"Mengapa orang-orang merayakan perpisahan?" Ralat, "Mengapa orang-orang selalu melakukan perayaan tanpanya?"
Gadis 14 tahun itu menghela napas, berjalan santai membelah kerumunan. Mereka berdecis, berhenti menyemprotkan pilox. Sore itu, kelulusan siswa SMP baru saja diumumkan.
Tepat setelah Helia berlalu, mereka melanjutkan aksi tahunan itu. Tentu saja kali ini lebih meriah. Terlebih lagi guru killer sekaligus wakil kesiswaan sekolah baru saja memasuki masa pensiun. Beliau mengizinkan aksi coret-coret baju asal tidak di luar lingkungan sekolah. Konspirasi macam apa itu?
Pilox warna-warni mengeluarkan aroma khas. Saling coret. Tanda tangan berasa berharga.
Kira-kira hanya itu yang Helia tau. Apa lagi? Apa seseru itu? Atau lebih?
***
Helia tak pernah naik bus sendirian sebelumnya. Gadis itu menikmati angin menyibak anak rambutnya melalui jendela. Bus memperlambat laju. Seorang ibu dengan masing-masing keranjang di tangannya masuk.
"Cangcimen, cangcimen..." Soraknya menjajakan kacang, kuaci, permen.
Di perempatan jalan, Ibu itu turun, berganti dengan dua orang pengamen.
"Assalamualaikum bapak, ibu, adek, kakak, semuanya. Semoga dalam keaadaan sehat. Aamiin...."
Salah satu pengamen buka suara, nyaring. Bus penuh sesak. Helia melirik benda kecil yang melingkar di pergelangan tangan. Jam pulang. Helia menyapu pandangan, menghela napas. Kembali terhanyut dalam lamunan. Ah, angkutan umum memang tempat terbaik untuk melamun.
"...Pindah berkala, rumah ke rumah. Berharap bisa berujung indah. Walau akhirnya harus berpisah. Terima kasih karena ku tak mudah."
Suara ukulele mengiringi.
"Maaf jika kusering buat susah
Indisya, Panda, Anggra, Caca, Sismita. Perempuan terkuat dalam hidupku. Terjanglah apa pun yang kalian tuju."Dasar fuckboy, Helia bergumam.
"Kau datang saat gelapku…"
Semesta aku iri pada pengamen ini!
***
Helia benci tersesat. Apalagi jika tersesat sendirian. Gadis itu mempercepat langkah kakinya mengingat sang raja siang sudah hendak beristirahat. Helia telah turun bus sekitar setengah jam yang lalu. Memasuki gang padat penduduk, mengulur waktunya. Anak gadis mengangkat jemuran. Bocah laki-laki berlarian setelah main bola. Pekerja kantoran dengan kemeja lecek bekas sandaran akibat terjebak macet. Hei, setidaknya malam ini tak perlu lembur, bukan?
"Permisi?"
Helia menoleh, mengangkat alis, apa?
"Nyari siapa?" Kata anak lelaki berseragam putih biru itu.
Tidak penting. Helia melanjutkan langkah.
"Gue rasa lu butuh ini. Gue tau lu pake seragam putih biru di balik hoodie lu itu."
Helia tidak peduli.
"Gue nawarin karna kita ga akan ketemu lagi."
Helia menoleh, anak lelaki sepantarannya itu menyodorkan pilox.
"Lain kali pake hoodie yang gede. Jangan warna hitam." Sambungnya.
"Jangan ngatur." Helia mengambil pilox itu. Sepuluh detik. Helia menyerahkannya lagi pada pemiliknya. "Gue nulis ini karna kita ga akan ketemu lagi."
***
"Pilox ini warna tosca atau biru?"
Arga belum sempat menjawab pertanyaan pada pertemuan sore itu. Dia sudah berlalu pergi. Ah, bahkan Arga tidak tau namanya. Coretan pilox pada dinding dari gadis dengan rambut berwarna coklat cepolan itu membuatnya menaikkan alis.
Persetan!
Apa tidak ada kata lain? Pikir Arga.
Jika saja Helia dengar. Helia pasti benci mengakuinya. Namun, itulah adanya.
***
*Author
Pendek ya? Kek cerita u sma dia panjang aja? Awkwk. Eh, ga deng, canda ✌
KAMU SEDANG MEMBACA
REHAT
Teen FictionUntuk kamu yang gemetar berdiri di kaki sendiri, di balik dunia nan penuh tuntutan. Yang tengah berusaha menepis ego. Meraih mimpi, tapi entah mimpinya siapa. Hidup, tapi entah di dunianya siapa. Sering mikir, sebenarnya ini ngapain ya, buat apa ya...