prolog

268 8 0
                                    

Aku tidak mengerti dengan semua ini, tentang mereka yang kenapa begitu membenci diriku. Seolah-olah aku ini seperti kotoran yang sangat menjijikkan untuk dilihat.

Hinaan, bully-an selalu kudapatkan sejak diriku duduk di bangku kelas satu sekolah dasar sampai sekarang. Sejak saat itu pula aku mendapatkan predikat sebagai orang yang pendiam dan penyendiri.

Bagaimana tidak? Sebab tak ada satupun orang yang ingin berteman denganku, kecuali ... Dia.

"Aca!" Aku menoleh saat mendengar seruan seseorang yang menyebutkan namaku.

Ah, ternyata Novan yang sedang memanggilku. Kalian tahu tidak, jika Novan inilah satu-satunya teman yang sedikit care padaku apabila saat aku di bully.

Tetapi, buat apa dia memanggilku? Bukannya tadi dia tidak ingin membantuku ketika aku di bully. Aku melihat Novan yang kini melangkah mendekat ke arahku.

"Ada apa kau memanggilku?!" tanyaku ketus begitu Novan sudah mengambil tempat duduk di sampingku.

Saat ini aku tengah duduk di taman belakang sekolah, tempat yang sering dan bahkan selalu aku datangi ketika aku merasa sesak dan jenuh apabila terlalu lama di dalam kelas karena ulah jahil teman-temanku.

Di sini pula aku sering menghabiskan waktuku, menyendiri sambil melamun, berandai-andai kapan semuanya ini segera berakhir.

Syukurlah sekarang aku sudah kelas enam, yang artinya tinggal sebentar lagi waktu yang akan aku habiskan di tempat seperti neraka ini.

Maafkan aku yang tidak merasa bahagia bersekolah di sini.

Hal yang selalu aku pendam sendirian selama enam tahun, tanpa mampu aku menceritakannya kepada guru atau orang tuaku sekalipun. Bahkan ketika aku terluka di beberapa bagian tubuh dari hasil perundungan mereka, aku tetap bungkam. Ya. Inilah aku, si gadis gendut yang begitu bodoh. Hanya mampu diam, diam, dan diam atas perlakuan mereka yang kadang keterlaluan dan sedikit tidak manusiawi sehingga menyebabkan beberapa bagian tubuhku sering mengalami memar.

Kadang aku membenci diriku sendiri. Tapi, aku tahu jika aku begitu maka Tuhan akan marah padaku sebab aku yang lupa bersyukur. Tetapi andai saja Tuhan mengizinkanku untuk bisa merubah diri dari semua keterpurukan yang menyakitkan ini menjadi sesuatu yang tentu membuatku semangat dan lebih bahagia. Aku mulai belajar menerima kenyataan, belajar memahami bahwa tak semua keinginan bisa terpenuhi adalah obat terbaik mencegah kecewa dan sakit hati. Walaupun hal itu tidak menutup keinginanku untuk segera pergi dari sekolah ini. Terbebas dari para penindasku.

"Hei, kau melamun?!" Aku tersentak kaget ketika Novan menyikut lenganku beberapa kali.

Aku menatapnya dengan kesal. "Pergi sana! Aku benci kau Novan, kau sama saja dengan mereka!" sentak ku mengusir Novan yang entah kenapa hari ini juga sama kejamnya dengan yang lain.

"Maafkan aku," kata Novan tiba-tiba meminta maaf. "Hari ini aku tidak bisa membantumu lepas dari bully-an mereka, sebab Andre mengancamku." Aku berkerut alis bingung, "Mengancammu?"

"Iya," jawab Novan menundukkan kepalanya, "Andre mengancamku apabila aku membantumu lagi, maka ia tidak akan segan-segan untuk menyakitimu lebih dari yang biasanya mereka lakukan." Raut wajah Novan penuh dengan penyesalan dan rasa bersalah.

Aku terperangah mendengarnya rasanya aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. Benarkah begitu? Novan merasa khawatir padaku sampai-sampai ia menurut pada ancaman Andre. Dan Andre, kenapa pria itu sangat membenciku? Apa salahku sebenarnya padanya?

"Hei, lihat ini!!" teriak sebuah suara.

"Kau dengar itu?" tanya Novan menatap ke arahku.

"Ya, bukankah itu suara Sheila?" Novan mengangguk. "Kenapa dia menjerit?"

GET MARRIED! 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang