Fungsi Otak

43 10 14
                                    

Seperti biasa, begitu pulang sekolah Gia selalu menyempatkan diri mengunjungi supermarket untuk membeli lolipop. Tidak ada satu hari pun yang terlewat, bisa dibilang membeli lolipop adalah kebutuhan pokoknya, layaknya memakan nasi.


Gia memang menyukai lolipop, bahkan mungkin mendekati maniak. Dalam sehari ia bisa menghabiskan lima lolipop sekaligus. Beruntung giginya tidak rusak atau bolong bolong. Kali ini pun sama, sepulang sekolah tadi Gia langsung berlari ke supermarket yang memang terletak di sebrang sekolah. Sejak kejadian kemarin Gia tidak pernah lagi pulang sore dari sekolah. Mungkin, trauma.

Gia memasukan sepaket lolipop ke dalam kantung plastik. Setelahnya ia kembali menyusuri deretan buah buahan. Belanja kali ini sedikit berbeda. Biasanya, Gia hanya membeli satu pack lolipop saja per hari, tapi kali ini ia juga membeli buah buahan. Sengaja ia membeli itu untuk menjenguk Gailan.

Tiga puluh menit perjalanan, akhirnya Gia sampai di rumah Gailan. Di depannya berdiri sebuah bangunan tiga lantai dengan nuansa abu. Tentu saja dengan pagar tinggi menjulang.

Gia mengetuk pintu rumah bercat abu itu. Rumah di depannya ini benar benar tidak bisa di sebut rumah, mungkin lebih pantas jika disebut istana. Tadi, berkali kali Gia berfikir, memastikan apa Aji tidak salah memberikan alamat Gailan?

"Assalamualaikum!"

Tidak ada jawaban. Gia kembali menekan bel rumah itu. Sampai ketiga kalinya hingga pintu terbuka.

"Waalaikumsalam, eh temennya Reyhan ya?"

Kening Gia mengerut, Reyhan... Siapa?

"Reyhan? Eh, maaf pak sebenernya saya mau ketemu Gailan. Ini beneran rumahnya kan?" tanya Gia memastikan.

Kini giliran pria paruh baya itu yang menyernyit. Sedetik kemudian ia tersenyum. Ah, ya. Gailan Reyhandika Atthariq.

"Gailan? Jadi anak itu dipanggil Gailan di sekolah? Masuk dulu, masuk!" ajak pria paruh baya itu ramah.

Gia tersenyum canggung kemudian mengangguk. Ia mengikuti langkah lelaki itu. Gia tebak lelaki itu adalah ayah Gailan. Memangnya siapa lagi kalau bukan?

Mata Gia menatap sekeliling rumah itu. Hampir semua perabotan berwarna abu, tentu saja pasti dengan harga fantastis. Gia berdecak kagum, terlebih ketika lelaki itu membawanya ke lantai dua. Disana ada satu kamar dengan pintu berwarna putih, berbeda dengan warna warna yang lain.

"Ini kamar Reyhan. Masuk saja, nggak dikunci kayaknya." kata lelaki itu.

"Iya om. Tapi ini Gailan gak bakalan marah kan, saya main nyelonong aja?" tanya Gia tidak enak.

"Nggak. Kamu masuk aja gak papa. Saya ke bawah ya," kemudian lelaki itu meninggalkan Gia disana.

Memberanikan diri, Gia kemudian mengetuk pintu di depannya itu. Sebelumnya Gia sempat merapalkan doa, berharap orang didalam sana tidak akan memarahinya.

"Masuk aja knapa sih, lagian nggak di kunci." pintu terbuka, bersamaan dengan munculnya Gailan di balik pintu.

Gailan mengerjapkan matanya, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Matanya menatap Gia seolah tak percaya.

"Halo, Gailan?" sapa Gia kikuk.

Kembali mengerjapkan matanya, Gailan tersenyum ramah. Di otaknya sudah muncul berbagai pertanyaan. Kenapa cewek yang kemarin bisa ada disini? Pertanyaan utamanya sekarang adalah, kenapa cewek itu bisa dan tau rumahnya? Siapa yang memberitahunya?

"Ehm lo? Kenapa disini? Masuk dulu." Gailan kemudian membuka pintu kamarnya lebih lebar mempersilahkan Gia masuk.

Gia bergeming di tempatnya berdiri, masih gamang untuk melangkahkan kakinya masuk. Ini Gailan, dan hey! Gailan cowok!! Sekarang Gia jadi berpikir macam macam tentang Gailan. Jangan jangan Gailan menjebaknya untuk datang kesini lalu Gailan akan..... Oke, cukup Gia! Meyakinkan hatinya, akhirnya Gia melangkahkan kakinya masuk.

"Duduk dulu, eh siapa sih namanya?" tanya Gailan sambil mempersilahkan Gia duduk di sofa. Sementara itu Gailan sendiri malah duduk di ranjangnya. Tadi berulang kali Gia menangkap Gailan meringis dan mengusap ujung bibirnya. Ah, melihat itu Gia jadi semakin merasa bersalah.

"Giandra, panggil aja Gia." jawab Gia. Hening sejenak, Gailan maupun Gia bingung harus memulainya darimana. Gailan mendengus, ia benci suasan canggung seperti ini.

"Ehm Gailan." panggil Gia. Gailan menoleh.

"Kenapa?"

Gia menarik nafasnya. "Sebenernya aku nggak suka suasana canggung kayak gini. Kayaknya langsung aja hm, aku kesini mau bilang makasih sama kamu." ucap Gia dengan satu tarikan nafas.

Kening Gailan otomatis menyernyit. Berterima kasih? Oh Gailan ingat, kemarin begitu ia mengantarkan Gia kerumahnya, Gia sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun. Gailan memaklumi, bagi Gia mungkin kejadian kemarin itu memang mengerikan. Awalnya pun Gailan memang seperti Gia, tapi lama kelamaan ia juga akhirnya terbiasa. Apalagi sekarang ia adalah wakil ketua geng motor yang kemarin tawuran itu.

Gailan menatap Gia heran, jadi Gia datang kesini untuk itu? Tapi kenapa harus repot repot, maksudnya, bukankah besok atau nanti jika Gailan kembali sekolah Gia juga bisa melakukannya kan?

"Oh." respon Gailan.

"Aku juga mau minta maaf bikin kamu jadi sakit kayak gitu." kata Gia lagi.

"Oh, iya gak papa."

"Aku minta maaf."

"Iya."

Gia mendengus, Gailan hanya merespon seperti itu? Astaga, kalau akan begini saja responnya lebih baik Gia tidak berterima kasih sama sekali! Tapi tunggu, memang sepertinya ia yang bodoh kan, untuk apa datang kerumah Gailan hanya untuk mengucapkan terima kasih?! Padahal kan bisa saja ia mengucapkannya begitu Gailan bersekolah! Astaga Gia, moduskah?!

Gailan menggaruk tengkuknya. "Btw kok lo bisa tau rumah gue?" tanya Gailan.

"Dari Aji," jawabnya. "Eh ini beneran rumah kamu kan? Gede banget ya Gai." puji Gia berusaha mengusir kecanggungan.

Bukannya menanggapi pujian Gia, Gailan malah melotot, Gai?! Apa? Gia bilang ia Gai?! Sumpah, dari dulu hingga sekarang Gailan sangat membenci ketika ada orang menyingkat namanya Gai. Hey, ia normal, sangat normal.

"Gue normal ya! Jangan singkat nama gue kayak gitu."

"Eh?" Gia menahan senyum mengejeknya. "Namanya Gailan kan, yaudah aku panggil Gai."

Gailan mencebik. "Jangan panggil gue Gai!"

Gia terkekeh pelan. "Oke oke. Omong omong kamu nggak punya sodara? Rumah kamu sepi banget ya, mamah kamu mana Gai?"

"Gai lagi!" Gailan mendengus dan memutar bola matanya.

"Ups abisnya aku bingung manggil kamu apa." jujur Gia.

"Alan aja."

Gia menyernyit. "Apaan Alan, jauh banget ih, masa namanya Gailan dipanggil Alan?! Udahlah Gai aja." kekeh Gia.

Gailan memutar bola matanya. "Terserah."

Gia berdehem, suasana canggung mulai mendatangi keduanya. Gia menarik nafas, entah kenapa setiap berdekatan dengan Gailan ia selalu harus menarik nafas panjang. Seolah olah oksigen disekitarnya terserap habis oleh Gailan.

"Aku mau pulang, gak papa kan?" itu adalah kalimat terakhir yang bisa Gia ucapkan. Juga kalimat terbodoh yang pertama kalinya ia ucapkan sebelum meninggalkan rumah Gailan. Sepanjang jalan Gia benar benar merutuki kebodohannya, hey, ia belajar bahasa dari kelas satu SD, lalu kenapa di dekat Gailan ia seolah tidak pernah mengenal bahasa?! Rena benar, berdekatan dengan Gailan akan membuat fungsi otak seketika terhenti.

           ****

AldebaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang