Tiga

22 2 0
                                    

"Langit biru, cerah tak berawan berbanding terbalik dengan suasana hatiku yang dirudung kelabu. Apakah alam berusaha menghiburku?"


Esoknya aku dan Shasa tak sekali pun bertegur sapa, meskipun begitu aku tetap tersenyum setiap kali kami tak sengaja saling pandang.

Jauh di dalam lubuk hatiku aku sedikit menyesali kenapa Shasa berhenti mengikuti bimbingan, aku merasa jika ia meninggalkanku untuk berjuang sendirian.

Aku pernah berjanji pada diriku sendiri untuk selalu ikut bimbingan ips.

Selain karena menyukai ips, aku juga ingin meyakinkan ibuku jika pelajaran ips itu berguna.

Raga belum juga datang siang ini, mungkin terlambat seperti biasanya, pikirku.

Bimbingan ips berjalan seperti biasa, tak ada yang istimewa.

Hari itu aku merasa bagaikan sebuah boneka yang hidup namun jiwanya serasa kosong.

Erlira, teman sekelasku menyadarinya, ia lantas bertanya padaku, "Kamu kenapa, Ran? Kok kayaknya lagi sedih, galau ya?"

"Eh, aku gak papa kok Lir," aku menjawab sembari menggelengkan kepala beberapa kali.

"Kalau ada masalah cerita aja, Ran. Mungkin aku bisa bantu,"

"Aku lagi bingung nih Lir, aku merasa ikut bimbingan ips itu sia-sia,"

"Jangan gitu Ran, gak ada usaha yang sia-sia," ucap Erlira mencoba menghiburku.

"Ih kamu mah gampang ngomong gitu."

"Tapi kan niat awalnya untuk belajar. Cari ilmu iya, kan?"

Aku mengangguk, "Iya sih."

Tapi sedih juga sih kalau gak kepilih, batinku dalam hati.

"Kamu gimana? Bimbingan ipamu, Lir?" tanyaku pada Erlira, soalnya dia juga ikut bimbingan olimpiade ipa.

"Biasa aja, Ran."

"Gak ada rasa jenuh gitu? Bosan? Atau pengen berhenti?" Aku kembali mengajukan beberapa pertanyaan pada Erlira.

"Enggak ada Ran, aku dari awal niatnya memang untuk nambah ilmu aja, pengen tahu pelajaran yang berikutnya biar lebih dulu bisa gitu."

Aku hanya diam sebab aku sama sekali tidak mengerti dengan alasan yang diberikan Erlira, bukan itu yang aku harapkan.

Aku menatap Shasa sebentar, lantas bertanya pada Erlira, "Lir, boleh minta tolong gak?"

"Minta tolong apa, Ran?"

"Tanyain Shasa dong, dia marah sama aku gak?"

Erlira mengangguk. "Iya, nanti aku tanyain. Udah gak terlalu sedih, kan?"

"Udah enggak, makasih ya Lir," jawabku sambil tersenyum.

*********


Siang itu, disela waktu antara jam pulang dan jadwal bimbingan ips, aku melamun di kelas. Menatap awan putih yang seolah olah menari gembira di atas langit.

Dalam lamunanku aku teringat kata-kata ibu, jangan melakukan sesuatu hanya karena sebuah alasan, nanti kalau alasan itu hilang bisa-bisa kamu merasa perbuatan yang telah kamu lakukan itu rasanya sia-sia saja

Rasanya aku mulai mengerti apa yang ibu maksud, kuhela napas lelah. Tadi, sebelum pulang Erlira menyampaikan jawaban dari Shasa.

Ternyata dia tidak marah kepadaku, dia juga bilang jika biar aku yang ikut olimpiade. Shasa mengalah demiku.

Hari ini mungkin hanya aku dan adik kelas saja yang bimbingan, sebab Shasa sudah memutuskan untuk benar-benar berhenti. Sedangkan Raga, ia juga tidak datang, kurasa sebentar lagi ia juga akan berhenti.

Aku seperti kehilangan semangat, seperti tidak ada lagi harapan untuk esok. Aku ingin menyerah saja.

Tanpa kusadari air mataku telah mengalir, sungai kecil yang mampu meluapkan sedikit kesedihanku.

*******


Ujian semester sudah di depan mata, bimbingan ips ditiadakan sementara.

Fokusku sempat buyar, nilai yang kudapat pun tidak memuaskan. Aku sendiri juga merasa sedih, harus berpuas diri hanya mendapatkan peringkat enam.

Orang tuaku, terutama ibu marah dan menyita hpku sebagai hukuman.

Parahnya lagi bukannya ada jalan jalan, liburanku adalah bercanda ria dengan buku-buku yang seolah menertawakanku.

Setiap beberapa hari sekali kusempatkan untuk membuka buku ips, meskipun tidak bimbingan aku harus mengulang materi yang telah diajarkan agar tidak lupa.

Meski pelajaran ips menuntut pemahaman namun jika ada bagian yang penting mau tidak mau harus dihafal juga.

********

Tahun pelajaran baru akhirnya tiba. January yang seharusnya menyenangkan seolah sengaja membuatku bersedih lebih dulu. Ada banyak hal yang tak terduga, misalnya saja Raga yang pindah ke kelas sebelah.

Aku menyayangkan mengapa ada sistem perolingan kelas di sekolahku.

Sejak masuk semester dua, pr dan, tugas yang diberikan lebih parah. Sehari bahkan bisa semua mapel ada tugas.

Bukan hanya itu guru guru juga lebih sering memberikan ulangan dadakan.

Kami juga tidak diberikan waktu untuk mengeluh, mereka yakin kami bisa. Kelas unggulan katanya? Apa mereka lupa jika kami semua bukan robot? Kami juga butuh istirahat.

Hal itu semakin membuatku tertekan, aku kembali kesusahan untuk membagi waktu antara mengikuti Les atau bimbingan ips.

Jadwal yang bersamaan membuatku acap kali tidak mengikuti les matematika. Berbohong pada ibu mengenai jam tambahan.

Ada beberapa siswi yang mengikuti bimbingan ips di awal bulan ini. Aku sedikit resah sebenarnya, gara gara salah satu dari mereka adalah teman sekelasku.

Bukannya tidak senang, aku hanya sedikit kesal, semester lalu dia mendapatkan peringkat di atasku, namanya Gina.

Aku kembali merasa rendah diri, apakah aku bisa?

Langit biru, cerah tak berawan berbanding terbalik dengan suasana hatiku yang dirudung kelabu. Apakah alam berusaha menghiburku?
































































Bersambung.....

Sweet PeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang