Satu: Kamu, Apa Kabar?

81 2 0
                                    

Dulu, kita berdua pernah saling berjanji. Jika salah satu dari kita hilang, maka satu yang lainnya harus mencari. Jika salah satu merasa bosan, maka yang lainnya harus tetap bertahan dan menguatkan. Jika salah satu pergi, maka yang lainnya harus tetap menunggu hingga kembali.

Saat itu kita berdua menjadi manusia paling bahagia sedunia. Satu persatu masalah datang menghampiri, tapi kita sama-sama berhasil menghadapi. Setiap kali aku merasa sedih, kamu punya seribu satu cara tersendiri untuk hadir menghibur. Bukan sepotong cokelat atau sebuket bunga, yang membuatku senang adalah hal-hal sederhana khas dirimu.

"Ayo kita ketemu. Kayaknya kamu punya banyak hal buat diceritain."

Atau,

"Cemberut mulu. Ada yang nggak beres, ya? Kamu punya cerita apa aja hari ini?"

Atau mungkin hal-hal sederhana seperti mengajakku berkeliling kota dengan motor matic-mu.

"Aku mau dibawa ke mana?"

"Ke tempat di mana semua orang nggak bisa nyakitin kamu."

"Emang di mana?"

"Tempatnya dekat."

"Iya, di mana?"

"Hatiku."

"Gombal! Dangdut banget sih."

Jawabanmu membuatku tertawa. Ada banyak hal yang membuatku selalu jatuh hati terhadapmu.

Kamu sederhana dan selalu bisa membuatku tertawa.

Tapi semua memori indah mendadak berubah sejak kejadian itu. Sebuah kesalahpahaman yang membuat kita berdua sering berbeda argumen. Tidak jarang kita meributkan hal-hal kecil yang sebenarnya tidak perlu dibahas.

Kamu terlalu skeptis, sedang aku terlalu egois. Perlahan, janji-janji yang semula kita buat, lama-lama kita ingkari sendiri. Kita sama-sama bosan lalu pergi. Berujung saling menghilang dan tidak kembali.

Aku masih ingat dengan jelas percakapan di saat terakhir kali kita bertemu. Di sebuah coffee shop, di bangku paling pojok dekat jendela.

"Kita maunya gimana?"

"Kayaknya kita emang nggak bisa sama-sama lagi."

"Kenapa?"

"Kita udah nggak bisa."

Ucapan yang kamu berikan benar-benar tidak menjawab pertanyaan dariku. Entah apa yang ada di pikiranmu saat itu. Aku tidak bisa membacanya.

Aku terdiam.

Kamu juga.

"Entah apa alasan kamu buat mengakhiri semua ini. Tapi aku yakin kalau alasan itu emang nggak mau kamu bagi. Kalau ini emang jadi jalan satu-satunya, aku pengin semua berakhir dengan baik."

Aku menghela napas sedalam-dalamnya.

"Makasih buat semuanya."

Aku beranjak berdiri dan pergi dari sana.

Bodohnya aku saat itu masih berharap kamu kejar. Kenyataannya, kamu tidak juga datang hingga sekarang.

Kita benar-benar selesai.

Aku masih tidak bisa mempercayainya.

Kita berdua sudah lama tidak saling sapa. Sejak perpisahan itu, kita benar-benar jauh. Setiap hari diriku menahan lara, sedangkan kamu seolah lupa bahwa ada luka di antara kita. Aku mencoba memulihkannya sendiri. meski bayanganmu seringkali hadir di dalam mimpi. Sulit sekali menghilangkanmu dari hati.

Melihatmu di depan layar ponsel sepertinya sudah cukup bagiku untuk saat ini.

Kalau saja aku diberi kesempatan untuk bertemu denganmu lagi, ada satu pertanyaan yang sejak dulu ingin aku sampaikan. Pertanyaan yang mungkin terdengar biasa saja. Pertanyaan yang sebenarnya terlalu mudah untuk diucapkan. Tapi entah mengapa aku kesulitan untuk mengungkapkannya. Pertanyaan itu hanya tertahan di dalam kepala.

Kamu, apa kabar?

Biarlah pertanyaan itu tetap jadi angan yang tak bisa aku ungkapkan. Karena sepertinya pertanyaan itu sudah terjawab dengan sendirinya.

Kamu baik. Tuhan menjagamu dengan sangat baik.

Semoga memang begitu.

Kamu Hadiah Terindah Untuk BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang