Bab 1 | Sepasang Merpati

44 3 2
                                    

Malam telah pergi. Hari pun berganti. Tapi masih banyak orang terbuai oleh mimpi, baik yang sudah berpasangan maupun yang masih sendiri. Begitulah Kota Kupang pagi ini:  Sepi. Kesunyian dihias oleh tangis bayi sejak terbit fajar. Indri terjaga tatkala suara tangis bayi mulai terdengar. Samar, namun mampu membangunkan Indri dan membuatnya gusar. Ia pun bergegas bangun lalu beranjak keluar. Di halaman rumah, ia mondar-mandir bak gasing berputar. Berhenti di pohon pakis, di batang pohon itu akhirnya ia bersandar.
          
Tangis bayi. Iya, gara-gara suara itu, Indri tenggelam dalam hayalan: Berhayal, jika saja ia memiliki anak akan ia sayangi sepenuh hati. Tidak akan pernah ia membiarkannya menangis seperti itu; Ia rela tidak tidur semalam-suntuk demi buah hati. Ia bayangkan anaknya sendiri yang menangis, akan segera ia gantikan popoknya; menetekinya; memutarkan susu untuknya; atau jika badannya panas, secepatnya akan dibawanya pergi ke dokter.
          
Kedua kaki Indri melangkah menuju asal suara. Sangat ingin ia menggedor pintu rumah demi membangunkan ibu si jabang bayi yang mungkin saja masih terlelap dalam tidurnya.
          
Ayam-ayam Pak Kopong mulai berkokok menyambut pagi. Berhamburan turun dari pohon jambu air tempat mereka bersemayam: Begitulah ayam-ayam di Kota Kupang, seperti burung yang tidurnya di atas pepohonan. Satu angkutan umum lewat. Sang mentari mulai menampakkan wujudnya, tersenyum menyaksikan langkah demi langkah kaki Indri.
          
Sampailah Indri di tempat yang ia tuju. Sejenak berdiri di depan pintu. Berpikir dan menimbang antara menggedor pintu ataukah mengurungkan niatnya. Ohhh tangis bayi tak lagi terdengar. Niat untuk menggedor pintu ia urungkan. Lalu berbalik arah sembari mengomeli dirinya sendiri, Anak orang yang nangis, kenapa beta yang repot?
          
Sesampai di rumah Indri membuka jendela kamar. Ia tampak senyum-senyum sendiri sembari menghirup udara segar. Bukan karena gila. Sebaliknya, senyum itu membuatnya lebih waras dari biasanya. Kemarin dokter Berta bilang bahwa Indri positif mengandung. Rupanya itulah penyebab hati Indri berbunga-bunga. Belum pernah ia merasakan kebahagiaan seperti itu sebelumnya. Ia bersyukur pada Tuhan, karena akhirnya ia bisa hamil. Sebagai wujud dari rasa syukurnya, ia tidak ingin menikmati kebahagiaan itu sendiri; Ia ingin berbagi dengan yang lain. Semalam ia umumkan, hari ini supermarket tutup. Seluruh karyawan diliburkan. Kecuali security, tetap kerja. Hanya para satpam yang biasanya kerja tiga shif, dibagi dalam empat: Pagi, siang, sore, dan malam.
          
Sebelum dinyatakan hamil, Indri jarang tersenyum. Mudah tersinggung dan gampang marah. Tapi itu terjadi bukan tanpa alasan. Ia sering mendengar bisik-bisik orang: Indri beruntung memiliki Frans yang selalu setia meskipun Indri tidak bisa memberinya anak; Sabar banget si Frans! Kalau laki-laki lain, pasti Indri sudah dicampakkan. Bisik-bisik seperti itu acapkali ia dengar dari para tetangga, juga rekan-rekan kerjanya. Gara-gara itu pula, Indri sering berburuk-sangka hingga menganggap para pegawainya pun seperti mereka. Pikiran negatif itu membuatnya sering dongkol. Hampir tiap hari para karyawan kena omelan.
          
Dulu, siapa saja yang berada di dekatnya dijamin merasa nyaman. Santun. Lembut pula tutur katanya. Murah senyum; Penyabar. Ditambah kecantikan yang ia miliki, membuat kaum Adam terpukau dibuatnya. Rambutnya pirang panjang, selalu dibiarkan tergerai, kecuali saat di kantor. Hidung mancung; tubuh langsing; tinggi; kulit kuning langsat. Pipinya bersih seperti kulit bayi.
           
Bisik-bisik tetangga itulah yang membuatnya berubah: Mudah marah. Di rumah, Frans pun sering kena marah tanpa alasan. Padahal seperti kata kebanyakan orang, ia tidak pernah protes meski Indri belum bisa memberinya keturunan. Laki-laki jangkung itu rutin bangun pagi buta. Sebelum berangkat ke kantor, terlebih dahulu memasak, mengepel lantai, merapihkan kamar, hingga mencuci pakaian. Ia rela melakukan semua itu asal bisa melihat Indri tersenyum. Karena baginya, senyum Indri sangat berarti, lebih berharga dari seluruh harta yang ia miliki.
          
Pernah, suatu ketika Frans tidak bisa menahan emosi karena Indri melakukan suatu kesalahan. Ia murka. Bukan dengan cara mengamuk atau memukuli Indri. Sebaliknya, hanya diam. Tidak menegur Indri beberapa hari lamanya. Apa yang ia lakukan membuat Indri pergi dari rumah hingga beberapa hari tak kembali. Frans kalang-kabut. Menyesal. Dan ternyata, ia merasa tak sanggup jika harus kehilangannya. Tapi akhirnya Indri ditemukan di rumah Berta, dokter pribadi sekaligus teman dekat Indri. Sejak saat itu, semarah apa pun Indri, Frans lebih memilih untuk mengalah. Kemarahan Indri tidak pernah dilayani. Jika Indri bersalah, ia lebih suka menasihatinya dengan cara lemah-lembut.
          
Melalui jendela, sinar mentari menerobos masuk kamar. Hangat yang ia bawakan berhasil membuat Frans terjaga. Kali ini ia bangun terlambat. Biasanya lebih awal dari Indri, lalu mengumpulkan pakaian kotor dan mencucinya. Menyiapkan sarapan, dan seterusnya, setelah semua beres barulah ia bangunkan Indri.
          
Tapi untuk pagi ini Frans dimanjakan oleh Indri.
"Mulai besok pagi Papi nggak usah bangun pagi. Mami yang akan tanganin semua tugas Papi." kata Indri semalam.
          
Memerhatikan Indri yang tengah senyum-senyum sendiri, indah bagi Frans. Selama sepuluh tahun terakhir, senyum itu sangatlah mahal. Hari-hari Indri dilalui dengan kemurungan. Yang paling membuat Frans merasa kasihan adalah tiap Indri melihat orang menggendong bayi, pasti menangis. Jika hal itu terjadi saat sedang misa di gereja atau di tengah-tengah pesta, saat itu juga ia lari pulang. Sampai di rumah mengamuk, barang-barang ia banting.
          
Tanpa terlebih dahulu mencuci muka, Frans mengambil buku berisi nama-nama indah yang semalam ia taruh di bawah bantal. Ia buka lalu ia baca dengan harapan menemukan nama yang bagus dan cocok untuk sang anak kelak.
          
Melihat Frans telah bangun pagi, Indri menghentikan senyum-senyumnya. Ia pun menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Kemudian kembali ke kamar. Tak lupa ia rapihkan rambutnya di depan cermin. Setelah beres, ia ke tempat  tidur di sebelah Frans.
"Pi, kira-kira anak kita nanti cewek atau cowok, ya?" Indri bersuara.
"Cowok, Mi," kata Frans.
"Papi yakin?"
"Yakin,"
"Mami yakin cewek, Pi,"
"Cowok!" Frans ngotot.
"Cewek, Pi, cewek!" Indri tak mau kalah.          
"Hmmm, udah, Mi, udah. Mau cowok mau cewek, kita syukuri saja, yang penting Mami sekarang hamil, Frans mengalah, Ok, Mi, sekarang kita cari satu nama untuk cewek, dan satu nama cowok."
          
Keduanya tersenyum. Kebahagiaan terpancar dari mata mereka. Hal semacam itu sangat langka. Sudah jarang terjadi. Sarapan tidak pernah sama-sama. Pulang kerja selalu larut malam dan keduanya sudah kelelahan. Jarang ada cakap. Tiada lagi kemesraan. Hanya sesekali saja terdengar kata I love you terucap dari keduanya: Yaitu ketika sedang bercumbu. Itu pun belum tentu terjadi sekali dalam seminggu.
          
Detik demi detik, menit demi menit pun berlalu. Indri merasakan perutnya mulas. Pinggang sakit. Seluruh badannya pegal-pegal. Ia berlari menuju kamar mandi. Oh My God! Tamu yang sangat tidak diharapkan kembali datang! Kebahagiaan yang baru saja datang kemarin sore, kini musnah.
          
Ia kembali ke kamar sambil menangis.
          
"Pasti Mami mens lagi!" Pikir Frans, lalu mendesah panjang. Buku di tangan ia tutup, ia lempar ke atas meja. Dongkol. Kesal. Kecewa.
          
Sebenarnya bagi Indri, ‘tamu bulanan’ bukanlah tamu asing. Tapi kenapa bulan ini terlambat datang? Kalau hanya satu atau dua hari, tidak masalah. Sudah biasa. Ini tiga minggu! Apa karena kejadian kemarin? Waktu dokter Berta bilang Indri positif hamil, ia langsung jingkrak-jingkrak, rela disangka tidak waras oleh orang-orang yang menyaksikan ulahnya. Bahkan tidak akan marah jika sampai ada yang mengatakan dia gila. Dia tidak sadar, usia kandungannya masih terlalu muda. Baru ia hentikan aksinya setelah dokter Berta menegur, Ndri, ingat, lu pung kandungan lemah!”
          
Arghhh, tak ada gunanya menangis. Segera ia keringkan air matanya. Lalu bangkit dari tempat tidur dan mencari-cari pembalut. Seluruh pakaian dalam almari ia bongkar. Kamar berserakan.
          
Frans gemas dibuatnya. Ia ambil asbak. Ia ayunkan tangan, siap melemparkan benda keras itu ke wajah Indri.
          
Namun ia urungkan. Asbak kembali ia letakkan. Ia berdiri, melangkah ke arah Indri. Ingin sekali ia remas bibir bawelnya biar berhenti nyerocos. Tapi, sabar, sabar, Frans berusaha mengerem amarahnya. Berhasil. Agar emosinya tidak kembali muncul, ia keluar kamar.
          
Setelah Frans keluar barulah Indri ingat, semua pembalut telah ia masukkan ke dalam tong sampah. Beruntung belum sempat dibuang dan dibakar.
          
Urusan pembalut telah usai. Ia berangkat ke supermarket. Tanpa pamit Frans.
          
Supermarket tutup. Tak satu pun karyawan tampak batang hidungnya. Hanya ada dua satpam di sana. Mengomel sambil berkaca pinggang. Itulah yang dilakukan Indri. Dua laki-laki berseragam putih-biru itu pula yang kena sasaran. Keduanya berdiri dari tempat duduk. Menunduk. Tak lama kemudian mereka tertawa cekikikan melihat kedua kaki Indri yang hanya bersandal jepit, kiri semua dan berlainan warna: Sebelah merah sebelah biru.
          
Indri penasaran. Kenapa kedua satpam itu menertawakannya? Tidak biasanya hal seperti itu terjadi: Marah-marah, ditertawakan. Ia lihat kakinya sendiri. Oh My God! Ia pun ikut menertawakan dirinya sendiri. Dengan menahan kesal, ia duduk di kursi satpam. Malu pada diri sendiri, dan pada dua satpam itu. Mengelus dada. Menyadari jujur, dia sangat tidak nyaman dengan emosi yang tidak bisa ia kontrol. Ia sering dibuat malu oleh amarahnya sendiri.
          
Pernah, suatu hari ia hampir saja pingsan, karena amarahnya yang begitu besar menyesakkan dada. Beberapa orang pintar ia datangi, untuk meminta ajimat atau mantera-mantera demi mengendalikan emosinya. Juga telah berkali-kali ia menjalani ritual untuk tujuan yang sama, namun semua usahanya tak pernah berbuah hasil.
          
Amarah mereda. Sesak dada pun mulai berkurang.
          
"Kenapa jam begini belum buka?" tanya Indri beberapa menit kemudian.
"Semalam Nyonya bilang hari ini libur,"
“Astaga!” Indri menepuk dahi, lupa.

***

Para karyawan sudah mulai masuk kerja seperti biasa. Kecuali Sherly. Seperti biasa, Indri mengamuk, mengomel, mengancam akan memecatnya Sherly sudah hampir satu minggu ini tidak masuk kerja. Tanpa pemberitahuan pula. Indri menyuruh salah seorang satpam untuk menjemput Sherly, Sherly harus masuk kerja.
"Apapun alasannya, sonde ada alasan. Sherly harus kerja. Kalau hari ini son mau datang, maka hari ini juga beta pecat dia!”
"Nyonya, akhir-akhir ini dia linglung," kata satpam.
Indri berkerut-kening, penasaran.
"Iya, Nya, benar," kata satpam yang satunya.
"Kenapa?" suara Indri sedikit melunak.
          
Salah seorang satpam memberi keterangan: Sherly berduka. Laki-laki yang sangat dicintainya dikabarkan menghilang bersama beberapa orang lainnya saat melaut. Sampan diterjang badai. Raib. Hingga sekarang belum ditemukan. Dan mungkin tidak akan pernah ditemukan. Misalnya ditemukan pun, bisa dipastikan sudah tidak bernyawa. Padahal Sherly sedang mengandung tiga bulan. Sherly stres. Beberapa kali nekad bunuh diri, tapi selalu diketahui warga.
          
Kemarahan Indri mereda. Ia ikut merasakan duka Sherly. Teringat sang ayah, meninggal juga saat melaut. Ia bayangkan bagaimana nasib wanita yang memiliki suami seorang nelayan. Saat melaut, nyawa menjadi taruhan. Kalau alam bersahabat, pulang selamat. Namun jika alam sedang murka, pulang tinggal nama. Indri merasa beruntung hidup dengan Frans. Tidak perlu melaut, semua keperluan telah tercukupi.
          
Tanpa ditemani siapapun, Indri meluncur ke rumah Sherly. Cukup lama ia berusaha meyakinkan Sherly agar mau tinggal bersamanya. Lambat tapi pasti, Sherly nurut, bersedia tinggal di rumah Indri.
          
Beberapa hari kemudian pikiran Sherly kembali kacau.
          
Kali ini ia berniat  menggugurkan bayinya. Ia malu, akan mendapat julukan janda beranak satu. Belum pernah dinikahi, bagaimana dibilang janda?; Bagaimana nasib anaknya nanti? Semua orang akan bilang anak haram. Dia ingin hidup sendiri, seperti dulu. Ia bertanya pada Indri, tentang tempat tinggal dukun atau dokter yang biasa membantu orang aborsi. Lucu. Jelas saja Indri keberatan.
"Sher, biar beta yang rawat lu pung anak setelah lahir nanti." Indri menenangkan Sherly.
"Biar nanti aku yang besarin anakmu. Lu tenang sa. Ok?"l Kamu tenang saja." Sherly tetap acuh.
"Jangan terus-menerus menyesali kepergian si Bastian. Percayalah, dia sudah tenang di alam sana." Kata Indri lanjut.
Masih bungkam.
"Sher, harusnya lu bersyukur bisa hamil. Lihatlah aku, telah berapa kali aku berusaha, sudah berapa dokter dan dukun aku datangi, tidak pernah membuahkan hasil. Nihil. Sampai sekarang aku nggak hamil-hamil. Kamu tahu sendiri kan? Jadi, biarlah anakmu lahir. Percayalah, aku akan besarin dia, aku rawat dia."
          
Sherly mengangkat wajah. Menatap Indri lekat-lekat. Namun tak sepatah kata pun terucap. Dari sorot matanya terpancar keraguan. Ia masih sangsi, tidak yakin Indri bisa memenuhi apa yang baru saja diucapkannya. Indri wanita karir, super sibuk. Bisa jadi anaknya akan terlantar tanpa perhatian. Terlonta-lonta di jalanan. Kalau sampai itu yang nanti terjadi, apa bedanya bayi ia gugurkan saja dari sekarang? Tapi di lain sisi, dia percaya Indri orang yang bertanggung jawab. Ia benar-benar bimbang, bingung antara menggugurkan kandungannya ataukah mengikuti kata Indri.
          
"Setelah bayimu lahir nanti, lu bisa lanjutin kulian." Indri terus membujuk, Semua biaya lu pung kuliah, be tanggung.
          
Usahanya merayu Sherly berbuah hasil. Hari ini usia kandungan Sherly tepat sembilan bulan lebih sepuluh hari. Tak lama lagi Sherly akan melahirkan. Frans dan Indri segera membawanya ke rumah sakit. Bayi lahir selamat. Tapi sayang, nasib naas menimpa Sherly. Ia mengalami pendarahan hebat. Tak lama setelah itu ia mengembuskan nafas terakhirnya

Kupu-kupu Bunga KarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang