"Aku mencintaimu, Shafa." Suara serak sehabis membuka mata dari kematian semalam penuh itu menyapu tengkukku. Lengannya masih mengikatku dekat dengan tubuh telanjang itu. Tirai putih yang menyelimuti jendela kecil di samping ranjang kedatangan berkas mentari pagi. Beberapa lolos dan jatuh di kulit sawo matang pria yang mendekapku erat seperti esok adalah mimpi. Ia mencium tengkukku lembut dan aku bisa merasakan sengatan listrik yang menjalari tulang belakangku setiap ia menyentuh.
"Aku juga mencintaimu, Diego." Aku membalas kalimatnya tadi dengan senyum tipis, kemudian aku berbalik badan dan menatapnya. Kusisir rambut acak itu dengan jemari, perlahan menyusuri surainya yang keriting. Ia lalu menciumku dan dengan senang hati aku membalas cumbuannya. Bibir kami seperti dua penari balet yang serasi betul di setiap geraknya, seolah kedua hati kami telah melebur bersama harmoni.
"Shafa, jika esok kita mempunyai buah hati, nama apa yang akan kamu berikan?" Pertanyaan itu tiba-tiba saja meluncur dari mulutnya. Aku sempat terdiam, ribuan nama bayi melintas di benakku bersama kekhawatiran yang enggan musnah. Aku senang sekali apabila dapat membentuk keluarga bahagia dengan Diego, tetapi jalanku seperti terhalang benteng baja tak tertembus. Aku selalu menepis fakta itu dan fokus kembali pada satu-satunya pria yang kucinta di bumi.
"Aku tidak tahu. Terlalu banyak nama yang melintas di benakku, Diego."
"Bagaimana dengan Haechan? Sebenarnya aku menemukan nama itu di internet, tetapi maknanya begitu baik. Full sun, kelak ia bisa tumbuh seperti mentari pagi ini, menyinari orang-orang tercintanya dengan kehangatan." Aku terdiam mendengar penjelasannya, hatiku terenyuh sampai tandas mendengarnya yang begitu antusias membangun rumah tangga denganku. Diego, sebegitu kejamkah takdir yang mengikat desir darah kita? Bisakah aku menentang takdir untuk hidup bersamamu di bumi?
"Haechan, ya. Tidak buruk." Dan kamu tersenyum manis padaku sampai aku dapat mendengar debur ombak dari kejauhan, kudengar pula kepak sayap burung yang terbang rendah di atas hamparan air asin. Hari itu aku luluh di atas tanganmu, tak lagi kumengenal es yang menggulung tubuh ini.
-
"Aku tidak bisa, Diego. Aku tak lagi mencintaimu, maaf." Diego, aku berbohong hari itu saat kerjaan bawah laut sudah menuntut tebusan dosa yang kujanjikan. Aku melihat mukamu yang kedatangan badai, begitu muram, rusak begitu saja karena kalimatku. Ia sedang menggendong anak kami yang hampir tertidur, Haechan. Aku meringis dan Diego masih menatapku dengan netra yang tak bisa kujelaskan. Obsidiannya nampak kosong seperti habis diterjang tsunami. Aku ingin menangis saat itu juga, tetapi Diego lebih dulu berurai air mata.
"Kamu bohong." Kamu memang mengerti setiap jengkal ragaku, Diego.
"Aku serius, aku ingin putus. Aku akan mengirimkan uang untuk mengurus Haechan tiap bulannya, jangan khawatir." Aku tak lagi kuat menatap netranya yang dipenuhi air mata. Aku menggigit bibir bawahku keras-keras dan Diego menghela napas berat. Ia kini menatapku kecewa, seperti kebohongan terbesar di hidupnya datang dan menebas kebahagiaan. Aku ingin sekali memelukmu dan mengatakan kalau hari ini adalah waktu terakhir kamu melihatku di bumi. Tetapi kutahan karena itu akan membuatmu cepat mencegatku bunuh diri.
"Semua janji dan kasih sayang yang kamu tabur, apakah kamu menyesal telah memberikan semuanya padaku? Apakah kamu muak hidup denganku yang pas-pasan? Maafkan aku karena tak pernah sempurna, Shafa. You deserve a better man." Diego, tak ada pria lain yang dapat menggeser kedudukanmu di hatiku. Kenapa kamu mengatakan itu? Aku tidak ingin jatuh hati lagi setelah ini. Kamu adalah pria pertama dan terakhirku di bumi.
"Aku tidak pernah menyesal, Diego"
"Semoga kamu menemukan belahan hidup yang lebih baik di bumi yang kelam ini. I loved you. Aku berdoa untuk kebahagiaan barumu." Lalu aku menangis deras saat rangkaian kalimat itu sampai di gendang telingaku. Aku meninggalkan Diego dan Haechan di rumah kecil kami sore itu, aku tak lagi mendengar debur ombak, kemana semua suara kepak burung, di mana angin yang biasanya menerpa suraiku lembut? Aku menatap langit sekali lagi sebelum benar-benar pergi, kulihat senyum Diego, rengekan Haechan yang meminta susu, lalu semua menghablur total.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sirena ~ markhyuck
FanfictionLalu di antara kutukan yang mengikatmu, tak pernah terbayang akan kita yang bersua, bahkan hidupmu sebatas laut, kenapa cinta datang? - story by vy ♡ ⚠️ mpreg, mentioned of: suicide, abusive partner