:::::
Senja berputar. Mataku menelisik tiap sinar sang surya yang lambat laun kian bersembunyi, dan sedang berabdikasi pada kegelapan malam yang lenggang.Di sini, di balkon kecil rumahku, serta para kunang-kunang yang menjemput kebahagiaan, binar dari mata Haechan sedang berbicara. Kala itu, pupilnya membesar, bersama bulan purnama dari refleksi keindahan seolah terhisap oleng sang poros; durja lelaki manis yang tanpa henti mematri senyum di bawah tatapanku.
Dengan berbisik, bertingkah tersipu dan penuh rasa malu, Haechan menyatakan cintanya padaku. Tak ada lagi hari yang mampu menyingkirkan momen itu di bagian ingatan terindah dalam daftar pusat energiku. Netra Haechan adalah galaksi, dan aku hanyalah bintang kemintang tanpa arti.
Bertahun-tahun aku menyelam dalam kornea cokelatnya yang bersinar, aku mengetahui satu hal, bahwa ruangan itu nyaris tak pernah kulihat mengucur deras air yang terjun. Tidak setitik pun- bahkan ketika dia tahu telah dikhianati oleh seseorang.
Aku terkesima. Haechan bukanlah sekadar patahan batu permata yang banyak orang tak mengetahui eksistensinya. Haechan mungkin indah, tapi ia tak mudah terkikis dan punah. Kebahagiaan Haechan tidaklah mahal harganya, kau hanya perlu menyisirkan satu atau dua helai rambut yang menjatuhkan diri di antara pelipis, lalu menyelipkan mereka pada garis telinga, dan lelaki itu akan tersenyum. Matanya mulai menyipit, dan suara semerdu suling bambu, serta semanis madu dari cawan emas, akan bersuara. "Terima kasih. Kau baik sekali."
Haechan juga bukan sebuah gelas kaca, yang jika kau sentuh akan berteriak nyaring. Walaupun indah, serta berbalur cahaya yang menembus para daun di anak pohon, dan transparasi yang menjadikan gelas itu berlipat-lipat mengambil segala unsur elegansi. Tidak ketika gelas itu tersenggol pada gerakan gemulai, sehingga menghasilkan puing-puing tak bernilai.
Jantungku berdegup kencang mengatakan ini, bahwa Haechan adalah sehalus sutera bermandikan emas, selembut gumpalan kapas, seharum jutaan kasturi- tidak melupakan anyelir yang menjuntai dan mengepak sisi kelopaknya, sehingga memberikan sensasi kagum akan keistimewaannya bagi siapapun yang memandang, dan seelok gading putih kokoh yang tetap berdiri menghadap kenyataan.
Aku rindu. Aku rindu dirimu, Haechan.
Aku rindu bagaimana kau mengapresiasi tiap gerik yang kuberikan, bagaimana kau mengucap segala sesuatu menjadi begitu berkilau dan berharga, bagaimana kau menghargai tiap langkah yang kupijaki, bagaimana kau mengayun kaki seringan larian angin di atas tapak berbatu dengan awan senja yang bergumul, kemudian kau menoleh dan bertanya, "Minhyung, sudahkah kau berbahagia?"
Bisingnya percikan air yang saling menyalip dan berlomba di jalur sungai, kikikan burung di antara angin yang berdesir, semua hal ini membuatku seolah ingin tetap berpahat diri dan tidak mengangkat alas kaki.
Aku, mungkin iya, mengabdi pada segala kesempurnaan yang Haechan tuangkan, tanpa sadar bahwa Haechan pasti juga mempunyai palung yang dalam.
Aku tidak tahu siapa yang bersalah. Aku tidak tahu siapa yang salah paham. Aku tidak tahu siapa yang memulai meninggikan suara hingga naik dua tangga nada.
Di setiap perpotongan hari, tidaklah lepas dari sebuah pertengkaran. Suatu waktu, hanya sebuah kecemburuan kecil tak berdasar, meledakkan sebuah perbedaan.
Aku ini, mungkin pernah buta. Gegap gempita dari segala perseteruan, kemudian aku menggelap, dan kesalahan fatal adalah jalan akhir di seluruh penghujung lorong.
Satu hal lagi yang dapat aku pahami, bahwa kami sama-sama keras kepala, dan hal itu menuntun kami ke sebuah perpisahan terang, juga nyata.
Ketika aku terbangun saat pelita mulai mengetuk kulitku, perasaan tidak nyaman mulai hadir menyergapku. Aku tidak ingin seperti ini, mengharap kehadiranmu lagi di sisiku, yang tiap pagi memelukku dari belakang dengan secangkir seduhan safron yang lekat dengan warna oranye.
Ketika aku memulai hari, tidak ada lagi yang menaruh perhatian pada ikatan dasiku yang miring. Tidak ada lagi seruan, "habiskan sarapanmu! Atau kau akan lihat aku tak kembali ke sini."
Aku menghela napas panjang, mengeratkan genggamanku pada jaketku, yang tempo lalu diantar Haechan karena lelaki itu hendak mengembalikan jaketku yang tertinggal di lemarinya. Kelakarnya ketika aku menolak sarapan, sekarang meninggalkan kebenaran yang pahit.
Kebiasaan-kebiasaan kecil yang perlahan kulakukan tanpa Haechan, mulai melukis luka. Aku tahu ini akan terbiasa, tapi rasanya seperti disayat ketika paham rutinitasku tanpa dirinya bagai berjalan dengan sepatu yang berbeda. Tidak seimbang. Tidak sejalan. Tidak nyaman.
Aku hanya separuh napas berpeluh, yang masih mendamba cinta kasih pada bulir embun dingin yang fusia di lebarnya deretan daun.
Walau aku tahu itu sudah berlalu, ribuan putaran jam pada rotasi waktu telah tertimbun, sedangkan aku masih meniti beberapa retakan. Jika kau tanya, bagaimana keadaan Haechan sekarang, lelaki kecil nan manis serta bercahaya itu sedang menginjak dunia yang gemilang. Hidup di antara sorotan, yang terbiasa melihat lautan manusia dan para wartawan bagai anai-anai bubus.
Kulihat suatu waktu, bersama sesapan safron yang biasa Haechan berikan padaku, aku melihatnya. Kalung perak bergambar bunga matahari, pemberianku-kalung itu sepasang, aku juga masih memilikinya- ketika usia hubungan kami menginjak dua tahun, menggantung cantik di perpotongan leher jenjangnya.
Aku tersenyum mengingat hal itu. Kilauan dari kalung yang terpantul dengan cahaya sinar kamera, tidak lepas dari bayang-bayang di kepala.
Haechan, bolehkah aku berharap- lagi?
:::::
Has published on twitter, with username: dongsookie0606_
On pinned tweet, fanfiction section
Entry number: 6
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphelion ° Markhyuck #oneshoot
FanfictionKala itu, ketika aku membuka lembaran bersamamu, dan aku yang kembali terjatuh pada pesonamu untuk yang ke-sejuta kalinya. Haechan, bolehkah aku berharap- lagi? © 2020, daradisky.