17. As fragile as glass

16.1K 1.4K 348
                                    

Kehampaan itu menakutkan. Gelap yang begitu pekat—seolah tak ada tempat berpijak yang solid. Tak ada suara, hanya hampa dan kosong. Gelap yang seolah tak berujung. Jaemin merasakan dirinya seolah tengah melayang di antara ketiadaan. Tubuhnya mati rasa—seolah segala organ sensoriknya dirampas paksa dari tubuhnya.

Perlahan kegelapan di sekelilingnya itu meluruh; berangsur-angsur berganti menjadi pemandangan sebuah ruang asing yang langsung ia kenali sebagai bilik toilet sempit.

Seperti sebuah film tua yang bisu tanpa suara, Jaemin hanya mampu menyaksikan segalanya samar-samar. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, ia menangkap dua orang yang berpakaian serba hitam yang sedang beradu agrumen dalam kebisuan. Yang lebih tinggi berdiri memunggunginya, sementara yang lain bersandar pada tembok dingin di belakangnya.

Tidak terdengar bentakan ataupun lengkingan suara bernada tinggi; segala suara seperti teredam begitu saja, seolah indra pendengarannya sengaja ditulikan. Namun ekspresi mengeras dari salah satu pemuda di sana cukup untuk membuatnya dapat menyimpulkan ada ketidaksepakatan di antara keduanya.

Seperti telah diatur, Jaemin hanya bergeming di sana tanpa bisa menggerakkan tungkainya; terus menonton dua pria berjas hitam dengan pita putih khas pemakaman itu berdebat hingga salah satu dari mereka menarik sang lawan bicara untuk merengkuhnya.

Dan seperti sebuah penutup dari sebuah film, gelap kembali meliputi pandangannya.

.

.

"Tidak apa, tidak akan ada yang tahu... tidak ada yang perlu tahu."

Sebuah suara yang terasa begitu familiar bergema begitu saja di dalam kepalanya. Bersamaan dengan gelap yang kembali menelannya.

.

.

.

.

.

Gelapnya kamar menjadi hal pertama yang menyambutnya ketika membuka mata. Pria itu sedikit terlonjak, merasakan dadanya yang masih naik dan turun dengan panik untuk meraup oksigen. Matanya menatap kosong pada dinding polos di kamar itu. Sementara gelombang rasa bingung terus menerus memenuhi pikirannya yang kacau.

Hingga ia merasakan sebuah pergerakkan dari balik pundaknya; disusul sebuah lengan yang merengkuh tubuhnya dari belakang.

"Masih terlalu pagi untuk bangun," ucap sebuah suara serak yang familiar.

Usapan lembut pada lengannya membawa kehangatan yang sejenak memudarkan rasa frustasi dan penasarannya.

Ia pun memejamkan matanya; membiarkan diri luluh dalam dekapan yang membawa perasaan nyaman, yang perlahan kembali mengantarkannya ke dalam tidurnya.

.

.

.

.

.

Dari celah tirai yang ditutup, cahaya matahari pagi menerobos masuk ke dalam gelapnya kamar, mengusik nyenyaknya tidur Jaemin pagi itu. Pria itu berjengit kecil, mengusap matanya yang masih setengah terbuka, lalu menatap kosong plafon kamarnya yang polos untuk mengumpulkan kesadarannya. Tak lama setelah usai mengumpulkan kesadarannya Jaemin bangkit dari kasurnya; merenggangkan sedikit tubuhnya lalu menyeret kedua tungkainya untuk keluar dari kamarnya.

Begitu membuka pintu kamar, Jaemin langsung disambut oleh pemandangan yang menghangatkan hatinya.

Putranya yang sudah tampak segar dan rapih sedang duduk tenang di atas karpet di depan televisi; mata kecilnya fokus menonton siaran kartun kesukaannya. Sementara satu sosok dewasa lainnya tengah duduk bersantai di sofa di belakangnya sambil memainkan tabletnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 12, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Why Did I Marry You [Nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang