18. Upset

3.9K 365 47
                                    

Kepala Hinata pusing tujuh keliling. Keningnya bahkan sudah berdenyut-denyut seakan menyuruhnya untuk beristirahat sejenak dari pekerjaannya. Tapi tidak bisa. Pekerjaannya masih menumpuk. Gadis itu ingin sekali istirahat. Ia kurang tidur karena lembur. Hinata memang sangat jarang merelakan dirinya untuk lembur. Deadline ini sangat menguras tenaga dan pikirannya. Kalau saja Tenten yang sedang berbaik hati membuatkannya kopi tidak menyenggol dan menjatuhkan harddisk milik Hinata, gadis itu yakin laporan yang sudah diselesaikannya dalam dua hari itu sudah terbaring dengan cantik di atas meja milik Pak Sarutobi.

Gadis bersurai indigo itu menjambak rambutnya frustasi. Sakit di kepalanya semakin menjadi. Ingin rasanya ia mengutuk Tenten menjadi batu, tapi gadis itu sedikit tidak tega. Kalau Tenten menjadi batu, siapa yang akan berbaik hati membuatkannya kopi?

"Hinata."

"Jangan mengajakku berbicara." Ujar Hinata tegas sambil mengacungkan jari telunjuknya pada Tenten.

"Masih marah?"

"Menurutmu?" Kini Hinata menunjukkan wajah kusut dari balik rambut panjangnya.

Tenten menipiskan bibir. Sebenarnya gadis itu merasa sangat bersalah. Masalah pekerjaan memang tidak bisa disepelekan. "Maaf. Aku benar-benar tidak sengaja. Memangnya kau tidak punya back up datanya?"

"Saat aku mencolokkan harddisk itu ke laptop aku berniat untuk mem-back up-nya."

"Ah. Begitu ya. Hahaha." Suara tawa sumbang Tenten terdengar garing, lagi-lagi merasa sedikit tidak enak. "Tapi aku yakin kau bisa segera menyelesaikannya dan kau setor untuk hari ini ke Pak Sarutobi." Tenten mencoba untuk menyemangati Hinata.

"Bagaimana bisa aku menyelesaikan tiga puluh lembar data ini dalam sehari?" Hinata makin emosi. Diacungkan lembaran kertas di tangannya pada wajah Tenten.

Tenten menggaruk lehernya canggung. Memikirkan setidaknya apa yang bisa lakukan untuk Hinata.

"Mau aku bantu? Berhubung aku masih belum banyak pekerjaan." Tawar gadis bercepol dua itu kemudian.

Hinata kemudian menatapnya dengan tajam. Sedetik kemudian wajahnya memelas. "Aku menunggumu mengatakan hal itu."

Tenten mengira ia akan dimarahi lagi oleh Hinata. Ia merasa Hinata bisa saja langsung menyuruhnya untuk membantu tanpa harus menunggu ia yang menawarkan mengingat kerusakan benda itu adalah ulahnya. Tidak sengaja sih.

Akhirnya, Hinata membagi data itu menjadi dua dan mereka mengerjakannya bersama.

*****

Makan malam ini Hinata lewati sekali lagi di dalam kantor. Uap panas dari kuah ramen itu mengepul di udara. Kali ini Hinata tidak sendiri, Tenten masih menemaninya. Gadis bercepol itu juga mengalami nasib yang sama dengan Hinata. Lembur.

Tenten pernah sekali mengeluhkan dengan sistem kerja lembur yang diberikan oleh kantornya. Saat ini memang lebih mending daripada saat awal-awal ia bekerja di perusahaan ini. Seperti sistem kejar tayang dalam pekerjaan membuat lembur yang tidak manusiawi saat itu membuat dua orang pegawainya pingsan karena kelelahan dan harus segera dilarikan ke rumah sakit. Sejak saat itu sistem kerja karyawan sedikit diubah menjadi lebih ringan, meskipun Tenten tidak merasakan perubahan signifikan. Lagipula kenapa para atasan suka sekali memberikan pekerjaan tambahan pada karyawan padahal bonus yang diberikan tidak seberapa?

Kedua gadis itu kini sedang berada di pantry dan menikmati dua mangkuk ramen sambil mengobrol ringan.

"Sepertinya beberapa hari ini aku tidak melihat Nara-san. Biasanya saat makan siang dia selalu muncul di depanmu kan?"

"Entahlah."

"Kalian sedang tidak bertengkar?"

"Tentu saja tidak."

COMMITMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang