Bab 2

9K 902 28
                                    

Lucas pergi ke Jakarta sebulan sebelum aku. Itu karena aku harus menyelesaikan pekerjaan di sini sebelum benar-benar resign. Sore ini, Sheila menjemputku di bandara. Dia langsung menyambut dengan pelukan panjang dan akting menangis tersedu yang membuat orang-orang memusatkan perhatian ke arah kami. Aku segera mendorongnya menjauh sebelum dianggap tidak normal.

"Lebay banget sih kamu!"

"Kan kangen, Mo." Dia cemberut.

"Hampir seminggu tiga kali kita video call. Nggak usah berlebihan."

"Kan nggak ketemu langsung." Sheila mencebikkan bibir. "Kamu nggak ngebolehin aku tiap Paklik dan Bulik ke sana. Jahat."

Aku tertawa, merangkul bahu adik sepupuku ini sambil mengajaknya keluar dari bandara. Dia memang manja dan gampang tersentuh. Jadi ya maklumi kalau dia agak berlebihan dalam menyambutku. Walau begitu, dia satu-satunya sepupu yang memercayai di titik terendah. Makanya aku sangat sayang dia.

"Ke rumah Eyang ya, Mo." Sheila berkata begitu, setelah mobilnya meninggalkan bandara.

Aku menoleh bingung. "Lho?"

Sheila tersenyum. Satu tangannya yang tidak memegang kemudi, meremas tanganku di pangkuan. "Semua orang mau nyambut kamu."

Mataku terbelalak. Seketika, telapak tanganku berkeringat dingin. Bayangan-bayangan tatapan penuh penghakiman kembali berputar-putar di kepalaku. Seperti, semua orang memaki-maki sambil mengelilingi tubuhku yang terperosot di lantai setelah mendapat tamparan dari laki-laki pertama yang kucintai di dunia ini. Dan mendadak, napasku sesak.

"Mo."

Aku menutup muka dengan kedua tangan. Sosok mungil yang bersimbah darah itu seperti nyata jika aku membuka mata. Tidak. Tolong, pergi.

"Momo, astaga!"

Aku merasakan mobil berhenti. Lalu secepat mungkin, tubuhku sudah berada di rengkuhan Sheila. Dia mengusap-usap kepalaku, ketika aku hanya bisa menggeleng. Tolong, aku butuh kekuatan.

"Mo, tenang." Aku mengerjap saat Sheila menangkup pipiku. Dipaksanya aku untuk membalas tatapannya. Bibirnya bergetar. Dan aku juga. "Tenang, Mo, tenang. Mereka sangat sayang kamu. Mereka ... nggak akan nyakitin kamu lagi. Mereka mau nyambut kepulangan kamu."

"Tapi ... tapi-"

"Itu hanya ketakutan kamu, Momo." Sheila memotong dengan nada lembut. "Mereka sayang kamu. Aku sayang kamu. Kami nggak akan menghakimi kamu lagi. Itu cuma masa lalu, oke?"

"Shei...."

"Ada Luke." Dia menatapku tegas. "Nanti Luke datang. Aku janji."

"B-bener?"

Sheila mengangguk yakin. "Jadi jangan takut. Oke, Sayang?"

Maka di sinilah aku sekarang. Di depan rumah dengan arsitektur adat Jawa yang kental. Rumah berbahan baku kayu yang terlihat asri, meski ini sudah malam. Seketika, aku teringat masa kecil membahagiakan di sini. Kami para saudara sepupu saling berlarian, bermain di bawah langit yang dihiasi bintang. Sayang, semua tak lagi sama. Kenangan menyenangkan itu berubah jadi bayangan buruk.

"Ayo, Mo." Sheila menggenggam tanganku erat.

"Shei, aku pulang ke rumah Ayah aja ya."

"Paman sama Bibi di sini, Mo." Sheila tersenyum lembut. "Nggak akan ada yang terjadi. Ayo."

Mengembuskan napas berat, aku mengangguk pelan. Kubiarkan kakiku melangkah bersama Sheila, memasuki pintu depan rumah almarhum Kakek yang terbuka lebar. Rasa gugup kembali menyerangku. Bercampur dengan takut dan cemas. Andai ada Lucas, mungkin aku bisa sedikit lebih tenang. Setidaknya, pria itu tahu bagaimana cara mengendalikan ketakutanku.

Mōichido Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang