Jika Saja~

23 1 0
                                    

Juni adalah dermaga di mana hati menemukan tempat peristirahatan dari setiap  kepatah hatian. Berlabuhlah sejenak, tanggalkan kesedihan bersama turunnya jangkar. Tentang gadis itu, biar rembulan mengambil tugasmu.




       Bulan ini cuaca selalu cerah, beberapa gumpalan awan sesekali menutupi cahaya matahari yang menjadikan hari sedikit sejuk.
        Hembusan angin siang itu seperti sebuah alunan melodi syahdu. Padang ilalang bergoyang, pohon-pohon mengibaskan dedaunan yang mati, deru ombak di pesisir pantai yang mengantarkan buih-buih kenangan masa silam.
        Kumar seorang bujang sial meratapi kehidupannya dalam perjalanan ke kota M. Selama di perjalanan, ia hanya melamun; memandangi sekelibatan hamparan sawah di balik kaca kereta api. Tak ada yang dihiraukannya, kecuali imajinasi dalam pikirannya yang membuat ia terjebak dari lamunan panjangnya.
"kau selalu membuatku tertawa kumar. Seperti rumah: kau adalah tempat berteduh ternyaman setelah perjalanan panjang" Gadis itu tersenyum memandangi langit yang mulai kemerahan.
Sepotong percakapan yang membuat kumar melamun sedari tadi dalam beberapa hari sebelum perpisahan mereka.
        Sore hari kumar berjanji mengajaknya ke warung kopi. Ia hanya sekedar ingin menikmati dua gelas cangkir kopi yang saling berhadapan merekam semua obrolan mereka. Ia berandai sepanjang jalan bagaimana romantisnya nanti mereka berdua di hadapan kopi. Biasanya, Kumar hanya menikmati kopinya sendiri.
        Tentunya tanpa pernah ada obrolan yang terekam. Karena ia hanya menulis tentang  segelas kopi yang mulai dingin ditinggal tuannya di tepian meja tanpa pernah merekam obrolan.
        Hari itu warung kopi cukup lengang, hanya kumar dan kinara. Mereka berdua duduk saling berhadapan dan memesan dua gelas kopi. Ini bukan seperti puisi Sapardi "Di Restoran" —puisi tentang sepasang kekasih yang menjalin asrama, seorang lelaki yang berusaha membangun kisah asmara sementara sang wanita hanya diam tak ingin adanya hubungan antara keduanya(salah satu interpretasi dari puisi ini)—di mana hanya lelakinya saja yang memesan dan wanitanya tak tahu memesan apa. Kumar cukup lega setelah mengingat salah satu interpretasi puisi Sapardi tidak terjadi dengannya saat itu. Ia cukup yakin cintanya berbalas, tapi keduanya hanya memendam tanpa pernah tersampaikan sampai di ujung perpisahannya dengan Kinara.
        Kopi itu tanpa pernah berhenti merekam obrolan mereka. Satu kata pun tak pernah dilewatkannya, diamnya mereka pun ketika bersusah payah mencari obrolan agar semakin hangat dijelaskan dalam rekaman itu.
        Ada sebuah percakapan di mana Kinara ingin mengetahui siapa seseorang yang sedang dan selalu dicintai Kumar. Tanpa beban, Kumar bercerita tentang siapa wanita yang selalu dicintainya:
"Dulu aku pernah bertemu seorang gadis di sebuah desa tentunya. Matanya memancarkan sinar rembulan, senyumnya indah seperti pantulan bulan di tengah telaga, wajahnya teduh seperti kabut menyelimuti permukaan telaga yang dinaungi sinar rembulan.. ".
        Tanpa disadari ketika Kumar asyik bercerita tentang seorang gadis, Kinara sedikit cemburu. Wajahnya memerah seperti menahan sesuatu, walaupun memang wajahnya selalu merah merona.   Apalagi pipinya, sepertinya senja selalu berlabuh di sana atau mungkin ibunya melukis warna senja ketika dalam kandungannya.
        Kumar pun mulai menyadari bahwa gadis yang di sebrangnya itu mulai cemburu. Sebuah rasa cemburu yang memang bukan haknya, hadirnya tak pernah diinginkan. Begitupun luapan benih cinta yang dirasakan Kumar menyeruak dalam hatinya. Ia mencintai sebuah ketiadaan, ia sadar sesuatu itu adalah yang tiada tapi ia tetap mencintainya.
        Kedua cangkir kopi saling menatap, mereka-reka setiap bahasa tubuh mereka, menduga-duga setiap rasa yang terjadi diantara mereka. Senja mengintip di ujung cakrawala, mengabarkan bahwa setiap rasa akan tenggelam bersamanya dalam dekapan gelap malam kemudian disampaikannya rasa itu dalam setiap mimpi orang-orang yang menitipkan padanya.
        Sepasang bola mata sesekali saling bertatap, angin sore menyapu kabut menyemai setiap goresan senyum yang tersipu. Isyarat menjadi akhir perbincangan yang sarat, dan perpisahan mereka ditutup dengan secarik surat.
        Seperti kereta, waktu tak pernah berhenti melesat. Jika saja kereta bisa berjalan mundur, tentunya Kumar akan mengajak Kinara untuk mengisi kursi di sampingnya. Jika saja waktu pun bisa diputarbalikan, tidak hanya mengisi bangku kosong. Tetapi mengisi cerita kehidupannya. Jika saja~





Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jika SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang