"Kembali kau sialan! Kau harus menerima hukumanku!"
Teriak seorang namja paruh baya pada sesosok lelaki mungil belasan tahun yang kini tengah berlari dengan air mata yang tak henti mengalir di kedua pipi tirusnya. Ia lelah, sungguh. Ingin rasanya ia memanggil sang ibu yang sudah tenang diatas sana bersama Tuhan agar mau datang menjemputnya.
Bulir-bulir keringat membasahi seluruh tubuh kurusnya. Mengabaikan perut yang sakit menahan perih lantaran tak memakan apapun sedari pagi. Mengapa selalu begini?
"Berhenti Jimin!"
Jimin mencoba tak menghiraukan sakit disekunjur tubuhnya. Tetap berusaha untuk berlari meskipun kaki jenjangnya tak tentu arah. Ia tidak tau sedang berada dimana saat ini. Yang terpenting ia dapat menghindari ayahnya.
Lengan kecil itu terangkat guna menghapus air mata yang menghalangi pandangannya. Beberapa kali menoleh ke belakang demi memastikan sang ayah masih tertinggal dibelakang sana.
Namun naas, kepala Jimin berdenyut menykitkan disusul wajahnya pucat pasi. Jimin tidak sanggup lagi, dan-
Brukk
Anak itu terjatuh di atas aspal jalanan sepi. Gelapnya keadaan sekitar lantaran bulan yang bersinar tak cukup terang berada tepat diatas Jimin yang kini menutup matanya erat.
Dapat kau, Jimin.
««»»
Jam menunjukkan pukul 06.30, kst. Angin berhembus dengan lembutnya, membuat seorang lelaki mungil yang meringkuk diatas dinginnya lantai kamar mengeratkan pelukan lengan kurus itu di tubuh mungilnya.
"A-akh! Shh.."
Jimin tersentak merasakan kepalanya berdenyut nyeri ketika ia mencoba bangkit. Kedua mata sipit itu sembab karena tangisannya semalam, wajah putih pucat dengan bibir kering bergetar karena dingin memperjelas keadaannya yang sangat memprihatinkan. Ditambah lebam disekunjur tubuh karena lelaki mungil itu tak memakai baju. Semalam, saat Jimin jatuh pingsan. Lelaki itu diseret pulang oleh sang ayah. Membuka bajunya, lalu mencambuknya dalam posisi meringkuk di lantai kamar.
Jimin menangis terisak menyedihkan. Teringat segala kelakuan sang ayah padanya selama ini. Itu menyakitinya, baik secara fisik maupun mental lelaki manis itu.
Cukup lama manangis, pemilik mata sipit yang semakin sipit sebab tangis itupun teringat jika hari ini ia harus berangkat sekolah.
Maka, tubuh terlampau lelah itu dipaksa empunya untuk berdiri dan melangkah. Mengabaikan rasa pusing dan nyeri pada perut ratanya. Ia belum makan apapun seja kemarin, ingat?
>><<
"Jimin-ah!"
Si lelaki manis menoleh kebelakang. Disapa oleh si tetangga aneh disamping rumahnya. Sesaat setelah Jimin mengunci gerbang rumah mewahnya.
Ya, mewah. Jimin memang bukan berasal dari keluarga kalangan bawah. Appanya bahkan sering datang ke club malam, mabuk-mabukan, hingga menyewa seorang jalang untuk dibawanya ke rumah.
"Taehyung"
Jimin mengulas senyum tipis, menatap lelaki seumuran dengannya itu berlari kecil hingga sampai di hadapannya kini.
"Ayo bengakat manis- Hei! Ada apa denganmu Jimin-ah? Mengap-"
Taehyung menangkup wajah manis itu, ia memutus perkataannya kemudian menoleh ke rumah besar di sampinya.
"Lagi?"
Pertanyaan lirih Taehyung ajukan. Jimin mengerti, lalu mengangguk perlahan.
Benar, Taehyung- tetangganya itu tak cukup bodoh untuk tidak mengetahui kehidupan lelaki park di samping dirumahnya. Taehyung bahkan selalu mendengar Tuan Park berteriak marah, barang-barang pecah ataupun Jimin yang menangis dan melontarkan kata maaf berulang kali.
Jika itu tertangkap oleh pendengarannya, maka Taehyung akan menatap rumah besar itu dengan tatapan sendu melalui jendela kamar. Ia tak dapat melakukan apapun. Pernah sekali ia mencoba melindungi Jimin dari kemarahan Tuan Park, namun berakhir dengan Taehyung yang menjadi sasaran hingga salah satu piring yang seharusnya mengenai Jimin malah melukai kepalanya.
Setiap Taehyung nekat ingin melawan, Jimin selalu berkata bahwa ia tidak apa-apa membuat Taehyung menurut karena wajah manis itu memohon. Si lelaki bertubuh mungil itu tak ingin sahabatnya terluka. Cupup ia saja.
Taehyung memeluk tubuh rapuh Jimin, mengusap lembut belakang kepala si mungil. Jimin ingin menumpahkan semuanya lagi, namun air matanya bahkan mengering saking banyaknya ia menangis.
Pelukan itu dilepas oleh si lelaki Kim. Menatap lembut wajah pucat si mungil.
"Ayo berangkat manis! Aku ingin cepat sampai di sekolah! Astaga, sudah tidak sabar rasanya ingin memakan makanan kantin. Lihat, bahkan membayangkannya saja perutku lapar. Mau ku gendong?"
Ucap Taehyung bertubi-tubi menyalurkan semangat yang ia punya. Mengepalkan tangannya keudara, dan berseru dengan keras. Menimbulkan kekehan dan gelengan lemah dari Jimin kemudian berjalan mendahului.
Taehyung menghela napas lelah.
Menandang kosong lelaki mungil yang berjalan menjauhinya.
Merindukan Jimin yang ceria, selalu memukul belakang kepalanya jika mengatakan hal seperti tadi, ataupun tertawa keras hingga terjungkal karena ulah konyolnya.
Taehyung merindukan semua itu.
<<>>
Haiii balik lagi..
Ini story kedua, setelah yang pertama 'MY FUCKING SEXY BROTHER' di publishAku gak tau ini lebih baik atau gimana, tapi semoga lebih dari yang satunya.
Happy reading 💜
JANGAN LUPA VOMENT KALO SUKA
KAMU SEDANG MEMBACA
YES. I'M CRAZY, JIMIN-SSI [KM]
FanfictionMemiliki sosok ayah layaknya iblis, merindukan dekapan seorang ibu, hingga bertemu dengan seorang penyelamat atau bisa dibilang pembunuh? . . . . Happy reading 💜 KOOKMIN/JIKOOK