Pengantin Pilihan
Alunan gamelan mendayu di rumah besar Raden Panji Haryo Subekjo, suara gendangnya membuat leher ingin meliuk mengikuti gelengan kepala yang mabuk akan tinggi rendahnya nada yang berpadu membentuk harmoni musik syahdu menentramkan.
Gong ditabuh...
DONG!!
Membuat jantung terasa bergetar beberapa saat. Tersisa rasa puas di alam hati, seolah nada pungkasan itu berakhir dan akan berganti dengan nada baru yang diawali dari kenong dan gender sebuah isyarat tarian harus berganti gerakan.
Tiga gadis dengan selendang biru menari luwes di bale kesenian rumah besar itu, bagaikan sebuah harmoni tertata sempurna dengan iringan gamelan dan wajah - wajah manis penarinya.
Mereka adalah Raden Ayu Sekar Arum Subekjo putri kedua Raden Panji, Raden Ayu Diyah Bingah Cokro Sucipto keponakan Raden panji, dan Raden Ayu Hanah Prowiro Dirjo teman sekolah Raden Ayu Sekar.
Tiga kali dalam seminggu mereka berlatih tarian jawa, dan hari ini tampak dengan indahnya mereka menari gambyong. Sang pelatih tari, Nyai Ratri memberi isyarat untuk para muridnya berhenti, malam mulai menjelang.
"Nduk Sekar, gerakanmu sungguh lemes, gemulai...."
"Nggih terima kasih, Nyai."
"Nduk Diyah dan Hanah juga bagus sekali, seminggu lagi kalian akan mengisi pembukaan acara penyambutan di Kasunanan. Mulai besok kita persiapkan semuanya," terang Nyai Ratih sembari merapikan sanggulnya.
"Baik Nyai...," jawab serentak ketiga gadis tersebut.
Diyah dan Hanah telah pulang dijemput oleh para abdinya, rumah mereka yang berjarak tidak terlalu jauh dari rumah Sekar, tempat mereka berlatih tari. Tidak membutuhkan kereta kuda untuk datang ataupun pulang. Hanya butuh jalan kaki saja sudah sampai ke rumah masing-masing.
Setelah selesai makan malam, Raden Panji memanggil Sekar datang ke bale utama keluarga. Tampak sang ibu, Raden Ratmi, dan ibu selir, Raden Garnis, sudah menunggu di sana. Sekar datang membungkuk dan menunduk di depan orang tuanya.
"Duduklah! Sekar," tutur Raden Ratmi.
Sekar mengangguk dan duduk.
"Sekar, seperti yang Romo pernah katakan beberapa waktu lalu, bahwa kamu sudah dilamar," imbuh Raden Panji.
"Hari senin depan keluarga calonmu akan datang kesini untuk meminang. Usiamu sudah cukup! Romo tidak bisa menolak lagi setiap lamaran laki-laki yang ingin menjadi calon suamimu. Permohonanmu, untuk menunda lamaran terpaksa Romo hentikan. Ibundamu akan mempersiapkan semuanya, ikutilah apa yang ibumu katakan," terang Raden Panji sambil menyeruput kopi jahe di cangkir perunggu.
Dengan terbata-bata Sekar menjawab perkataan Romonya, "Nyuwun sewu, Romo. Saya masih ingin bersekolah lagi. Apakah bisa saya sendiri yang akan mencari calon suami kelak?"
Kedua istri Raden Panji saling berpandangan. Terlihat sorot mata khawatir, tetapi tidak ada yang berani menyela percakapan ayah dan anak itu.
"Nduk cah ayu...Romo tahu keinginanmu. Kecerdasan pikiranmu membuatmu ingin memiliki dan meraih lebih dari apa yang orang tuamu pikirkan." terang Raden Panji dengan senyuman.
"Namun, kamu adalah perempuan, Nduk. Tugas perempuan adalah mendampingi suaminya. Memiliki keturunan dan menjaga harta benda keluarga...Oleh karena itu Sekar, jadilah seorang istri yang baik. Itu saja sudah membuat romo dan ibundamu bahagia," tutur Raden Panji.
Sekar kembali tertunduk, dia tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan kehendak orang yang lebih tua darinya, lebih-lebih orang tuanya. Raden Panji yang terkenal sangat berwibawa, panutan semua kerabat dan para sahabatnya. Tidak patut rasanya seorang "Sekar" meminta sesuatu yang lebih kepada orang tuanya itu.