Prolog : Destiny

125 13 0
                                    

Mau menerima atau tidak, dia tetap takdir. Takdir tidak repot bertanya apa perasaan kita. Apakah kita senang, apakah kita sedih, apakah kita suka atau tidak. Meskipun pahit, takdir selalu memberi yang terbaik.

☁️☁️☁️

"Iya bun, lagi hujan." Suara gemuruh terdengar keras, disusul dengan rintik air hujan yang semakin deras.

"Yoga tutup dulu ya bun." 


"..."

"Waalaikumsalam." Cowok dengan surai hitam halus itu mematikan ponselnya. Lalu menaruhnya asal di dashboard mobil.

"Eh, denger sesuatu nggak kak?" Keningnya tiba-tiba berkerut ketika suara dengungan yang entah berasal dari mana mengusik indra pendengarannya.

"Nggak tuh." Cewek yang duduk di kursi kemudi mengendikan bahu. Lebih berfokus pada jalanan malam yang licin dan ramai.

"Riiim, denger suara nggak?" Yoga menoleh ke jok belakang tempat si bungsu duduk.

"..." Ternyata si bungsu Yerim sudah tertidur pulas. Kepala mungilnya ia sandarkan ke kaca mobil dengan tubuh meringkuk memeluk seatbelt yang melingkari tubuhnya. Yoga tersenyum kecil. "Udah tepar."

"Capek banget pasti. Yerim kan naik hampir semua wahana."

Yuna, cewek yang berada di kursi kemudi itu memekik. "Astagfirullah." Di perempatan jalan, sebuah mobil sedan hitam tiba-tiba melaju kencang ketika seharusnya ia berhenti karena lampu berwarna merah. Yoga tak tahan ingin mengumpat. Tangannya memegang erat seatbelt dengan jantung yang berpacu cepat. Faktanya, orang-orang cenderung lebih egois ketika berkendara. "Orang gila?!"

"Udah tau situ lampu merah, sini lampu hijau. Buta warna apa?!" Yoga tak berhenti mengomel. Yuna hanya menggeleng, berkata ia tidak apa-apa.

"Dikira jalan pu...,"

"Allahuakbar!" Belum sempat Yoga melanjutkan omelannya, sebuah minibus melaju kencang dari arah berlawanan. Yuna segera membanting setir ke arah kanan, namun nahas. Pilihannya itu membuat sebuah mobil SUV disusul dengan sebuah truk muatan besar menabrak badan mobilnya hingga terbalik. Semuanya terjadi sangat cepat, tidak ada yang bisa menghentikannya.

Suara dentuman masih menggema di telinga Yoga yang kini terbujur kaku dengan kepala mengeluarkan cairan kental berwarna pekat. Napasnya tercekat ketika melihat tubuh kedua saudarinya berlumuran darah. Tubuhnya menggigil dengan rasa nyeri di kepala yang sangat hebat. Ia kemudian terisak ditengah suara riuh yang samar-samar masih terdengar. Rasanya ingin menyerah. "Ye...yerim. Kak...Yu...na."

Tepat ketika bunyi sirine menyahut, pandangannya kabur dan semua menjadi hitam.

☁️☁️☁️

Mata bulat itu mengedar ke seluruh penjuru lorong rumah sakit. Kaki panjangnya digerakkan tidak tenang sesuai dengan irama jantungnya yang kian menderu hebat. Entah perasaan apa yang ia rasakan. Antara gugup dan takut.

"Ayo kembali." Tiba-tiba sebuah suara halus membuyarkan lamunannya. Kepalanya bergerak, mendongak kepada sosok wanita paruh baya yang tengah berdiri di depannya. Ia mengangguk kecil. Ekspresinya datar. Namun tersirat sebuah pertanyaan besar yang nampak kelu di lidah hingga hanya tertahan di tenggorokan.

Lalu suara teriakan menyakitkan dan menyesakkan dari ujung lorong dirasa menjawab semua pertanyaannya. Ia tak perlu bertanya dan diberitahu. Ia mendapatkannya. Sebuah takdir yang pahit. 

☁️☁️☁️

Hai guys, lagi mood up cerita nih
Jadi kalau kalian adalah pembaca yang baik hati dan tidak sombong, klik tombol vote buat aku ya ^^
Enjoy~

-yarrr

PropinquityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang