"Jangan banyak pikiran!" perintah Dokter Arif pada visit terakhir.
"Gimana nggak banyak pikiran, Dok. Rahimnya sudah nggak ada."
"Pilih mana, rahimnya yang nggak ada atau orangnya yang nggak ada?"
Pertanyaan yang menohok, aku diam tak menjawab menyadari sesuatu.
"Jangan kerja yang berat-berat dulu, kerja yang ringan-ringan saja dulu. Masak yang gampang boleh, cuci baju banyak jangan, olah raga yang berat jangan, jalan-jalan kecil dululah." Nasehat beliau.
"Sudah ya, cepet sehat, jangan lupa minggu depan kontrol, pokoknya jangan banyak pikiran." Tegas beliau mengingatkan kembali.
Suami bolak balik mengurus administrasi kepulangan, sebelumnya diberitahu oleh Bidan Yayah -kepala ruangan- mengenai selisih pembayaran BPJS yang harus diselesaikan.
"Ibu Bapak, biaya perawatan Ibu seluruhnya dua puluh juta enam ratus lima puluh ribu, ada selisih yang harus dibayar empat juta enam ratus lima puluh ribu."
"Ibu jangan pikirkan selisih yang harus dibayar kenapa besar, jangan pikirkan uangnya. Ibu harus bersyukur, masih bisa ketemu keluarga, masih bisa mengurus anak-anak, mengurus suami, soalnya jarang-jarang yang seperti Ibu bisa selamat, kebanyakan lewat."
"Kasus Ibu termasuk Cito yaitu pasien yang harus segera ditangani saat itu juga, kalau tidak diambil tindakan segera bisa mengancam keselamatan Ibu, termasuk operasi besar. Makanya Ibu harus banyak-banyak bersyukur sama Allah masih diberi kesempatan."
Perkataan Dokter Arif dan Bidan Yayah seperti sebuah energi baru, layaknya sebuah ponsel yang habis baterai, pelan-pelan mulai terisi.
Sebelum meninggalkan ruangan, kami berpamitan menyalami satu-satu perawat serta bidan. Banyak do'a yang terucap dari mereka, banyak nasehat yang diberikan. Sekarang aku merasakan sebagai pasien, selain obat-obatan yang diperlukan, juga yang lebih dibutuhkan adalah sebuah dukungan, penyemangat, bukan tatapan iba mengasihani yang akan membuat pasien merasa manusia yang paling menyedihkan ... percayalah pasien yang sedang terpuruk hanya butuh pelukan dan support. Kami meninggalkan RS dengan senyuman.
Pulang ke rumah disambut isak tangis mamah, aku berusaha nampak tegar, tidak ikut terpancing menangis. Langsung menuju kamar, rindu bayi yang sudah tiga hari tidak bertemu. Aku menatapnya dengan mata berbinar dan hati membuncah, usianya memasuki bulan ketiga, sedang aktif-aktifnya belajar menggerak-gerakan kaki dan tangan dengan lincah, yang paling menggemaskan celotehannya yang tak jelas menjadi obat pelipur lara.
"Ibu beruntung anak sudah tiga, kakakku baru punya anak satu rahimnya harus diangkat karena tumor."
"Karyawanku baru nikah setahun belum punya anak, istrinya sudah diangkat rahim."
Banyak kata-kata penghiburan dari tetangga, itu cukup membuatku menyadari bahwa aku sangat beruntung dibandingkan cerita mereka.
"Bibiku juga sudah diangkat rahimnya, anaknya satu sudah besar, mereka rukun sampai sekarang malah kelihatnnya semakin sayang paman ke bibi."
Thank you so much neighbors, your support means a lot.
-----
"Waktu Ibu sedang dioperasi, ada telepon dari Rani. Kata Dokter Taufik, sepertinya Ibu harus diangkat rahim." Suamiku mulai bercerita.
"Terus Ayah jawab 'telat ngasih tahunya, ini lagi dioperasi'," lanjutnya.
"Pantesan Doktek Taufik waktu terakhir kontrol terlihat berbeda, kaya mau bilang sesuatu, tapi ditahan," kataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Histerektomi
Non-FictionIjinkan aku berbagi secuil kisah perjalanan hidup. Mudah-mudahan pembaca dapat mengambil pelajaran, mengerti hakikat sabar dan memahami arti kata bersyukur.