"SYAFAA!!" Memang benar-benar nih orang, pagi-pagi udah berisik aja. Aku membalas teriakannya dengan gumaman kecil. Bukannya merasa bersalah ia malah cengengesan dan langsung menjatuhkan badannya di bangku sebelahku. Dia namanya Jihan, teman sebangkuku sekaligus teman dekatku. Aku sekarang duduk di bangku kelas XII IPA 5 di SMA Tirtayaksa.
"Masih pagi, jangan berisik," kataku kesal.
"Bukannya berisik. Kita itu harus menyambut pagi dengan ceria, nggak kayak lo, murung mulu."
"Gue nggak murung, emang muka guenya aja yang kelihatannya begitu." Aku kembali mengingatkan dia akan perihal tersebut. Wajahku memang begini adanya, padahal tidak murung tapi terlihat murung.
"Oh iya, ya ... sorry, kadang lupa." Dia tertawa sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku mengabaikannya dan lebih memilih menenggelamkan kembali wajahku di bawah lekukan tanganku berhubung jam masih menunjukkan angka enam lebih lima belas menit. Hari ini aku berangkat terlalu pagi karena bang Fahri juga berangkat pagi sebab di kantornya akan kedatangan visitor dari luar kota.
Baru beberapa menit aku terlelap, aku sudah mendapatkan bunga tidur. Aku tersenyum lebar begitu sosok yang kukenali mendekat ke arahku, dia turut tersenyum sepertiku. Saat aku dan dia akan berpelukan tiba-tiba suara menyebalkan itu datang tanpa ada yang mengundang, rusak sudah mimpi indahku.
"WOY, SITI, TIDUR MULU LO KAYAK KEBO." Teriakannya sontak membuatku terbangun. Aku sangat kenal dengan suara tersebut, dia Sandy, teman sekelasku yang suka sekali menggangguku. Pokoknya hobinya bikin kesal orang deh. Contohnya seperti sekarang ini, enak-enak tidur malah diganggu pakai panggil Siti segala lagi. Memang sih, namaku itu Syafa Sitisuhailah tapi nama panggilanku itu Syafa bukan Siti.
Aku tidak mau kalah dong, dia pun aku panggil pakai nama belakangnya. "Heh Sutris, bisa nggak sih lo sehari aja nggak usah ganggu gue?"
"Nggak bisa. Udah hobi gue gangguin lo, sehari nggak ganggu lo itu rasanya kayak ada yang kurang," katanya. Aku makin mendelikkan mataku.
"Awas mata lo copot," lanjutnya sambil tertawa sebelum berlalu menuju bangkunya yang terletak di pojokan.
Jihan mengusap punggungku. "Sabar, Sya, Sabar ..."
"Bikin kesel mulu tuh orang, capek gue."
Tak lama kemudian, guru pun memasuki kelas ternyata bel masuk sudah berbunyi lima menit yang lalu. Aku sesekali menutup mulutku, sedari tadi rasanya aku ingin sekali memejamkan mata tapi aku tahan-tahan karena jam pelajaran masih berlangsung. Aku melihat Bu Nunik menuliskan soal matematika di papan tulis setelahnya ia bersuara,
"Yang bisa jawab soal ini nanti Ibu kasih poin untuk tambahan nilai."
Namun, tak ada suara terdengar. Aku pun diam saja karena memang tak berminat menjawabnya apalagi itu soal matematika.
"Siti, Bu. Eh, Syafa, Bu. Dia mau jawab." Sandy sialan. Kini mataku terbuka sempurna, rasa kantuk yang melanda pun hilang seketika.
"Enggak, Bu. Saya nggak bilang mau jawab. Saya nggak bisa, Bu," kataku sedikit panik. Aku tidak mau mempermalukan diri sendiri di hadapan teman-temanku karena tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut.
"Biasanya yang menunjuk temannya itu yang kepingin menjawab. Ayo, Sandy, kamu maju ke depan. Jawab soal di papan tulis." Jawaban Bu Nunik sungguh tak terduga. Hatiku sangat senang sekali. Mampus lo, Sandy.
Jihan tertawa ngakak di sampingku sebelum aku mengajaknya tos karena saking senangnya.
"Tapi, Bu, saya nggak bisa, Bu." Aku memutar kepalaku ke belakang untuk melihat raut wajahnya. Aku menahan tawaku begitu mengetahui raut wajahnya memancarkan kepanikan.
"Jangan banyak alasan kamu, ayo maju!" Bu Nunik memerintahkan dengan tegas. Sandy mau tak mau menuruti perintahnya. Ku lihat dia berjalan ogah-ogahan menuju papan tulis, saat melewatiku dia menatapku seolah-olah mengatakan awas ya lo, tunggu pembalasan dari gue, aku tidak takut.
Sudah cukup lama Sandy menghadap soal matematika di papan tulis, tangannya pun bergerak kesana-kemari tapi belum ada tanda-tanda ia berhasil menjawab satu soal tersebut.
"Kok lama sekali, Sandy?" Bu Nunik angkat suara.
"Kan sudah saya bilang, Bu, saya nggak bisa," jawabnya. Kurasa Sandy ini tidak punya malu deh. Kalau aku sih, tentunya malu setengah mampus.
"Yasudah kalau begitu, sebagai gantinya kamu sekarang berdiri di depan pintu kelas, tangan kanan memegang telinga kiri dan kaki kiri ditekuk ke belakang sampai bel istirahat bunyi. Paham?"
Dan aku lagi-lagi tertawa di atas penderitaan Sandy.
***
"Sya, kantin yuk?" Jihan sudah beranjak dari bangkunya sementara aku masih membereskan buku-bukuku untuk dimasukkan ke dalam loker meja.
"Iya, Han, bentar ya." Setelah semua bukuku tertata rapi di loker meja, aku langsung mengaitkan tanganku ke lengan Jihan dan segera melangkah menuju kantin.
Belum juga sampai di kantin, tiba-tiba ada yang menarik rambutku ke belakang alhasil ikat rambutku terlepas begitu saja.
"Apa-apaan sih," kataku sewot saat mengetahui si Sandylah pelakunya. Dia sekarang ditemani sama dua temannya, Bagas dan Fikri.
"Tanggung jawab nggak lo," katanya terlihat marah.
Aku mengernyitkan dahi. "Tanggung jawab kenapa?"
"Lo udah bikin kaki gue pegel, tau nggak?"
"Kan salah lo sendiri, ngapain jadi nyalahin gue?"
"Salah lo lah, kenapa tadi lo nggak maju aja?" Dia masih ngotot.
"Ya salah lo lah, ngapain tadi nunjuk-nunjuk gue segala? Kena batunya kan, rasain."
"Nggak mau tau, pokoknya sekarang lo harus beliin gue minuman di kantin." Dia tersenyum miring seraya memainkan kedua alisnya.
"Ogah, beli aja sendiri." Aku memutar tubuhku berniat meninggalkannya namun gerakanku terhenti ketika tangan Sandy menahan pergelengan tahanku.
"Beliin minuman atau lo mijitin kaki gue?" Udah gila nih orang.
"Udahlah, Sya, jangan peduliin dia," ucap Jihan. Tapi aku malah memikirkan perkataan Sandy barusan.
"Oke, fine." Aku memutuskan memilih opsi pertama saja, menurutku lebih baik beliin dia minuman daripada mijitin kakinya.
"Sya, serius?" Jihan sepertinya tidak yakin.
"Iya, Han. Yang waras ngalah aja." Aku segera menarik Jihan cepat-cepat supaya menjauhi Sandy.
Dari kejauhan aku mendengar samar-samar teriakan Sandy. "Jadi maksud lo, gue gila? SIALAN LO SITI!!!"
***
Sepulang sekolah aku menunggu bang Fahri menjemputku di kursi panjang depan sekolah, Jihan sudah lama pulang karena dia membawa motor sendiri. Tak lama, mataku menangkap sosok lelaki yang pagi tadi menjadi bunga tidurku, mendadak jantungku berdebar tak karuan. Dia Fajar, siswa kelas XII IPA 1 sekaligus lelaki yang aku sukai diam-diam sejak pertengahan kelas sepuluh.
Ternyata dia berjalan menghampiri teman-temannya yang sudah menunggunya di depan kafe dekat sekolah. Mataku tak ingin beralih hingga dia memasuki kafe tersebut sampai suara klakson mobil mengalihkan pandanganku.
"Dek, buruan naik." Bang Fahri sudah tiba, aku pun segera naik ke dalam mobil. Saat mobil melintas melewati kafe, mataku masih sempat melihatnya yang sedang tertawa lepas bersama teman-temannya.
Sejak pertengahan kelas sepuluh itu pun hobiku adalah melihatnya dari kejauhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undemonstrative
Teen FictionIni cerita sederhana tentang Syafa Sitisuhailah bersama Sandy Argani Sutrisna, teman sekelasnya yang selalu menganggunya dan Fajar Arshaka, lelaki yang diam-diam Syafa sukai semenjak pertengahan kelas sepuluh. Namun, seiring berjalannya waktu Syafa...