end of waiting

24 8 15
                                    

Rambut warna warni bagai gulali

Imut lucu walau tak terlalu tinggi

Pipi chubby dan kulit putih

Senyum manis gigi kelinci~

Alunan suara merdu milik Aji menggema di balkon kamarnya. Petikan gitar mengiringi suaranya yang enak di dengar dan begitu pas di telinga.

Membuat ku tersadar

Bentuk cinta itu

Ya kamu~

Bibir Aji senantiasa membentuk sebuah kurva. Bayangan tadi sore membuat hatinya di selimuti hawa hawa menyenangkan. Lagu yang di nyanyikan ECLAT ini sangat tepat menggambarkan gadis pemilik gigi kelinci tadi sore.

Membayangkan senyum manis gadis itu, lagi-lagi bibir Aji tertarik keatas. Di balkon kamarnya kini, ia menatap penuh minat pada jendela di sebelah rumahnya. Jendela kamar milik Fadhila dyana dewi. Tetangga baru sekaligus gadis incarannya sejak masa sekolah menengah pertama dulu.

Semesta seakan mendukung. Tak perlu repot-repot untuk apel tiap sore, kini ia hanya perlu duduk santai di balkon kamar. Bukannya pengecut, namun hanya takut. Takut tak terbalas dan di jauhi.

Di tengah lamunannya, Aji tersentak kala suara merdu pemilik pipi chubby itu tertangkap telinganya.

"Ya?"

Fadhila mengerutkan keningnya, "Kakak ngapain? Dari tadi aku panggil gak denger ya?"

Aji berdehem dan menggaruk tengkuknya. "Nggak nih"

"Ck. Kakak ngapain? Bukannya tidur malah semedi!?" Fadhila mengulang pertanyaannya tadi yang sama sekali tak di sahuti sang empunya yang ternyata tengah melamun.

Aji tertawa gamblang menanggapi Fadhila. "Soalnya bidadari aku susah peka. Makanya perlu semedi."

Fadhila tertawa pelan. "Siapa sih bidadarinya?"

"Kamu" Aji menatap Fadhila tepat pada manik mata gadis itu. Fadhila sendiri mematung dan tak tahu persis apakah telinganya perlu di periksakan atau tidak.

Aji Saputra. Kakak kelas yang selalu membuat hatinya berdebar kala sore menjemput. Topi converse warna merah selalu mengiringinya bersepeda di pelataran depan rumah milik Fadhila.

Saat orang tuanya mengutarakan niat pindah rumah, Fadhila tentu sangat sedih. Bukan hanya bunga anggrek yang di sayangkannya. Tapi juga pemandangan setiap sore. Pemandangan kakak kelas termanis yang pernah ia kenal sedang bersepeda.

Namun siapa sangka, mereka kini malah menjadi tetangga satu komplek dan bahkan kamarnya saja bersebelahan.

"Dil, jadian yuk" Lagi-lagi Aji membuat Fadhila tersentak.

"Ucul banget sih bercandanya"

"Seriusan nih" Kali ini Aji berdiri mendekat pada tepi balkon mendekati jendela bercat putih tulang milik Fadhila.

"..."

"Kamu pikir aku ngapain tiap sore lewat depan rumah kamu? Kalau cuman sepedahan ya mending di sekitaran sini aja. Rumah kamu kan jauh, Dil"

"Ngapain memang?"

"Ngapelin kamu lah. Sayangnya kamu nggak peka-peka. Masa aku kodein lewat chat juga respon kamu cuek banget" Aji menampilkan wajah serius nya yang justru lucu menurut Fadhila.

"Aku gamau pacaran" ucapan Fadhila yang menggantung membuat hati Aji bergemuruh hebat. Jadi begini ending ceritanya?

Fadhila kembali tersenyum "Maunya langsung di kasih mahar seperangkat alat sholat"

"Itu sih gampang. Sekarang aja mau?" Aji tertawa menimpali kalimat yang di lontarkan Fadhila.

Kini Fadhila menatap lurus pada manik hitam kelam milik Aji. "Tunggu aku lulus S1 ya?"

Aji menganga, "Sekarang aja kamu masih kelas 11."

"Jadi?" Fadhila mengedikkan bahunya acuh.

"Harus nunggu ya?" Fadhila hanya mengangguk menanggapi.

Aji menghembuskan nafasnya kasar. "It's okay to be waiting. Anything for you"

Kali ini mereka berdua tertawa menikmati akhir cerita yang tak pernah di duga. Fadhila yang hanya mampu memandang. Dan Aji yang terlalu takut mengungkapkan. Kini selesai sudah misteri keduanya. Selesai sudah acara ngapel Aji tiap sore, atau acara Fadhila menyiram tanaman sambil menikmati pemandangan manis depan pelataran rumahnya.

END

 

Bentuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang