free.

25 8 5
                                    

Tebaran kembang api mewarnai langit malam yang indah; bertaburan bintang kerlap kerlip. Tidak ada perayaan yang spesial, bahkan bukan tahun baru. Anak-anak muda yang sedang berdiri di atas rooftop, memandang ingar bingar perayaan yang sederhana ini.

"Memangnya enggak apa kalau tengah malam main kembang api di ibukota?" seorang gadis menarik pelan jaket sang lelaki.

Zay memandang Rea, kekasihnya, setelah puas bersorak dengan teman-temannya yang lain. "It's alright. Ini itu udah kayak rutinitas pas naik kelas. Apalagi sekarang kita udah lulus."

Rea mengangguk sekenanya. Zay mengerti, Rea kurang nyaman berada di kerumunan. Lantas, Zay menarik Rea menjauh dari kumpulan.

"Eh, kenapa?"

"I see your face. Kamu kurang nyaman, ya?"

"Begitukah?"

Zay mengangguk. Menyuruh Rea duduk di tumpukan bata yang ada, Zay duduk di sampingnya.

"Apa kita pulang saja?"

Rea hanya menggeleng dengan kepala yang menunduk kebawah. Rea tidak ingin kemana-kemana selain bersama Zay.

"Kamu mau ku antar pulang?"

"Aku tidak suka rumah. Aku tidak punya tempat berteduh."

Zay mafhum. Rea kesepian dalam zonanya. Zona yang seharusnya terhapus, namun gadis itu masih terseret pada kubangan nestapa. Tidak ada yang memedulikan, bagaimana kabar Rea? Bahkan hingga tengah malam pun, tidak akan ada yang khawatir kalau gadis itu kenapa-kenapa. Zay paham, itu sebabnya Rea harus bebas. Tidak terbelenggu dalam rantai yang mereka ikat pada kaki-kaki Rea.

"Kalau begitu, mau menginap di apartemenku?"

Kembali Rea menggeleng. "Tidak. Aku masih agak canggung kalau tiba-tiba aku pulang duluan."

Bahkan, seputih apapun Rea, tidak ada yang menghiraukan.

"Kamu bilang kalau aku harus bebas. Sekarang, sudah 'kan?"

"Bukan bebas yang seperti itu. Bebaskan masalahmu, bebaskan apa saja yang sedang kamu pikirkan, keluar dari zona mereka, dan buat zonamu sendiri," Zay mengusap rambut Rea. "Bebas tidak hanya sekadar melihat mereka tertawa, tapi terbebas dari belenggu orang-orang yang tidak pernah melihatmu. Tunjukkan mereka kalau kamu bisa membuat takdir sendiri, bukan skenario dari mereka."

"Tapi mereka adalah orang tuaku."

Salah satu penyebab Rea tidak dapat mengakses semua hal duniawi adalah yang Rea sebut orang tua.

"Waktu kita SD saat pelajaran Agama, apa kita diajarkan untuk melawan orang tua? Tidak ada. Mereka mengajarkan bahwa kita harus patuh pada perintah orang tua."

"Apa DNAmu sama seperti mereka? Rea, aku rasa tidak."

Zay mengerti. Tidak ada yang lebih mulia daripada kasih sayang orang tua. Bahkan, orang tua yang tidak sedarah. Tapi, begitu kasusnya Rea adalah anak asuh yang selalu dicemooh, Zay tidak terima. Cukup bagi dirinya dua belas tahun melihat kesaksian bahwa Rea tidak diperlukan lagi dalam hidup kedua orang tua angkatnya. Bagaikan Rapunzel yang terkurung dalam istana, Rea terkurung dalam siksaan orang tua angkatnya. Rea maklum, mungkin itu bentuk kasih sayang dari orang tua yang sesungguhnya.

Sedih bila memang Rea tidak pernah tau kasih sayang orang tua yang sewajarnya. Rea selalu tumbuh sendirian. Tidak ada pijakan, tidak ada penopang, tidak ada kata semangat yang mengalir. Tragis, bahkan Rea tidak mengerti apa arti keluarga bahagia.

Rea di angkat oleh saudagar kaya yang sama sekali tidak memiliki buah hati. Katanya, Rea sangat manis dan ceria. Namun, rasanya Rea baru mengerti kalau keceriaannya direnggut habis oleh kedua orang tuanya.

"Aku hanya ingin kamu keluar dari zona itu."

"Tapi...."

"Kamu berada dalam lingkup yang buruk. Sudah cukup, Rea. Kamu tidak dihargai lagi oleh orang tuamu. Kamu tidak pantas mendambakan mereka lagi. We could be free."

"Aku hanya tidak tahu harus bagaimana," Rea mengusap pipinya karena angin menerpa kulit mereka.

Zay mengusap punggunh Rea, dan memeluknya. "Ada aku di sini. Jangan khawatir."

"Aku mencintaimu," Rea mendekap pada dada bergemuruh milik Zay.

"You're lookin' lighted with me."

"Apa kamu mencoba menggombal?" Rea melepaskan dekapan, dan tersipu malu, lantaran perkataan Zay barusan.

Perkataan Zay memang tidak salah sepenuhnya. Kadang berada di zona yang diciptakan, bahkan orang lain yang menciptakan, tidak pernah begitu mulus. Keluar dari zona nyaman tidak ada salahnya. Rea terlalu sakit apabila mereka tetap tidak mau menerima kembali kebahagiaan kecil yang Rea ciptakan. Rea seperti tidak akan dibutuhkan lagi, karena bila datang yang baru, yang lama akan terlupakan. Dan, di sini posisi Rea bukan anak kandung mereka. Jadi, wajar bila Rea hanya akan mengatakan terima kasih dan maaf kepada orang yang sudah menjaganya, mencintainya layaknya anak sendiri.

Dan, Rea tidak akan lagi melihat tali-tali yang mereka ciptakan untuk membelenggunya. Seorang pernah berkata, "prioritaskan bahagiamu. Bahagiamu adalah hidupmu. Tidak perlu tau sepenting apa mereka, kamu adalah yang pertama."

Maka, tidak salah kalau Rea melangkah maju, membuat zonanya sendiri, menata hidupnya kembali, dan menjadi Rea yang sendiri. Tidak. Kali ini ada satu orang yang akan menemaninya. Zay Mahtohir. Dia akan selalu bersamanya. Kapapun, dimanapun.

"Benar Zay. I could be free. With you."

Kecupan ringan mendarat di pelipis Rea. Kembang api kembali menghiasi langit. Kehidupan baru akan dimulai. Dan, Rea sudah menuliskan skenarionya.

✴✴✴

780 words.

✴✴✴

So, bagi yang nanya ini cuma oneshot yang terinspirasi oleh lagu-lagu dari Why Don't We. Mungkin, minggu depan bakal oneshot lagi. Belum pasti juga. Hope u like it.💙

freeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang