2. Hukuman

22 2 0
                                    

Seorang gadis berambut panjang sebahu tengah berdiri di ambang pintu kelas sembari bersidekap tangan di dada. Manik matanya bergerak ke kanan dan ke kiri---mengawasi teman-temannya yang sedang piket kelas.

Ia adalah Nadira. Nadira Amna Widad. Gadis dengan totalitas tinggi itu benar-benar semangat memulai harinya sebagai ketua kelas teladan.

"Nad, gue udah, ya, piketnya. Gue belum ngerjain PR bahasa Inggris, nih! Mana Pak Denis datengnya selalu pagi," sahut Retno---pria blasteran Tuban Jakarta.

"Mana bisa! Lo kan baru nyapu dikit. Lanjutin! Lagian siapa suruh gak ngerjain PR di rumah!" pekik Nadira kesal.

Retno mendengkus. Tapi mau bagaimana lagi? Sejak kenal dengan Nadira, ia tahu, gadis itu sangat keras kepala dan sadis. Pria jangkung dengan mata bundar itu pun terpaksa melanjutkan pekerjaannya menyapu sampai ke ambang pintu.

"Tuh, udah, ya. Gue mau ngerjain PR!" ucap Retno yang diacungi jempol oleh Nadira.

"Nad, gue juga udah piketnya, ya!" teriak Leha sembari memberikan sapu pada Nadira. Gadis hitam manis itu pun berlari terbirit-birit ke bangkunya untuk mengerjakan PR bahasa Inggris.

"Oke!" jawab Nadira. Perlahan satu persatu orang menyudahi piketnya. Nadira merasa sudah lega karena kelasnya sudah bersih dan rapi.

Kriiing!
Bel masuk berbunyi.

Nadira kemudian masuk ke bangkunya. Ia melirik Rindi sejenak. "Rin, lo lagi nulis apaan?" tanyanya penasaran. Kepalanya ia condongkan ke arah tulisan Rindi dan membacanya.

"Ini-" belum sempat Rindi menjawab, Nadira sudah memotong pembicaraannya.
"Ohh. PR bahasa Inggris juga." Nadira ber-oh ria. Ia sudah tahu hanya dengan melihat sekilas.

"Kenapa baru dikerjain?" tanyanya sinis. Rindi mencebik kesal. "Lo, kan, tahu, gue gak suka dan gak bisa bahasa Inggris dari kelas sepuluh, Nad."

Nadira terkekeh. "Yaelah, lo mah semua pelajaran gak suka!" Matanya mengerjap kaget saat melihat semua siswa sedang sibuk menulis. Nadira keluar dari bangkunya untuk memastikan apa yang sedang ditulis teman-temannya saat ini.

"PR inggris juga?" sahutnya sedikit kaget saat hampir seluruh isi kelas tengah mengerjakan PR inggris. Nadira melirik jam di tangannya. Pukul 07.00 WIB. Bel masuk juga sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu dan Pak Denis pasti sudah menuju ke kelas. Gadis itu menggedikkan bahunya tak acuh. Ia kembali duduk di samping Rindi yang tengah gelisah karena soal yang belum terjawab masih banyak. Sekitar 8 soal lagi dan semuanya esai.

"Gawat. Bantuin gue, Nad!" ucap Rindi tak keruan. Belum sempat Nadira menjawab. Tep ... tep ... tep!

Suara derap kaki di luar kelas mulai terdengar. Kecepatan menulis semakin dipercepat. Namun, sayang, Pak Denis sudah sampai di ambang pintu. Mereka akhirnya menghentikan acara contek-mencontek PR dan kembali ke bangku masing-masing. Mereka kewalahan dan pasrah dengan hasil PR yang seadanya.

Berbeda dengan Nadira. Gadis itu begitu tenang karena PRnya sudah sejak minggu kemarin ia kerjakan. Nadira memang anak rajin. Ia selalu mengerjakan PR tepat setelah pulang sekolah seusai PR tersebut diberikan. Katanya biar tidak lupa. Mumpung pelajarannya masih hangat. Itu juga akan meminimalisir kesalahan dalam mengerjakan PR.

Seperti dugaan, Pak Denis yang baru saja hadir akan selalu mengawali pembelajaran dengan menanyakan PR yang pernah ia berikan.

"Seperti biasa, yang tidak mengerjakan PR berdiri di depan!" intruksinya pada semua yang hadir di kelas.

Semua terdiam ragu. Malu sekaligus takut untuk menunjukkan diri di depan kelas. Mereka juga takut, punggung tangan mereka menjadi sasaran empuk penggaris kayunya Pak Denis.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ketua Kelas TeladanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang