2|Promised

4 2 0
                                    

Setelah enam tahun di tanggal, dan di bulan yang sama lagi-lagi aku harus merelakannya. Walaupun kali ini berbeda, dia benar-benar pergi dari hidupku dengan permintaan maaf yang tak terucap hanya tergambar jelas dari raut wajah bersalahnya.

Pipiku yang sudah basah jadi banjir bukan lagi sebab rasa bersalah pada adik kecil yang ku tabrak. Tapi karena merasa dikhianati oleh ayahnya.

Astagfirullah, suami orang El! Cepat-cepat ku gelengkan kepala, menepis pikiran ku yang tak seharusnya memikirkan lelaki suami orang. Dari awal aku sudah salah, dari awal dia memang bukanlah siapa-siapa ku. Aku saja yang berharap, sebab itu pula aku kecewa. Ampun ya Allah, sungguh ini lebih sakit dari pada menaruh harap tanpa kepastian.

"Maira, ada yang sakit?" tanya kak Ardi yang ikut berjongkok di hadapan ku yang menenggelamkan wajahku dalam dekapan tangan yang bertumpu pada lutut.

Aku menarik nafas banyak, menghilangkan sesak, mengatur nafas, berkali-kali beristighfar berharap hati bisa berdamai walau sejenak.

"Maaf mba apa ada yang sakit? Maafin anak saya engga hati-hati." Perempuan itu ikut berjongkok di sampingku ku rasa saat tangan menyentuh pundakku.

Buru-buru hapus sisa air mata dan ingus dengan lengan hoodie yang ku gunakan. Ku angkat kepalaku melirik sejenak memastikan perempuan yang ku yakin istri Raka.

"Sakit. Sakit hati!" Mau bilang begitu. Tapi sadar bukan saatnya curhat dan menghancurkan cerita orang lain. Biar cerita ku yang hancur dan selesai tanpa kata yang harus dijelaskan lagi.

"Gak mba aku yang gak hati-hati, jadi nabrak." Aku buru-buru bangkit dan baru sadar orang-orang menatap kami. Tidak, bukan, sepertinya menatap aku. Apa yang sudah ku lakukan? Ya ampun malunya😔. Apa mereka melihat ku menangis seperti anak kecil tadi. Astaga, bisakah aku menghilang sekarang? Om jin bawa aku berpindah tempat, sekarang!

"Apa mba ada yang luka?" Suara yang sama.

"Eh, i-itu adeknya enggak papa, kan?" Aku jadi gugup berhadapan langsung dalam keadaan yang benar-benar memalukan, dengan Raka dan istrinya. Engga ada anggun-anggunnya.

"Kepala belakangnya benjol. Maaf." Mau tak mau aku berhadapan dengan Raka dan berpura-pura sejenak lupa dengan apa yang sudah dilakukan laki-laki yang memeluk anak yang sudah mulai reda tangis dalam gendongannya.

"El-"

"Maaf mba saya buru-buru," ucapku memotong entah apa yang mau diucapkan Raka, aku cuman ingin segera pulang tak ingin berlama melihat Raka dan Istrinya.

"Iya mba gak papa, Zidan juga udah engga nangis lagi mungkin kaget tadi makanya nangis begitu. Benjolnya nanti di kompres mba."

Aku menyerahkan kertas kecil yang baru saja kutulis nomor ponselku. "Kalau ada apa-apa hubungin aja ya mba. Saya benar-benar buru-buru." Aku segera menarik tangan kak Ardi setelah berpamitan.

"Buru-buru mau kemana sih?" tanya kak Ardi, komplain saat ku tarik menjauh dari Raka. "Kenapa kakak ikut ditarik, bukannya tadi mau kebur lagi dari kakak?"

Aku melepaskan tangan kak Ardi dan mempercepat langkah, meninggalkan kak Ardi. "Eh, tungguin Maira. Kok malah jadi marah sih," grutu kak Ardi langkahnya terdengar mengejar ku.

💕💕💔

"Kamu kenapa sih? Kok malah masih nangis? Kalau masih ngerasa bersalah sama anak kecil tadi kenapa malah kesini? Bukannya tadi bilang buru-buru? Mau kemana sih?" tanya kak Ardi berdiri bersandar pada pohon di pinggiran danau, bingung mungkin melihatku yang masih menangis dan berhenti duduk di kursi pinggir danau.

Air mataku jatuh lagi dan lagi mengingat janji laki-laki itu. Menyebalkan. Kenapa harus nangis El? Jangan nangis! Semakin sering ku ulang kata-kata itu. Air mataku semakin jatuh.

"Maira?"

"Jangan cerita ke mama aku bolos hari ini kak," pintaku tanpa menjawab satupun pertanyaan kak Ardi.

"Kamu kenapa?" suaranya melembut khawatir mungkin.

"Jangan cerita kak, please!" mohonku, menghapus sisa air mata.

"Cerita kenapa kamu bolos?"

"Jangan cerita kak." Ulangku.

"Asal kamu cerita," tawarnya.

Aku menarik nafas banyak. "Hufft, terserah kakak sajalah," ucapku pasrah tak ingin berdebat, dan tak mungkin aku cerita pada kak Ardi.

"Ok, ok. Kakak enggak cerita."

"Gak sama kak Dion juga ya."

"Tapi kamu harus cerita nanti. Kakak yakin kamu nangis bukan hanya karena anak kecil tadi, kan?"

"Sok tau. Udah ah, pulang ... Ingat janji jangan cerita apa-apa, anggap kita engga ketemu hari ini. Aku mau pulang."

💔💔


**

Tugas 3 komabisofc

PromisedWhere stories live. Discover now