Malam ini terasa begitu sunyi. Suara hewan-hewan kecil terdengar jelas di telinga Elena. Langit yang harusnya di penuhi kerap-kerlip bintang kini tidak tampak apapun. Hanya gelap.Tidak ada bedanya dengan kamar Elena. Lampu kamarnya ia matikan dengan tirai jendela yang masih terbuka. Hanya gelap malam yang ia rasakan dan hembusan angin yang terus menerpa kulitnya. Gadis itu kembali menangis sesegukan. Ia seakan lelah menghadapi drama kisah hidupnya.
Di pojokan kamar, Elena duduk sendirian. Badannya ia senderkan di tembok yang terasa dingin. Tangannya yang dilipat di atas lutut seakan menjadi penopang ternyaman kepalanya. Lelah rasanya ia menangis, bahkan air matanya sudah tak bisa turun. Napas Elena juga terasa sesak, menahan gejolak amarah yang tak bisa dilampiaskan.
Kini setelah mengetahui hubungan perselingkuhan ayahnya, Elena lebih suka menyendiri. Apalagi ketika ayahnya menikah dengan perempuan selingkuhannya, Elena selalu menghabiskan waktunya hanya di kamar.
Pikirannya melayang satu tahun silam, ketika dirinya dan keluarga kecilnya hidup bahagia. Hari-harinya penuh dengan senyuman dan canda tawa. Tetapi, sejak ibunya meninggal semuanya telah berubah.
Ibu Elena sudah tiada satu tahun yang lalu. Dahulu, mereka keluarga yang harmonis. Ayahnya sangat menyayangi Elena, lalu mengapa setelah ada wanita dan anak perempuannya itu ayahnya menjadi sosok yang berbeda. Bahkan ayahnya sering memarahi Elena hanya karena masalah kecil. Pernah satu kali ia di tampar gara-gara Daisy jatuh dari kursi rodanya. Daisy Almera, saudara tiri Elena.
•••••
Cahaya matahari menembus kamar Elena Pramudya. Gadis itu menggeliat, perlahan mata sayunya terbuka. Ia terbangun dari posisi yang masih sama sejak tadi malam. Elena berdiri dan mulai menggerakkan badannya yang terasa sangat kaku. Terdengar bunyi retakan tulang ditubuhnya.
Elena berjalan mendekati bingkai foto yang terpajang jelas di nakasnya. Tak terasa air matanya kembali luruh. Selama beberapa menit ia masih melihat foto itu. Foto keluarganya dulu dan satu-satunya yang masih tersisa di rumahnya.
“Elena sini kamu!” panggil ibu tirinya.
Tanpa menjawab perintahnya, Elena mengusap kasar sisa-sisa air mata yang telah kering. Ia menuruni tangga dan benar saja mereka sudah siap ke rumah sakit. Tempat di mana ia akan menjadi bank darah saudara tirinya. Bahkan ia tidak sudi punya saudara tiri.
“Kenapa kamu lama sekali! kasihan Daisy sudah lemas!”
Elena melirik ke arah perempuan pucat di kursi rodanya, benar ia terlihat lemas sekali. Tanpa menunggu lama Elena di seret ke mobil hitam yang sudah terpakir di depan rumah. Perjalanan ke rumah sakit memakan waktu satu jam. Rumah sakit itu memang agak jauh dari rumah ayahnya.
“Ayo mas lebih cepat lagi, Daisy sudah sangat lemah. Ini semua gara-gara kamu ya, kenapa tadi lama sekali! Kalau sampai ada apa-apa sama Daisy, awas kamu!” ucap ibu tiri Elena.
“Iya ini aku sudah cepat,” kata ayahnya.
Elena hanya diam dan menatap ke luar jendela mobil, itu menjadi hal yang terbaik untuknya saat ini. Di seberang jalan Elena melihat keluarga kecil yang sedang bersantai. Mereka terlihat bahagia. Dalam diam ia hanya bisa tersenyum miris. Elena hanya bisa berandai. Melihat keluarganya menjadi seperti ini membuat hatinya benar-benar sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Daisy di bawa ke ruangan khusus cuci darah. Sementara Elena di bawa ke ruangan lain untuk diambil darah yang diperlukan untuk cuci darah Daisy. Selesai darahnya diambil, Elena langsung pergi tanpa menunggu mereka.
Elena muak, kapan penderitaannya berakhir. Lagi dan lagi cairan bening itu mengalir di pipinya. Elena lemas, kakinya sudah tak sanggup menopang berat tubuhnya. Sebelum tubuhnya jatuh ke lantai terasa ada orang yang memeganginya. Tubuh Elena menegang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Games Forwistree
Teen FictionPerlu waktu memang untuk bisa berdamai dengan dirimu sendiri