CEKREK !
Senyum sumringah terpancar dari wajah para wisudaan yang hari ini terlihat gagah dan cantik dengan toga yang mereka perjuangka selama empat tahun ini. Mereka berpose di depan kamera sembari menjinjing buket bunga yang indah. Sesekali topi wisuda kebanggaan mereka angkat tinggi-tinggi untuk kemudian mereka terbangkan ke langit biru, setinggi cita-cita mereka.
Air mata bahagia terlinang dari sudut mata ibu paruh baya yang berdiri di bawah pohon rindang seorang diri menyaksikan anak semata wayangnya akhirnya resmi menyandang gelar sarjana. Pakaiannya tak sebagus ibu-ibu lainnya. Ia hanya mengenakan gamis ungu yang warnanya mulai pudar dengan kerudung panjang yang warnanya tak senada. Namun wajah ayu ibu paruh baya ini mengalahkan ibu-ibu di sekitarnya. Bulir bening di pojok matanya sangat tulus. Betapa ia sangat bersyukur karena Amar yang ia sekolahkan seorang diri dengan susah payah telah menjadi lelaki dewasa yang ia harap akan sukses di kemudian hari. Ditatapnya lelaki tampan nan gagah itu dari kejauhan, perasaan bangga menyeruak pada dadanya.
Ayah Amar sudah meninggal sejak ia duduk di kelas 2 Sekolah Dasar karena lemah jantung yang diderita ayahnya. Sang ibu memilih tetap setia pada suami yang sangat dicintainya itu. Ibu Lasmi yang banyak didatangi lelaki yang berniat melamar semenjak ia menjada, memilih tidak menikah lagi hingga saat ini ia menyaksikan Amar memakai toga, hasil jerih payahnya bekerja sebagai buruh di pabrik boneka yang tak jauh dari rumah tempatnya tinggal. Seumur hidupnya, ia habiskan untuk bekerja di pabrik itu. Karena memang tidak ada pekerjaan lain yang bisa ia dapatkan di usianya yang mulai senja. Hanya upah dari pabriklah yang utama ia andalkan untuk bisa menyekolahkan Amar sampai saat ini.
Amar anak yang baik. Sedari kecil ia sudah membantu ibunya memeroleh uang dengan menjualkan boneka buatan ibu. Ibu Lasmi mengandalkan keterampilan yang ia peroleh dari pabrik untuk membuat boneka seadanya untuk dijual. Pagi hingga sore ibu Lasmi menghabiskan tenaganya di pabrik, dan selepas maghrib ia mulai menggarap boneka buatannya. Semalaman ia hanya bisa membuat paling banyak 10 boneka kecil untuk kemudian Amar bawa ke sekolah dan ia jual kepada teman-temannya dengan harga lima sampai sepuluh ribu rupiah saja. Kainnya di dapat ibu Amar dari sisa-sisa pabrik. Ibu Lasmi sudah meminta izi kepada pihak pabrik untuk memungut kain sisa pembuatan boneka yang tak terpakai, dan mereka dengan senang hati memberikannya.
Semakin hari ibu Lasmi semakin menua. Tenaganya sudah tak sekuat dulu. Keriput di wajahnya mulai terlihat. Namun di usianya yang menginjak 57 tahun, ia mash terlihat ayu. Ibu Lasmi memang cantik sedari muda. Keelokan wajahnya itu ia turunkan pada Amar yang memang terlahir lucu dan tampan. Sudah berapa gadis yang berminat menjadi pacarnya selama ia kuliah. Namun tak satupun mampu memalingkan hati dan pikirannya dari Ranum. Gadis yang ia pacari sejak kelulusan SMA.
Amar berpamitan dari kerumunan teman-temannya dan belari menuju ibunda tercinta. Ia peluk wanita kesayangannya itu erat. Ia tenggelamkan wajahnya pada pundak sang ibu. Amar menangis. Betapa ia bersyukur telah dilahirkan dari rahim seorang ibu yang kuat nan lembut hatinya. Yang tak pernah mengeluh selama ia membesarkan anaknya seorang diri.
Tangan ibu menepuk-nepuk pundak Amar yang bidang.
"Alhamdulillah, Ndok. Akhirnya ibu berhasil menyekolahkanmu tinggi-tinggi".
Suara ibu bergetar. Amar mengangguk sambil tetap menenggelamkan wajahnya.
Terbayang ibunya yag tiap malam menahan kantuk sambil terus menjahit boneka demi untuk memeroleh uang tambahan untuk Amar sedari SD.
"Sini Amar bantu, Bu".
Amar kecil duduk di depan ibunya berniat membantu.
Ibu menatap dinding.
"Sudah mau jam sebelas, Ndok. Kamu tidur saja sana. Besok kesiangan kamu nanti".
Ibu menjawab sambil terus menjahit boneka yang belum rampung di tangannya.
"Sebentar saja Bu. Amar temenin ya".
Hingga jam dua dini hari, ibu masih berkutat dengan bonekanya, sementara Amar tertidur pulas.
Amar usia SMP hingga SMA, ia membantu ibunya dengan menjadi kuli panggul sepulang sekolah hingga sore di pabrik tempat ibunya bekerja. Tubuhnya yang saat itu terhitung kecil, dan tulangnya yang belum terlalu kuat, harus menahan bobot puluhan kilo setiap harinya. Tapi Amar jalani semua itu dengan tekad dan hati yang kuat. Hngga ia dewasa, ia tumbuh menjadi lelaki yang kuat dan tegap.
"Terimakasih, Bu".
Amar melepaskan diri dari pelukan ibunya. Lalu memandang wajah ibunya takzim.
"Mulai sekarang ibu berhenti ya bekerja di pabrik. Ibu istirahat. Kasihan badan ibu capek. Sekarang biar Amar yang sepenuhnya bekerja".
"Kamu ini, ibu suruh berhenti kerja, nanti kita makan apa? Kamu kan butuh waktu buat nyari kerja toh?".
Ibu menepuk pudak anaknya. Amar terkekeh.
"Aman toh bu. Aku wis keterima kerja jadi staff di toko buku gede, Bu".
"Oh iya? Bisane?", Ibu mengerutkan dahi heran.
"Hehe, bisa dooong. Aku dapet rekomendasi dari dosenku, Bu. Nah toko buku ini punya abangnya dosenku, Bu".
Sang ibu mengangguk paham.
"Alhamduillah".Amar tersenyum sambil menggenggam kedua tangan ibunya.
Ia belum mengatakan bahwa toko buku yang ia bicarakan berada jauh di luar kota.***
KAMU SEDANG MEMBACA
HATI YANG LAIN
RomanceHati terbolak balik setiap harinya. Perasaan benci dan suka berkurang lalu bertambah. Jika kau mencintainya, akankah bertahan selamanya?