Bab 1

15.9K 841 18
                                    

Hai hai hai, aku bawa miniseri kedua nih. Kalau ingat adegan obrolan Agnes dan Kak Bita, pasti kalian pernah baca judul ini. Anggap aja aku cuma diamanatin Kak Bita buat publish naskah dia🤣🤣

Okay, good reading ya. Hope you all to enjoy her (my) story 🥰
.
.
.

Malam ini Ibu kembali menghubungiku, seperti kebiasaannya hampir tiap hari. Meski seminggu ke belakang, kami hanya saling mengirim chat tanpa panggilan suara maupun video. Katanya, di rumah sedang sibuk acara pernikahan Tia, sepupuku dari pihak Ayah. Ah, aku jadi menyesal karena lagi-lagi tidak bisa hadir di acara besar keluargaku. Walaupun aku juga tidak yakin, mereka akan mengharapkan kehadiranku.

Kupikir telepon Ibu malam ini hanya untuk menanyakan kabar, atau bercerita apapun sampai kami aku tertidur dengan sambungan belum terputus. Nyatanya, ini akan sangat panjang. Aku juga tidak tahu kenapa tiba-tiba Ibu membahas ini, setelah sekian tahun.

"Pulang ya, Mo. Hm?" Ibu kembali memohon, setelah beberapa menit aku tidak menanggapi kalimatnya tadi.

"Bu, Momo lagi meniti karir di sini." Hanya itu alasan yang bisa kuutarakan, meski tidak terlalu tepat karena bahkan kelulusanku sudah dua tahun lalu.

"Dua tahun cukup untuk kamu belajar karir di sana, Sayang." Ibu berucap lirih. Aku menghela napas sambil memandangi lampu-lampu jalanan yang menghiasi kota yang menjadi latar film Kimi no Na wa ini. "Memang salah, kalau Ibu mau berkumpul sama anak perempuannya?"

"Bu." Aku menelan ludah. "Kan Ibu sama Ayah bisa ke sini, semisal kangen Momo."

"Ibu dan Ayah sudah tua, Sayang. Agak kesulitan kalau sering bolak-balik lintas negara."

Aku terdiam. Baru menyadari betapa egoisnya aku selama ini. Mungkin Ibu dan Ayah mengabulkan keinginanku untuk kuliah dan bekerja di negara ini, juga mengasingkan diri dari semua orang selama delapan tahun. Tapi harusnya aku tahu, dalam diamnya mereka, ada ketidakrelaan di sana. Keberadaan Bang Naufal dan anak istrinya di rumah pun, mungkin juga belum cukup bagi mereka.

Aku menghela napas, sekali lagi. "Momo pikirin lagi ya, Bu."

"Jangan cuma dipikir, tapi diusahakan."

"Iya, Ibu." Memang, apa yang bisa kukatakan? "Ayah belum pulang, Bu? Kok nggak ada suaranya?"

"Udah, tapi sekarang lagi di rumah Pakdhe Harun."

Mendengar nama itu, aku seketika terringat sosok yang berusaha kukaburkan dari ingatan. Sosok yang membuatku menjadi seorang asusila di masa lalu. Seorang Momo remaja yang begitu naif dan meyakini bahwa segala cara bisa dilakukan untuk mendapatkan orang yang dicintai. Tak peduli itu jalan salah yang bisa berbalik menyakiti semua orang.

"Kamu sudah makan?" Pertanyaan Ibu membuyarkan isi pikiranku yang melanglang buana.

"Belum."

"Kok belum? Jangan terlambat makan, Sayang. Atau karena Ibu telepon, makannya makan malam kamu tertunda?"

"Enggak, Ibu." Aku terkekeh. "Luke mau datang, makanya Momo minta dia sekalian beliin ramen. Bentar lagi dia pasti-"

Suara bel menginterupsi kalimatku. Aku meninggalkan balkon apartemen dan berjalan menuju pintu. Melalui interkom, aku bisa melihat Lucas tengah berdiri sambil melambaikan tangan di kamera. Segera, aku membukakan pintu.

"Luke sudah datang, Bu."

Lucas yang baru masuk dan melepas sepatu, mendongak. Matanya tertuju ke arah ponsel yang kutempelkan di telinga. Dia lalu menatapku sambil bertanya dengan bahasa Indonesia yang kaku. "Apakah itu Ibu?"

Aku mengangguk. Segera mengulurkan benda di tanganku padanya, dan beralih mengambil ramen instan yang dia bawa. Aku berlalu ke dapur, meninggalkannya yang sudah terlibat obrolan seru dengan Ibu. Tidak perlu menunggu waktu lama untuk menyeduh dan mengolah ramen hingga siap disantap. Saat kembali ke ruang tamu, Lucas baru saja berpamitan dengan Ibu. Kutaruh satu mangkuk penuh kepulan menggoda perut, di depannya.

"Ibu bilang apa?" tanyaku sambil meniupi mangkuk bagianku agar panas dalam kuahnya sedikit berkurang.

"Tidak banyak." Dia menatapku intens. "Hanya mengatakan jika dia ingin agar kamu pulang."

Aku menelan mi dalam mulutku dulu sebelum menjawab, "Aku bilang, mau pikirin lagi."

"Jangan hanya dipikirkan, Moza. Aku juga setuju jika kamu kembali tinggal bersama keluargamu."

Aku mendongak. "Kamu tahu alasannya, Lucas."

Lucas kemudian diam dan memilih menyantap makanannya. Artinya, dia tidak ingin bicara dulu. Aku pun ikut memakan ramenku dengan pelan. Kami makan dalam diam, sampai mangkuk benar-benar tandas, baru pria di depanku ini mengembalikan tatapan padaku.

"Dear." Dia menaruh sumpit, lalu mengusap lengan atasku. "Aku memiliki berita penting, untukmu."

"Berita apa?" Ekspresi Lucas benar-benar serius. Artinya, berita itu memang sangat penting.

"Aku dipindahkan ke Jakarta."

Aku seketika mematung. Cuma sebentar, sebelum akhirnya aku tertawa. "Jangan bercanda, Luke. Aku nggak percaya."

"Aku sedang tidak bercanda, Moza."

Tawaku lenyap. Mataku memanas. "Kamu bohong, kan? Please, kamu bohong!"

Lucas mendekat dan menarikku ke dalam dekapannya. Tangannya mengusap-usap punggungku. "Manajer hotel yang memberitahuku tadi siang. Cabang Amor di Jakarta membutuhkan EHC, segera. Dan mau tidak mau, aku harus menerima."

"Ya udah, aku di sini aja."

"Aku tidak mungkin meninggalkanmu tanpa penjagaan. Oke, teman-temanmu banyak di sini. Tapi tidak ada yang benar-benar bisa kupercayai. Ayah dan Ibu pun, hanya mempercayaiku saja. Kami tidak akan mengambil resiko besar membiarkan kamu sendiri di negara ini."

"Tapi Luke, aku nggak siap."

"Sampai kapan pun, kamu tidak akan pernah siap jika belum mencobanya." Kepalaku diusapnya lagi. "Ada aku. Ada Ibu dan Ayah. Ada Naufal. Kami semua akan selalu berada di sisimu."

Aku menggeleng. "Tapi ... gimana kalau aku ketemu dia? Gimana kalau aku nggak mampu? Lucas, please."

"Percaya aku, dear." Lucas melepas pelukan, lalu membingkai wajahku dengan kedua telapak besarnya. Senyumnya terbit tipis. "Dia sudah dengan hidupnya sekarang. Semua orang juga sudah bahagia dengan hidupnya sendiri. Sekarang, giliranmu untuk menjalaninya. Kamu, pantas hidup bahagia. Sudah saatnya kamu keluar dari masa lalu yang selama ini mengikatmu. Hadapi, Sayang."

Aku menggigit bibir. Bayangan masa lalu berputar-putar seperti tayangan drama di kepalaku. Seperti baru kemarin semua itu terjadi. Rasanya menyesakkan. Selama apapun waktu yang kugunakan untuk lari, seperti tidak akan pernah cukup. Aku harus bagaimana?

***

Aku nggak tahu apa ini akan update cepet kayak miniseri 1 kemarin. Tapi akan aku usahakan, sambil nulis lapaknya Icha hehe. Oh ya, baca selagi on going ya. Karena kalau udah complete, nanti aku bakal hapus sebagian buat proses penerbitan. Thank you for reading ♥️🌹

Magelang, 27 Juli 2020

Mōichido (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang