumahnya sendiri. Nuansa Jawa kental membawa sensasi lain ke dirinya.

"Bangun jam berapa kamu, tadi?" Jeongguk duduk di samping Jimin, di seberang meja sambil meniup teh di cangkirnya sendiri. "Begadang, kamu?"

"Kalau di rumah orang, tidak sopan. Kan, Yang Punya tidur pulas." Koran di tangan, dilipat pelan-pelan. "Mau aku buatkan sarapan?"

"Terimakasih. Tapi perutku sensitif, pagi-pagi begini. Tidak bakal bisa makan hidangan berat."

"Aku tahu."

"Kenapa kamu mendengarkan lagu Indonesia Pusaka, sekarang?" Tanya Jeongguk sambil memandangi sumber suara berbentuk kotak dengan antenna yang bisa diputar melingkar.

"Dengan suasana rumah kamu yang begini, aku jadi seperti hidup di masa penjajahan."

"Kamu pikir enak, apa, hidup di masa itu?"

"Semuanya murah."

"Jaman penjajahan bukan pemerintahan Pak Soeharto."

"Beda lagi." Jimin beranjak dari duduk. Berjalan ke tumpukan roti tawar di meja dekat wastafel dan segera mengambil selai cokelat. "Kalau tidak salah, Ban pernah nyanyi lagu nasional juga di kamarku."

Jeongguk tersedak tehnya sendiri. Membuat Jimin terpingkal-pingkal. Berusaha menetralkan tenggorokannya lagi dengan melihat sana-sini. Tangan kanan nya menepuk-nepuk dada tanda sesak. Mau tidak mau, Jimin menyodorkan segelas air putih supaya bisa diterima tenggorkan Jeongguk untuk sekarang.

"Kamu ini sebenarnya ketemu makhluk seperti apa, sih?" Jeongguk pakai nada orang tidak terima. Seakan menantang Jimin untuk berkelahi. "Dari berapi, pakai baju abdi dalem, sekarang nyanyi, lagi. Nanti dia mau apa lagi? Menggelar tikar di pasar dan berdagang?"

"Benaran." Jimin menarik kursi di samping tubuh kekasihnya. Membawa sehelai roti yang sudah berlapis selai. Melahapnya pelan-pelan. "Mungkin dia meninggal waktu kemerdekaan? Siapa yang tahu."

"Atau dia tidak pernah hidup sama sekali tapi menyaksikan kenaikan Bendera Pusaka di halaman rumah Pak Soekarno."

"Kedengaran ngeri kalau kamu yang bilang."

"Kenapa memangnya?"

"Muka kalian mirip, Gguk. Demi Tuhan." Jimin menahan geram. "Bayangkan, kemerdekaan Indonesia ternyata tidak cuma ditunggu sama makhluk yang kasat mata, tapi juga sama mereka yang tidak kelihatan."

AbinawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang