Bagian 1

83 5 0
                                    

[Bang, aku hamil!] Di suatu sore yang basah, di antara gerimis yang tak kunjung reda dari pagi, aku menelfon Abian suamiku. Seperti ada bongkahan batu menekan dada saat menyampaikannya, harusnya ini jadi kabar gembira bagi pasangan lain, tapi tidak bagi lelaki itu, justru dengusan kasar yang terdengar di seberang sana.

[Kok bisa? Kita cuma tiga kali melakukannya!] Kasar jawaban Abian menusuk jantung membuatku terdiam, mengutuk kebodohanku menerima dia kembali.

[Lalu kau tak mau mengakuinya?] Aku menggigil mengucapkannya, sekejab hilang hormatku atas pertanyaannya yang bodoh.

[Hah! Bisa saja kau melakukannya juga dengan yang lain, baru rujuk denganku!]

[Ternyata kau memang tak pernah berubah, Bang! Harusnya tak kuterima ajakanmu untuk rujuk kalau kutau akan seperti ini!] ujarku parau, air mata telah luruh sejak jawabannya yang menyakitkan tadi.

[Sudahlah, kepalaku sakit, nanti kita bicara lagi!] Putus Abian kasar, tanpa menunggu jawabanku.

Bulan lalu, kami kembali melaksanakan akad nikah, setelah bercerai dua tahun lamanya. Abian datang ke rumah, mengunjungi Amelia, putri kami satu-satunya dengan dalih rindu, karena sejak kami bercerai, dia menghilang entah kemana. Kehadirannya disambut Amelia dengan sumringah dan rindu yang begitu sarat dalam sorot matanya.

Amelia melupakan benci pada sang Ayah yang kutuntut cerai karena tak sanggup dengan kekerasan yang dilakukannya di sepanjang pernikahan kami. Abian memang pandai berpura-pura, dia bisa bersikap kasar dan memukuliku, tapi bersikap manis penuh kasih sayang pada putrinya.

Berbulan-bulan lelaki bertubuh jangkung dan tak pernah kehilangan pesona itu datang dengan dalih melihat putri kami, mencuri kesempatan untuk bisa bicara denganku yang sebisa mungkin menghindarinya.

Tapi benci yang kutanam di hati tak mampu mengalahkan cinta yang bertahun kubangun untuknya. Dia adalah cinta pertamaku dari SMA, lelaki tampan yang over protektif itu membuatku yang kurang kasih sayang merasa begitu terlindungi. Sayang cintanya justru melukaiku. Tamparannya melayang hanya karena melihat ada teman sekelas pria yang datang ke rumah untuk meminjam tugas sekolah.

Aku memang wanita bodoh, tamparan dan caciannya justru membuatku makin tergantung padanya, kekerasan yang menjadi candu, begitulah ledekan dari teman-teman yang mengetahui penderitaanku.

"Astaga Drea, kok mau-maunya dipukul di Abian, kalian masih pacaran lho, gimana nanti kalau nikah? Bisa patah tulangmu diremuknya!" Begitu Zeline sahabatku berkomentar, komentar yang mungkin sudah ratusan kali dilontarkan padaku.

"Udahlah, putus dari sekarang, sebelum lu makin parah di tangannya, lelaki tempremen kek gitu, tak pantas jadi pacar apalgi suami!" Aku diam membenarkan, tapi Zeline takkan pernah paham, betapa berartinya Abian dalam hidupku.

Hubungan tak sehat itu memang terus berlanjut, bertahun-tahun, hingga kami memutuskan menikah saat kuliahku masih semester tiga. Cita-cita menjadi sarjanapun harus dikubur dalam-dalam demi menjadi istrinya.

Perilaku tempreman Abian tak berubah walaupun aku hamil, tak hanya memukul, tapi caci maki yang dilontarkannya sudah biasa kuterima. Aku diam dan memendam semuanya, jika kuceritakan, hanya perasaan malu yang makin membuatku menderita. Bodoh! Sudah tau dia lelaki tak berakhlak, tapi terus mengharapkannya.

Perceraian tak terelak, ketika Oma yang kebetulan sedang berkunjung ke rumah kami datang, dan melihatku babak belur dipukulinya, Oma meradang, wanita yang telah mengasuh dan membesarkanku dari kecil itu tak terima.

"Ceraikan Adrea sekarang, atau kamu masuk penjara!" ancam Oma keras tak mampu ditentang Abian. Wanita yang telah berusia lanjut itu memang sangat ditakutinya. Oma yang selama ini menyokong hidup kami, menyiapkan rumah untuk kami tempati semenjak menikah, tak segan menyelipkan uang pada Amelia jika berkunjung, walaupun tau Abian lahir dari keluarga berada yang juga banyak dibantu keluarganya. Tapi wibawa Oma memang membuat nyali lelaki kasar itu menciut.

Kami pun berpisah, talak satu diikrarkan. Lalu Abian menghilang. Seiring sakit yang masih tersisa, ada rindu yang perlahan menyapa, dia adalah lelaki yang bertahun-tahun memberiku cinta luar biasa dan luka yang berbahaya. Jika hari ini dia memberikan limpahan sayang, besok dia bisa beringas tanpa alasan. Dan aku menerima. Bodoh!

***

Kehadirannya, seiring luka yang telah sembuh, sikapnya yang jauh berubah, tatapannya yang memancarkan rindu dan cinta kembali membuatku tersipu dan memerah ketika tatapan kami beradu, di sela kunjungannya saat bermain dengan Amelia di teras rumah.

Sikapku seperti kembali ke masa SMA, rindu kembali merekah diam-diam dalam hati dan Abian menangkap sinyalnya. Memanfaatkan pesona yang kembali menjeratku.

Dan kami rujuk ....

Bersambung11

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lelaki Tak BerakhlakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang