Prolog

14.8K 810 21
                                    

Bunyi deringan ponsel yang menusuk telinga Kimmy membuat matanya terbelalak. Suara itu seakan memecah kesunyian dalam tidur lelapnya. Kepala terasa berat dan kaku, tubuhnya begitu pegal, dan ia bergerak lamban, meraba-raba ke sekelilingnya untuk mencari ponsel yang entah ada di mana. Begitu jemarinya menemukan benda kecil itu, Kimmy langsung mengangkatnya dengan mata yang masih terpejam.

"Halo?" suaranya terdengar serak, nyaris tak terdengar.

Tante Revina.

Ponsel itu seketika terasa begitu berat di tangan Kimmy, dan ia langsung terbangun, matanya terbuka lebar, seolah merasakan sebuah serangan dadakan. "Tante Revina!" serunya, suara cemas itu membuatnya tergesa-gesa bangkit, tanpa menyadari sekelilingnya.

"S—Sean di rumah sakit?" Kimmy bertanya cemas, sementara keningnya berkerut, merasakan sakit yang menghantam kepala seperti pukulan berat.

Namun, sesuatu lain tiba-tiba memecah konsentrasi Kimmy. Suara rendah yang menggema di telinganya datang begitu tiba-tiba. "Lo udah bangun?"

Kimmy langsung menoleh, matanya menangkap sosok pria yang berdiri beberapa langkah darinya, menatapnya dengan tatapan tajam dan penuh pertanyaan. Pria itu tampak asing, wajahnya tampan namun menyimpan misteri yang tak bisa Kimmy pahami.

Siapa dia?

Kimmy merasa dunia seakan berputar, dan kepalanya berdenyut lebih keras, menambah kebingungannya. Pandangannya bergerak mengelilingi ruangan yang tak dikenalnya. Tempat ini—di mana ia berada—sama sekali tidak familiar.

Astaga! Di mana ini?

Suasana kafe yang masih sepi di pagi hari menciptakan ketenangan yang tidak biasa. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu yang sudah berumur, menambah kesan hangat dan tua. Rak-rak penuh buku tersebar di sudut-sudut ruangan, memberi kesan tenang, hampir seperti sebuah tempat rahasia yang menenangkan hati. Setiap sudut terasa begitu berbeda dari kafe-kafe lain yang biasa ditemui—di sini, suasananya justru lebih kalem, dihiasi dengan warna coklat keabu-abuan yang menenangkan mata, memancarkan aura yang intim.

Kimmy mengerjap, mencoba mengembalikan kesadarannya, namun pandangannya tetap tertuju pada pria itu. Ia masih terdiam, bingung.

Siapa laki-laki ini? Mengapa aku merasa ... ada sesuatu yang terlewat?

Detik demi detik berlalu, dan begitu banyak pertanyaan muncul dalam pikirannya, namun suara di telepon kembali memanggilnya. "Kimmy! Siapa itu?"

Mampus! Ponsel masih tersambung, dan suaranya pasti terdengar oleh Tante Revina!

Dengan panik, Kimmy segera memutuskan sambungan, napasnya terengah-engah, detak jantungnya berdegup kencang. Rasanya seperti ia baru saja tertangkap basah.

Sial! Kenapa harus begini?

Ia kembali menatap pria itu, wajahnya terhalang rasa cemas yang mendalam. Kimmy belum bisa mengendalikan pikirannya—pria ini... sungguh tampan. Bahkan tanpa disadari, ia berpikir, jika mereka bertemu di situasi lain, mungkin saja hatinya akan jatuh pada pria ini, bukan pada Sean yang tak pernah benar-benar memperhatikannya.

Oh shit ... Aisshh! Kenapa gue berpikir kayak gini?

"Lo siapa?" Kimmy akhirnya memecah keheningan yang semakin menyesakkan, mencoba mengalihkan perhatian dari pikirannya yang mulai kacau.

Pria itu tidak langsung menjawab, justru balik bertanya dengan nada tajam, "Lo nggak ingat? Sama sekali nggak ingat?"

Kimmy merasakan ada sesuatu yang menempel di dalam dirinya—sesuatu yang aneh dan mengganggu—saat pria itu menatapnya dengan mata yang seakan menembus jiwa. Tatapannya begitu dalam, seolah mencoba menarik Kimmy ke dalam suatu dunia yang tidak ia mengerti.

"Serius?" Pria itu kembali bertanya, kali ini nada suaranya lebih tinggi, seolah tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.

Kimmy menggelengkan kepala, merasa jengah. "Nggak," jawabnya singkat, meskipun dalam hati ia merasa bingung dengan sikap pria itu. "Lo siapa? Artis? Selebritis? Anak presiden? Harus banget gue kenal sama lo?" ucapnya, dengan sedikit kesal.

Pria itu mendengus kasar, terlihat frustrasi. "Lo nabrak gue semalam, see?" Dia menunjukkan tangan dan pelipisnya yang dibalut perban.

Nabrak? Kimmy terkesiap. Apa? Gue nabrak orang?

Ingatannya berputar-putar, mencoba merangkai potongan-potongan kejadian semalam. Club, mabuk, bertemu dengan Davin ... dan kemudian—lalu apa? Terbangun di sofa ini, di tempat yang asing namun anehnya terasa nyaman. Pandangannya menelusuri kafe ini lagi—dengan warna coklat keabu-abuan yang menenangkan dan rak-rak buku yang terlihat begitu hidup.

Tempat ini ... unik. Tak ada kesan modern yang berlebihan. Justru, ia memberikan kesan tenang yang langka. Hening. Damai.

Kimmy hampir tidak mendengar suara pria itu lagi, yang kini kembali menyapanya dengan nada menggebu. "Hei! Lo nggak dengerin gue?"

Kimmy tersentak. "Maaf," jawabnya, kali ini merasa bersalah. "Aku benar-benar nggak sengaja," ucapnya penuh penyesalan.

Namun pria itu malah melanjutkan dengan nada yang lebih keras, seolah meluapkan kemarahan yang sudah ia pendam. "Berkendara mabuk, nabrak orang sampai luka-luka, motor gue rusak. Bukannya bertanggung jawab malah bikin gue repot! Lo tahu nggak, hukuman apa yang pantes buat orang kayak lo?"

Kimmy merasa seolah dunia terhenti. Polisi? Penjara? Semua berputar-putar di kepalanya. Tak mungkin! Dia tak mau terjebak dalam masalah besar ini.

Tanpa berpikir panjang, Kimmy merunduk, memohon dengan suara gemetar, "Tolong, jangan bawa gue ke polisi. Apa pun yang lo minta, gue akan penuhi. Asal jangan bawa gue ke penjara, please ...."

Tapi pria itu hanya diam, ekspresinya datar, tak menunjukkan rasa empati. Kimmy semakin ketakutan, pikirannya kembali berputar. Apa yang harus dilakukan agar ia bisa meluluhkan pria ini?

"Gue mohon. Lo mau apa, uang? Jaminan? Apa saja, asalkan jangan polisikan gue." Kimmy semakin merendah, bahkan spontan memeluk kaki pria itu, berharap bisa mengubah takdirnya.

Namun pria itu hanya menghela napas panjang, lalu berdiri dengan tenang, meninggalkan Kimmy yang kebingungan.

Kimmy menelan ludah, merasa cemas akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Jangan bilang dia tetap mau melapor! Sial! Gue bisa habis kalau itu terjadi!

Namun, pria itu kemudian mengangguk, "Oke, mulai besok lo datang ke sini jam enam pagi. Jangan telat."

Kimmy hanya bisa tercengang. "Ngapain?" tanyanya, bingung. "Harus banget ya?"

Pria itu tersenyum sinis. "Lo nggak mau? Ya sudah, gue tinggal laporin lo ke polisi."

Kimmy merasa pasrah. Tak ada jalan lain selain mengikuti apa yang diminta pria ini.

"Oke," jawabnya, terpaksa.

"Jam enam pagi, telat sedikit aja, kita ketemu di kantor polisi!" pria itu memberi peringatan dengan nada yang tegas.

Kimmy merasa kesal, tapi juga penasaran. Siapa sebenarnya dia? Apa dia tipe orang yang tidak bisa ditawar? Dan lebih penting lagi, kenapa dia harus bertemu pria ini dalam situasi yang begitu kacau?

"Lo bisa pergi sekarang," kata pria itu seraya berbalik pergi.

"Eh, tunggu!" Kimmy menghentikan langkahnya. "Nama lo siapa?" tanyanya dengan suara yang sedikit gemetar.

Pria itu menoleh dengan santai, "Reyvan," jawabnya singkat.

Kimmy terdiam, mencoba mencerna nama itu. Reyvan ... Kenapa nama itu terasa begitu familiar?

Secangkir kopi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang