Warna putih plafon di kamar itu menjadi objek pertama yang berhasil ditangkap oleh sepasang mata cokelat milik pria itu. Kedua iris indahnya itu kini mengerjab, merasa terganggu dengan cahaya benderang yang tiba-tiba masuk.
Na Jaemin hanya bisa meremas ujung sprai dengan gusar ketika merasakan rasa pening di kepalanya semakin menjadi-jadi. Ia hanya bisa berjengit, menutup matanya dengan erat untuk menahan pening yang terus menjalar ke seluruh kepalanya. Dunianya terasa seolah sedang bergejolak hebat, seperti ada gempa bumi yang menghempasnya keras sehingga ia terlempar dan tak mampu meraih keseimbangannya. Pikirannya seolah dipenuh oleh kabut tebal.
Di mana dia sekarang?
Kenapa ... kenapa ia ada di sini?
Suara pintu kayu yang digeser tiba-tiba terdengar, disusul suara nyaring seorang wanita yang terdengar asing. Maksud dari ucapan wanita itu tak mampu ditangkap dengan jelas oleh Jaemin. Namun sepertinya perempuan itu sedang berusaha memanggil orang-orang, karena setelah 30 detik berselang, suara langkah-langkah kaki yang mendekat samar-samar memenuhi indera pendengarannya.Samar-samar, Jaemin dapat melihat bagaimana ranjang tempat di mana ia terbaring telah dikerumuni oleh orang-orang asing.
"Di...di mana..." Suara parau itu pastilah suara miliknya. Suara itu terdengar familiar sekaligus asing. Itu memang suaranya, tapi suara itu terdengar begitu parau dan kering; terdengar lemah dan menyedihkan.
Segala rentetan pertanyaan di kepalanya terputus ketika ia merasakan nyeri kecil di lengan kirinya.
"Tenangkan dirimu." Sebuah suara asing lain kembali ditangkap oleh indera pendengarannya.
Bermenit-menit kemudian rasa pening itu berangsur-angsur menghilang. Kabut tebal di dalam kepalanya perlahan menipis. Bersamaan dengan berkurangnya rasa pening itu, Jaemin mengerjab—mencoba membuka matanya, kali ini matanya lebih terbiasa menerima cahaya yang masuk. Namun segalanya masih terlihat blur; seperti imaji dari kamera yang lensanya telah rusak.
Di depannya, ia dapat melihat sesosok pria tua dengan jas putih dan stetoskop sedang tersenyum lembut menatapnya.
"Kau sudah bangun."
.
.
Mengerjabkan lagi matanya, Jaemin melengguh kecil ketika merasakan sisa-sisa pening di kepalanya masih ada. Tidak seburuk tadi, tapi tetap sedikit menganggunya.
"Kau ingat siapa namamu?"
Dokter di hadapannya tersenyum dengan keramahan yang membawa ketenangan. Di tangannya terdapat papan jalan yang Jaemin pikir pastilah berisi data pribadinya.
Nama? Untuk apa menanyakan nama, kalau dia sudah tahu pasti siapa aku.
"Ugh... namaku ... Na Jaemin," jawabnya masih terdengar parau.
Sang dokter mengangguk sembari menandai sesuatu di kertasnya. "Berapa usiamu?" tanyanya lagi.
Usia... umurnya?
...Berapa?
Jaemin berjengit samar
"Umm... tahun ini aku—" Kali ini Jaemin mendongak—menatap langit-langit kamarnya, seolah sedang mencoba mengingat sesuatu.
Di sampingnya, sang dokter masih menunggunya dengan sabar, masih dengan senyum lembut yang menenangkan.
"—aku ... delapan belas tahun," ucap Jaemin pada akhirnya.
Senyum sang dokter perlahan menyurut. Kali ini atensinya berpusat penuh pada sang pasien di hadapannya.
"Apa kau ingat tanggal berapa hari ini?" tanya sang dokter dengan ekspresi yang jauh lebih serius. Samar-samar Jaemin dapat merasakan kekhawatiran dari nada bicara sang dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Did I Marry You [Nomin]
FanfictionSetelah terbaring koma selama 2 bulan akibat sebuah kecelakaan, Na Jaemin akhirnya bangun. Namun kecelakaan itu telah merengut memorinya selama 12 tahun terakhir. Jaemin yang kini masih bermental seorang remaja 18 tahun, harus menghadapi realita bah...