Lembar dua

2.7K 404 52
                                    





Kepalanya pening bukan main. Pemuda itu mencoba membuka kedua matanya, namun rupanya ia terlalu lemah dan tidak memiliki tenaga yang cukup.

Udara segar memasuki indera penciumannya, menyejukkan jalur pernapasannya. Begitu melegakan.

Matanya mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retinanya, berusaha mengembalikan fokus penglihatannya yang semula mengabur.

Ia menelisik sekitarnya, menebak dimana kiranya dirinya berada. Ruangan ber-cat putih mendominasi yang terasa asing baginya.

Usapan lembut di punggung tangannya membuat dirinya menoleh, temukan sang ibu yang menatapnya khawatir.

"sayang, kamu udah bangun?" tanya mama.

Langit diam. Ia hanya menatap ibunya lurus, abai pada pertanyaan sang ibu.

"sayang, apa yang sakit? Bilang sama mama, nak" tangannya digenggam erat, namun Langit masih bergeming.

Seolah mengerti, sang ibu memasangkan alat bantu dengar di telinga putranya. Memasangnya dengan hati-hati dengan tangan bergetar.

"Langit bisa denger suara mama?" Anggukan lemah ia berikan.

Ainnya tampak sayu, binarnya redup.

"apa yang kamu rasain? Ada yang sakit, sayang?"

Gelengan pelan sebagai jawaban. Ada setitik rasa bersalah di hatinya kala ia melihat tatapan khawatir ibunya tertuju padanya.

"ma.." panggilnya lemah. Suaranya ruai.

"iya sayang, kenapa?"

"haus"

Ibunya bangkit, membantu dirinya untuk duduk. Satu tangannya membantu Langit untuk membuka masker oksigen.

Setelah beberapa teguk air ia minum, serahkan kembali gelas itu pada sang ibu, tak lupa memakai kembali masker oksigennya.

Pintu ruang rawatnya terbuka, Aldebaran masuk dengan tergesa. Nampak seragam yang dikenakan Aldebaran berantakan, kancingnya sudah tanggal semua. Wajahnya nampak lelah, dan hal itu membuat rasa bersalah Langit semakin menjadi.

"dek, kamu bikin khawatir tau gak?" Aldebaran hampiri adiknya, direngkuhnya tubuh rapuh itu.

"maaf" cicit Langit.

"kakak panik bukan main pas tau kamu pingsan"

"maaf. Langit pasti ngerepotin kakak sama mama" ujar Langit penuh sesal.

Surainya diusap lembut, sang ibu menatapnya dengan teduh, "nggak sayang, kamu gak ngerepotin siapapun"

Kepalanya tertunduk dalam, netranya bergulir kesana kemari, nampak linglung "aku ─kenapa?"

"kamu tadi pingsan di sekolah. Kamu kenapa, hm?" tanya Aldebaran.

"gak tau. Tiba-tiba dada aku sakit banget, rasanya sesak"

Aldebaran dan mama saling melempar pandangan, rasa khawatir dengan si bungsu semakin bertambah.

"mau pulang" lirih Langit.

"gak. Kamu gak boleh pulang dulu, kamu masih sakit" tolak Aldebaran.

"mau pulaaaanggg. Gak betah di rumah sakit"

"sayang, kamu masih harus dirawat buat pemeriksaan lebih lanjut" sang ibu coba memberi pengertian.

Matanya berkaca-kaca, tirta bening menumpuk di pelupuk matanya, "mau pulaaaanggg" Langit bahkan sudah siap untuk menangis jika ia tidak jua diperbolehkan pulang.

Cerita Langit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang